Pertengahan 2010 lalu, stadion Kridanggo Salatiga bergemuruh. Penonton yang memadati tribun tanpa dikoordinir serempak berdiri dan bertepuk tangan. Bukan tanpa sebab tentunya.
Tugiyo, mantan pemain PSIS Semarang lah alasan kenapa publik Salatiga melakukan standing ovation sore itu. Kala itu sedang dihelat pertandingan persahabatan antara Salatiga All Stars melawan PSIS Semarang yang waktu itu banyak dihuni pemain muda seperti Deni Rumba.
Salatiga All Stars bermaterian pemain yang sudah pensiun maupun yang masih aktif, dengan catatan merupakan pemain yang pernah dibina di Salatiga. Antara lain Gendut Doni dan Deftendi. Dan yang menarik, tim ini menghadirkan pula Tugiyo, sang Diego Maradona dari Purwodadi.
Pertandingan persahabatan ini dalam rangka silaturahmi antar pemain sekaligus untuk menjadi partai hiburan di tengah perhelatan Piala Walikota Salatiga, kejuaraan junior U-17 sekaligus menjadi penanda dibukanya Gendut Doni Training Center (GDTC). GDTC merupakan akademi sepak bola yang baru didirikan oleh Gendut Doni beserta mantan pesepakbola dari Salatiga.
Tugiyo yang diumumkan masuk di babak kedua, langsung mengundang sorak sorai penonton yang hadir. Ada nama tenar lain yang hadir, tetapi hanya Tugiyo yang bisa menghipnotis penonton untuk dengan sendirinya memberi tepuk tangan.
Maradona dari Purwodadi ini memang sosok penting di sepak bola Jawa Tengah. Mungkin namanya sudah lama tak terdengar, tapi percayalah publik Jawa Tengah masih mencintainya. Sosok inilah yang memberi kebanggaan berupa gelar juara bagi pendukung PSIS Semarang yang tersebar di berbagai kota di provinsi yang kini dipimpin oleh Ganjar Pranowo itu.
Dia bukan pemain yang dikenal karena berwajah ganteng. Tugiyo jauh dari kata itu. Banyak yang bilang dia lebih pas jika menjadi pelawak. Perawakannya yang kecil dan gempal atau bantet membuatnya sering disepelekan lantaran posturnya yang tidak ideal sebagai pesepakbola. Alasan yang membuatnya dicoret dari timnas Baretti yang dikirim ke Italia 17 tahun yang lalu.
Tugiyo kecil lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang penarik becak, sementara ibunya buruh tani. Tugiyo kecil selain rajin bermain sepak bola, juga menggembala kambing di tanah lapang dekat lapangan sepak bola kampungnya. Tidak jarang dia bermain sepak bola sembari angon wedhus.
Dia kemudian berhasil masuk ke Diklat Salatiga. Kala itu Diklat Salatiga belum menetapkan standar minimum tinggi pemain 170 cm seperti yang sudah diterapkan dalam sepuluh tahun terakhir. Jika peraturan itu sudah diterapkan tentu Tugiyo yang hanya bertinggi 163 cm tidak akan bisa masuk.
Kemampuannya yang bagus dan layak untuk dikembangkan membuatnya ditarik ke Diklat Ragunan. Tugiyo kemudian sempat masuk tim PSSI U-16 yang berlaga di Iran. Sayang di tahun 1997 dia gagal masuk PSSI Barretti. Tidak putus asa, dia kemudian melanjutkan karirnya di PSB Bogor dan bertahan di sini selama dua tahun sebelum kemudian hijrah ke Semarang.
Musim 1998/1999, Tugiyo kemudian masuk ke PSIS Semarang. Di musim perdananya inilah dia mencapai puncak karirnya. Di usia 22 tahun dia sudah menjadi pilihan utama di tim Mahesa Jenar. Selama membela PSIS di musim 1998/1999 ini Tugiyo berhasil melesakkan 7 gol yang menempatkannya sebagai pencetak gol terbanyak PSIS di musim itu.
Ada satu gol yang tentu berkesan baginya hingga kini dan juga bagi publik Jawa Tengah. Gol yang ia cetak di stadion Klabat, Manado.
