Urgensi Mempertahankan Milan Skriniar

Bermodal uang 20 juta Euro dan striker belia Gianluca Caprari, Internazionale Milano merekrut bek muda kepunyaan Sampdoria, Milan Skriniar, medio 2017 silam. Performa ciamik yang dipamerkan Skriniar selama satu setengah musim merumput di Stadion Luigi Ferraris jadi alasan mengapa I Nerazzurri mau mengamankan jasanya. Terlebih, pada saat yang sama Inter resmi melego Marco Andreolli dan Juan Jesus serta meminjamkan Jeison Murillo ke tim lain.

Hebatnya, musim perdana Skriniar berbaju biru-hitam justru gemilang. Pelatih Inter saat itu, Luciano Spalletti, memberinya kepercayaan besar sebagai penggawa inti di lini belakang dan menyandingkannya dengan bek berpengalaman dari Brasil, Joao Miranda, sebagai palang pintu.

Walau masih muda, sosok berpaspor Slovakia ini memperlihatkan cara bermain yang matang. Sebagai bek tengah, ia sulit dilewati karena mampu membaca permainan dengan baik sehingga penempatan posisinya prima saat berduel dengan lawan, dalam situasi off the ball maupun sebaliknya. Ditunjang dengan bangun tubuh menjulang dan pengambilan keputusan yang ciamik, Skriniar selalu tampil lugas.

Belum berhenti sampai di situ karena Skriniar tak cuma mempertontonkan aksi defensif yang luar biasa, keterampilannya dalam menginisiasi serangan dari lini pertama juga mengundang decak kagum. Tak heran kalau Interisti mulai mengidolakannya.

Pada musim keduanya di Stadion Giuseppe Meazza, muncul keraguan bahwa Skriniar akan tetap jadi pilihan utama di sektor pertahanan. Pasalnya, Inter mendatangkan Stefan de Vrij di bursa transfer musim panas. Siapapun tahu, de Vrij bukan pemain bertahan biasa dan duetnya bersama Miranda tampak menjanjikan.

Akan tetapi, kepercayaan Spalletti buatnya malah meninggi. Alih-alih memadukan de Vrij dan Miranda, pelatih berkepala plontos itu lebih suka tandem de Vrij dan Skriniar buat membentengi gawang yang dijaga Samir Handanovic.

Kilau pemilik 33 penampilan bareng tim nasional Slovakia tersebut bikin namanya masuk ke dalam daftar bek tengah dengan prospek tinggi di Benua Biru. Maka wajar bila sejumlah kesebelasan berduit banyak diisukan tertarik kepadanya. Mulai dari Chelsea, Manchester United hingga Paris Saint-Germain (PSG). Namun segala rumor yang berhembus tak ada yang jadi kenyataan sebab Skriniar memilih bertahan di Inter.

Jelang bergulirnya musim 2019/2020, manajemen I Nerazzurri mendepak Spalletti dari kursi pelatih. Ia digantikan oleh bekas pelatih Juventus dan tim nasional Italia, Antonio Conte. Berbeda dengan pendahulunya yang gemar memainkan skema empat bek, Conte populer sebagai allenatore yang mengimani formasi tiga pemain bertahan.

Bermain dengan gaya baru menuntut adaptasi dari seluruh penggawa tim, tak terkecuali Skriniar. Awalnya, ia tetap diberi kepercayaan sebagai bagian dari starting eleven. Skriniar dipasang sebagai bek tengah kiri bersama de Vrij yang jadi bek tengah dan Diego Godin di pos bek tengah kanan. Sayangnya, aksi-aksi figur yang kini berumur 25 tahun tersebut justru tak memuaskan.

Seiring dengan meroketnya Alessandro Bastoni, sang pelatih menggeser Skriniar ke pos bek tengah kanan. Namun setali tiga uang, performanya dianggap Conte jauh dari kata ideal. Mesti diakui, saat bermain dengan pola empat bek, Skriniar kelihatan penuh kontrol, kokoh dan lugas. Tetapi dalam formasi tiga bek, ada begitu banyak keragu-raguan dalam setiap aksinya.

Pakem tiga bek memang menuntut Skriniar untuk melakukan cover pada area yang lebih luas. Alih-alih berkutat di tengah dan berduel dengan para penyerang, dalam skema ini Skriniar juga diharuskan berjibaku melawan winger-winger maupun fullback yang cepat serta lincah.

Positioning-nya jadi kacau dan pengambilan keputusannya kurang mantap. Maka bukan pemandangan yang aneh saat menyaksikan dirinya dikecoh para penggawa musuh dengan gampangnya. Alhasil, citra Skriniar ikut meredup. Dari seorang bek tangguh jadi palang pintu medioker sekelas Hugo Campagnaro atau Matias Silvestre.

