Tugas Berat Ultras Gresik

Dua musim beruntun terdegradasi hingga terjun ke Liga 3 membuat suporter Persegres Gresik United (PGU), Ultrasmania gerah. Pihak yang mereka kambinghitamkan tentulah kubu manajemen yang tak becus mengelola tim.

Berulangkali melakukan demo hingga audiensi dengan manajemen tak kunjung membuahkan hasil. Saat mengikuti sidang gugatan perihal tunggakan gaji eks pemain di musim 2017 silam, mereka juga gagal bertemu dengan perwakilan manajemen yang seolah lenyap ditelan Bumi.

Muharom, Ketua Ultras tahun 2017, menjadi saksi pada sidang lanjutan mengenai kasus tunggakan gaji itu. Pada momen tersebut, ia dimintai keterangan tentang Ultras yang melakukan penggalangan dana untuk membantu para pemain yang hampir 4 bulan tak mendapatkan haknya. Dirinya juga menjelaskan bahwa mengetahui kabar tunggakan gaji tersebut dari media sosial para pemain.

Ultras yang berkoordinasi dengan APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia) berharap PGU dilarang mengikuti kompetisi terlebih dahulu sebelum melunasi kewajibannya terhadap pemain.

Seperti yang kita tahu dari laporan sejumlah media, manajemen memiliki tunggakan sekitar 458 juta rupiah kepada 22 eks penggawa PGU di musim 2017. Artinya, manajemen berutang sekitar 20 juta rupiah kepada masing-masing pemain.

Di tengah ketidakjelasan situasi yang berkelindan di tubuh PGU, banyak sangkaan jika kesebelasan yang berkandang di Stadion Gelora Joko Samudro ini tidak akan mengikuti Liga 3 Pra Nasional.

Akan tetapi, sebuah hal mengejutkan muncul setelah akun Instagram PGU mengunggah gambar kostum terbaru mereka beberapa pekan jelang dimulainya Liga 3 Pra Nasional. Unggahan itu seolah menegaskan bahwa PGU bakal ikut berkompetisi.

Pada tanggal 3 Oktober 2019 lalu, Ultras melakukan demo besar-besaran. Mereka berkumpul di depan Kantor DPRD dan melakukan orasi.

Ada empat poin yang menjadi tuntutan mereka yakni meminta DPRD memanggil manajemen PT. Persegres Joko Samudro (PJS) untuk menjelaskan legalitas klub, mendesak manajemen untuk melunasi tunggakan gaji pada para eks pemain, meminta DPRD untuk mengirim surat rekomendasi agar tidak memperbolehkan PJS mengikuti kompetisi sebelum melunasi kewajiban pada pemain serta memboikot seluruh pertandingan yang diikuti PJS.

Demo pertama ini berhasil mempertemukan perwakilan Ultras dengan ketua DPRD. Selain itu, diketahui ternyata ada perwakilan dari manajemen baru yang sempat hadir dalam audiensi.

Kendati demikian, perwakilan manajemen baru itu hanya mengonfirmasi bahwa kepemilikan tim yang atas nama Syaiful Arif atau biasa dipanggil Kaji Ipung. Sayang, audiensi tersebut belum menghasilkan kesepakatan apapun. Pihak DPRD hanya meminta waktu untuk berkomunikasi dengan manajemen PT. PJS.

Sepekan kemudian (09/10), Ultras kembali menggeruduk Kantor DPRD Gresik untuk meminta kejelasan dari tuntutan mereka. Anehnya lagi, PGU masih dapat bertanding di Liga 3 Pra Nasional melawan Persigo Semeru FC (06/10) walau kasus tunggakan gaji belum selesai.

Pada demo kedua, Ultras kembali ditemui oleh Ketua DPRD, Fandi Ahmad Yani, dan beberapa pimpinan DPRD lainnya. Dalam audiensi kedua ini, pihak DPRD juga menghadirkan perwakilan PSSI Gresik yakni Syamsul Arifin. Mereka juga sudah mengundang manajemen PT. PJS untuk hadir, tapi lagi-lagi, pihak manajemen tidak datang.

DPRD lantas menghubungi perwakilan manajemen PT. PJS dan meminta penjelasan tentang polemik yang terjadi. Sampai akhirnya, lahir sebuah kesepakatan lisan kalau pemilik PT. PJS bersedia menyerahkan klub pada masyarakat Gresik yang diwakili oleh Ketua DPRD. Perwakilan Ultras pun menyambut kesepakatan itu dengan bahagia. Perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil.

Perwakilan Ultras dengan wajah semringah  mengumumkan bahwa PT. PJS telah bersedia menyerahkan klub pada masyarakat Gresik. Seluruh Ultras yang hadir di depan Kantor DPRD pun bersorak.

Mereka juga menjelaskan bahwa langkah selanjutnya adalah merumuskan siapa saja yang akan masuk ke jajaran manajemen baru. Hal ini juga mengonfirmasi perubahan nama dan logo kembali pada Gresik United.

Sayangnya, Ultras tak bisa bereuforia terlalu lama karena mereka harus memikirkan proses penyelesaian tunggakan gaji para eks pemain yang sudah ‘dilimpahkan’ oleh PT. PJS lewat penyerahan klub secara lisan.

Apakah itu tetap menjadi tanggungan PT. PJS atau justru menjadi beban untuk mereka sebagai pengelola baru? Lebih jauh, kesepakatan lisan tersebut juga tak bisa terus dijadikan pegangan. Aspek legalitas dari proses peralihan tampuk pengelolaan tim dari PT. PJS ke Ultras harus dibahas secara detail sesuai ketentuan hukum supaya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Ultras pun, andai mau jadi pengelola tim, wajib membentuk badan hukum yang menaungi Gresik United. Tanpa hal tersebut, mustahil melihat tim kesayangan mereka benar-benar kembali berkiprah di pentas sepakbola nasional.

Menyaksikan Gresik United berlaga kembali di Stadion Gelora Joko Samudro memang amat menggoda iman. Namun belum jelasnya status pengelolaan tim secara hukum membuat Ultras punya segudang pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan sebagai syarat utama melihat tim kesayangan mereka ikut berkompetisi lagi tanpa disertai gunungan masalah pelik.

 

Komentar

This website uses cookies.