Musim 1998/1999 merupakan salah satu musim paling berat untuk Liga Indonesia. Musim sebelumnya kejuaraan berhenti karena kerusuhan Mei dan krisis ekonomi. Liga di musim inipun hampir tidak jadi dilaksanakan. Azwar Anas, ketua umum PSSI, baru saja mengundurkan diri pula menyusul skandal gol bunuh diri Mursyid Effendi di Piala Tiger. Izin pertandingan diperkirakan akan kesulitan diperoleh di berbagai kota.
Namun, Agum Gumelar, ketua umum PSSI yang baru, yakin bisa menggelar liga Indonesia dari awal hingga akhir. “Timnas yang tangguh hanya lahir dari kompetisi yang tangguh. Jadi bagaimana pun caranya kompetisi harus jalan,” begitu ujar Agum Gumelar. Liga Indonesia pun segera digulirkan. Purnawirawan jenderal ini pun bisa menjamin izin pertandingan tetap bisa keluar. Bahkan Wiranto, menkopolkam saat itu ikut memberi restu liga tetap digulirkan.
Tanpa sponsor utama, tentu liga akan tetap sulit untuk bergulir hingga akhir. PSSI memberi subsidi 100 juta untuk setiap klub. Entah bagaimana, kompetisi tetap bisa bergulir. Walaupun masalah terus berdatangan, mulai dari kericuhan, bentrok antar suporter yang sampai menimbulkan korban jiwa, skandal suap dan pengaturan skor, serta berbagai masalah lainnya.
Masalah kemudian mencapai puncaknya saat menjelang pertandingan final. Babak delapan besar di Jakarta yang menghasilkan partai final Persebaya vs PSIS oleh kapolda Metro Jaya kala itu, Mayjen (Pol) Noegroho Djajoesman, tidak diberikan izin pertandingan. Terlalu riskan menggelar laga final di Jakarta ketika yang bertanding dua tim yang punya rivalitas panjang dan keduanya sama-sama berbasis di Jawa.
Alhasil final pun harus dipindahkan. Setelah ada negosiasi antara Agum Gumelar dengan Erents Mangindaan, gubernur Sulawesi Utara, disepakati Manado sebagai kota penyelenggara final liga Indonesia. Manado dianggap punya fasilitas pendukung, pemerintah daerahnya mendukung, serta jauh dari Jawa sehingga kemungkinan bentrok pendukung Persebaya dengan PSIS bisa diminimalkan.
Tetapi, laga final sudah dijadwalkan digelar tanggal 9 April 1999, sedangkan pertandingan semifinal baru selesai tanggal 1 April 1999 dan baru keesokan harinya muncul pernyataan tidak akan keluarganya izin pertandingan. Singkatnya, waktunya sangat mepet untuk memindahkan semuanya ke Manado.
Dengan segala upaya akhirnya pemain Persebaya, PSIS, dan perangkat pertandingan terbang ke Manado. Pesawat Hercules yang biasanya dipergunakan untuk berperang kali ini bertugas mengangkut semua yang berkepentingan dengan pertandingan ini.
Akhirnya laga bisa digelar di stadion Klabat Manado, Jumat 9 April 1999. Pertandingan disaksikan oleh 30.000 pasang mata dan dipimpin oleh Djajat Sudrajat.
Rusdy Bahalwan, pelatih Persebaya menampilkan susunan pemain Hendro Kartiko: Aji Santoso (C), Anang Ma’ruf (Hartono 88’), Sugiantoro, Yoseph Lewono, Chairil Anwar, Eri Irianto, Yusuf Ekodono (Achmad Ariadi 57’), Uston Nawawi, Musa Kallon, Reinald Pieters (Putut Wijanarko 62’).
Sementara skuat PSIS adalah I Komang Putra; Agung Setiabudi, M. Soleh, Wasis Purwoko, Simon Atangana, Ebanda Timothy, Bonggo Pribadi, Ali Sunan (C), Tugiyo, Ali Shaha Ali, Imran Amirullah (Deftendi 73’) dengan pelatih Edy Paryono.
Persebaya yang diunggulkan justru dibuat tak berdaya di partai final. Tugiyo yang memanfaatkan umpan Ali Sunan berhasil membawa PSIS unggul tipis 1-0 atas Bajul Ijo. Golnya dimenit 89 itu disamput suka cita oleh pendukung PSIS di seluruh penjuru Indonesia yang menyaksikan laga melalui layar kaca. Pertandingan itu disiarkan langsung oleh TVRI.