Proses adaptasi terkait cara bermain memang kewajiban dari para pesepakbola. Namun perlu dipahami juga bahwa hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak syarat yang kudu dipenuhi si pemain jika ingin adaptasinya berjalan mulus.

Sebagai contoh, bek tengah yang berkaki kidal membutuhkan penyesuaian diri saat dimainkan pelatih sebagai bek tengah kanan dalam formasi tiga bek ataupun empat bek. Mengapa? Sebab hal-hal yang tampak sepele seperti kaki dominan pemain akan mempengaruhi caranya bermain.

Bermain di pos bek tengah kanan akan menuntut para bek berkaki kidal untuk mengetahui sekaligus menyadari kapan boleh melakukan umpan atau intersep dengan kaki dominan, kapan mesti menggunakan kaki kanannya secara lebih aktif. Apalagi kondisi ini juga erat kaitannya dengan posisi tubuh yang biasanya terbentuk dengan alamiah, bergantung pada kaki dominan.

Skriniar, mungkin sedang ada di fase tersebut. Proses pembelajaran yang ia lakukan terhadap skema tiga bek, mulai dari cara mengawal lawan, menutup ruang, pemosisian diri, pengambilan keputusan, hingga menginisiasi serangan, belum sampai di tahap memuaskan. Pasalnya, implementasi dari semua hal tersebut tidak sama dengan cara yang ia lakukan saat bermain dalam formasi empat bek.

Skriniar patut belajar dari Godin yang awalnya kesulitan saat diturunkan sebagai salah satu trio bek andalan Conte meski sang pemain kini sudah berkostum Cagliari. Tentunya, Skriniar wajib melakukan banyak penyesuaian lantaran cara dan gaya mainnya berbeda dengan pria gaek asal Uruguay tersebut.

Mengingat Godin sudah tak bercokol di tubuh tim dan rumor yang terus menyebutkan bahwa Andrea Ranocchia segera merapat ke Genoa, ada baiknya Inter tak buru-buru melego Skriniar. Tak peduli bahwa Tottenham Hotspur dikabarkan ngebet sekali meminang pemain setinggi 188 sentimeter itu.

Ada urgensi yang membuat I Nerazzurri tak boleh gegabah dalam mengambil keputusan. Apalagi performa sektor belakang mereka saat berjumpa Fiorentina dini hari tadi (27/9) sangat-sangat buruk kendati menang via kedudukan akhir 4-3. Keputusan Conte memainkan Kolarov sebagai bek tengah menemani Bastoni dan Danilo D’Ambrosio disorot habis.

Bukannya tampil eksepsional, presensi lelaki veteran dari Serbia itu justru bikin was-was karena dirinya kelimpungan menghadapi pemain-pemain cepat kepunyaan La Viola. Pantas bila Conte dikritik gara-gara pilihan taktiknya mengingat Skriniar juga dalam kondisi bugar tapi justru didudukkan di bangku cadangan. Artinya, Inter tidak mengalami krisis sumber daya sehingga Conte kudu berimprovisasi dengan memainkan Kolarov sebagai salah satu dari trio pemain belakang.

Conte memang punya filosofi permainannya sendiri dan seringkali, ia keras kepala dengan hal tersebut. Di sisi seberang, Skriniar kelihatannya juga belum mampu menjawab kebutuhan sang pelatih. Namun selama keduanya yakin terhadap proses, pun dengan kubu manajemen, maka sepatutnya Skriniar diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya sekali lagi agar bisa tampil apik serta konsisten dalam formasi tiga bek.

Lebih jauh, sang allenatore juga wajib mempertimbangkan strategi alternatif andai pola kesukaannya mudah diekspos lawan atau mengalami kebuntuan. Bagaimanapun juga, tim butuh kestabilan guna bersaing di papan atas atau bahkan memperebutkan gelar juara (dari ajang manapun yang diikuti I Nerazzurri).

Bila Skriniar bertahan dan sanggup memamerkan aksi yang moncer, maka Inter beroleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, salah satu asetnya yang berusia matang dapat diandalkan kembali. Kedua, klub tak perlu membuang-buang duit untuk belanja bek tengah anyar di tengah situasi yang cukup sulit gara-gara pandemi Corona.

Andai bersikeras menjual Skriniar karena dianggap tak cocok dengan kebutuhan taktik pelatih, pastikan itu sudah dipikirkan masak-masak dan tak bakal mendatangkan kerugian. Jangan hobi mencoreng muka sendiri dengan transfer dagelan, ya, Inter.

Komentar

This website uses cookies.