Saya sendiri yang kala itu menyaksikan tidak kalah heboh merayakan gol semata wayang Tugiyo. Maklum saja, masa kecil saya habiskan di kabupaten Semarang, membuat saya banyak dikelilingi oleh pendukung PSIS. Sayapun ikut larut dalam kemeriahan kemenangan PSIS. Untuk seorang anak kelas 2 SD, sulit untuk membayangkan betapa bahagianya saya kala itu.
Walaupun bukan top skor kompetisi karena gelar ini disandang oleh Alain Mabenda (PSDS Deli Serdang) dengan 11 gol maupun predikat pemain terbaik yang disematkan pada Ali Sunan (kapten PSIS), tetap Tugiyo lah yang hingga kini dikenang sebagai pahlawan.
Sambutan luar biasa publik Salatiga satu dekade setelah final itu membuktikan bahwa Tugiyo masih begitu dicintai dan dihormati bak pahlawan. Terlebih lagi hingga kini belum ada lagi gelar juara nasional yang mampir ke PSIS maupun klub lain yang berbasis di Jawa Tengah.
Sayang, Tugiyo “hanyalah” pahlawan yang sekali berarti sesudah itu mati. Bukan mati dalam artian sebenarnya, karir Tugiyo mentok. Cenderung meredup malah, akibat dari cedera lutut yang dialaminya.
Masih bermain untuk PSIS beberapa musim setelahnya, Tugiyo gagal bersinar. Bahkan PSIS sendiri di musim 1999/2000 lantas terdegradasi. Setelah tak bermain untuk PSIS, Tugiyo hanya mampir ke klub semenjana seperti Persik Kuningan di tahun 2005. Lantaran kerap kambuh cedera lututnya, Tugiyo tidak bisa meyakinkan klub-klub yang mengontraknya untuk memberinya kontrak jangka panjang atau memberi perpanjangan kontrak di musim berikutnya.
Maret 2008 lalu saat PSIS menggelar seleksi pemain, Tugiyo kembali hadir. Suporter PSIS masih mengelu-elukannya. Sayang meski bisa menampilkan permainan yang baik, setidaknya di mata suporter, Tugiyo gagal meyakinkan Edy Paryono untuk dikontrak. Alasannya Tugiyo sudah tidak terlalu fit dan sudah terlalu tua, padahal usianya baru 30 tahun. Sudah cukup tua untuk ukuran pesepakbola, tetapi pengalamannya tentu bisa menjadi nilai tambah.
“Saya hanya rindu kembali berkaus PSIS. Lagipula keluarga saya tinggal di Semarang dan anak-anak saya masih kecil. Tapi bila memang tidak dimaui, saya pasrah saja. Mungkin saya memang sudah dianggap tua,” ujar Tugiyo mengenai penolakan ini .
Tugiyo kini berjualan mie ayam di rumahnya yang berada di kawasan Manyaran, Semarang Barat. Dia juga masih aktif di sepak bola tapi kali ini sebagai pelatih. Dia sempat melatih tim sepak bola kecamatan Bawang, Batang dan tim U-20 kabupaten Batang per 23 Juni 2009. Namun kini Tugiyo sudah tak lagi melatih di Batang.
Berbekal lisensi kepalatihan seri C, dia lalu tercatat sebagai staf pelatih SSB Terang Bangsa bersama Eko Purjianto dan sejumlah mantan pemain PSIS. Saat ini dia juga melatih sepak bola di sebuah akademi sepak bola di kecamatan Susukan, di salah satu sudut kabupaten Semarang. Untuk itu dia harus menempuh perjalanan 1,5 jam dari kediamannya menggunakan sepeda motor. “Bayaran tidak seberapa tetapi yang penting hati ini nyaman,” begitu ujar Tugiyo.
Begitulah Tugiyo, sedari dulu dia pria yang rendah hati dan hingga kini pun begitu. Saat berada di puncak, saat rekan-rekannya sudah memakai mobil dia masih setia dengan sepeda motornya. Dia lebih sudah untuk menabung dan bersiap menghadapi masa depan saat dia sudah tak jadi bintang lapangan hijau. Keputasan yang benar dan layak dicontoh oleh pemain-pemain muda. Kini, walau sudah jauh dari hingar bingar publisitas, Tugiyo masih tekun merawat cintanya untuk sepak bola.
Bagi kami, Tugiyo, tetaplah pahlawan hingga hari ini.
*Tulisan ini pernah dimuat di Fandomagz #6