Ketika bicara tentang La Liga Spanyol, ada tiga klub yang bakal disebut publik sebagai kekuatan utama di sana yaitu Atletico Madrid, Barcelona, dan Real Madrid. Bila ada yang keempat, umumnya nama Sevilla yang menyeruak. Padahal, masih ada satu kesebelasan lain di Negeri Matador yang prestasinya memukau yakni Valencia.
Saya cukup beruntung dapat menghabiskan masa remaja saya di kota penghasil jeruk terbesar di Spanyol itu.
Selama tiga tahun menetap di sana, dari tahun 2014 sampai 2017, saya cukup memahami bagaimana keadaan Valencia belakangan ini.
Saat saya datang ke sana, bisa dibilang kalau Los Murcielagos sedang berada di titik terendah.
Saya masih ingat dulu, ketika saya sering meledek resepsionis di tempat saya tinggal yang bernama Paco. Beliau adalah seorang die hard Valencianistas, bahkan sudah mendukung Valencia sebelum saya lahir.
“Kamu tidak tahu betapa hebatnya Valencia. Dulu kami punya pemain kelas dunia yang mendominasi Eropa seperti Romario, Gaizka Mendieta, Roberto Ayala, Pablo Aimar, Ruben Baraja dan lain-lain. Saya tidak akan lupa bagaimana Claudio Lopez mempermainkan Barcelona seperti tim yang baru belajar bermain bola. Itu adalah waktu terbaik dalam hidup saya,” kata Paco.
Kenangannya ini didasari oleh rasa frustasi yang tak mampu dibendung akibat performa buruk tim yang semenjak 2014, saham mayoritasnya dikuasai pebisnis Singapura, Peter Lim.
Valencia memang sering mengalami kondisi naik turun seperti yoyo. Akhir 1990-an sampai awal 2000-an merupakan periode terbaik selama klub ini berdiri.
Mereka mampu menjuarai Copa del Rey di musim 1998/1999 setelah mengehempaskan Atletico Madrid di final.
Lalu mencapai final Liga Champions dua musim berturut-turun pada 1999/2000 dan 2000/2001 walau selalu berujung kekalahan.
Kepergian pemain kunci seperti Lopez dan Mendieta tidak membuat Los Murcielagos kendor. Kedatangan Rafael Benitez mampu membantu mereka meraih gelar La Liga musim 2001/2002 dan 2003/2004.
Bahkan pada musim yang disebut belakangan, Valencia nyaris beroleh Treble Winners (juga memenangkan Piala UEFA, tetapi kalah di Copa del Rey).
Pada masa itu, kedalaman skuad Valencia tidak main-main. Santi Cañizares berada di bawah mistar gawang, dua dinding tebal asal Argentina yaitu Ayala dan Mauricio Pellegrino serta Carlos Marchena menjadi pilar di lini pertahanan.
David Albelda, Aimar dan Baraja menjadi mesin di lapangan tengah sekaligus motor serangan tim.
Kecepatan Vicente Rodriguez, Francisco Rufete, dan Miguel Angel Angulo yang menyokong ketajaman Mista di lini serang bikin tim ini sangat kompetitif.
Usai periode gemilang itu, prestasi Valencia sempat mandek. Namun di musim 2007/2008 saat diasuh Ronald Koeman, mereka kembali memeluk trofi Copa del Rey.
Apes, krisis finansial mendera klub yang bermukim di Stadion Mestalla ini. Akibatnya, mereka kudu melego pemain-pemain andalannya seperti Juan Mata, David Silva, Roberto Soldado, dan David Villa.
Semenjak saat itu pula, nama Valencia tidak lagi menggigit di Spanyol maupun Eropa.
Tatkala Lim datang, sebetulnya ada sejumput harapan yang menggelegak. Apalagi kedatangannya diikuti dengan kehadiran Nuno Espirito Santo sebagai pelatih serta beberapa pemain seperti Andre Gomes, Shkodran Mustafi, Alvaro Negredo, Nicolas Otamendi, dan Enzo Perez.
Paling tidak, Valencia bisa tampil lebih baik di kancah domestik sebelum menyulam kembali pijakan mereka untuk tampil fenomenal di Benua Biru.
Akan tetapi, berbagai kisruh internal justru menjadi wajah Los Murcielagos. Salah duunya adalah kecurigaan suporter terhadap agen Jorge Mendes yang terlibat dalam pelepasan sejumlah pemain andalan seperti Paco Alcacer dan Gomes dan mengangkat Gary Neville sebagai pelatih.
Selain kalah 0-7 di ajang Copa del Rey dari Barcelona, saya melihat sendiri bagaimana Valencianistas mengejek Neville ketika tim asuhannya tumbang 1-3 dari Atletico Madrid pada ajang La Liga.
Ketika itu, Aderlan Santos mendapat kartu merah sehingga memunculkan lubang di lini pertahanan.
Di bangku cadangan, sebetulnya masih ada pemain bertahan asal Tunisia, Aymen Abdennour. Namun saat sang pemain diminta Neville melakukan pemanasan, seisi Stadion Mestalla meneriaki dan menyiuli sang pemain.
Mereka memang tak senang dengan kiprah Abdennour yang sejak datang pertama kali tak pernah meyakinkan saat beraksi di atas lapangan. Alhasil, Neville malah memasukkan Negredo yang notabene adalah penyerang.
Saya benar-benar tak percaya melihatnya, itu pengalaman yang belum pernah saya temui di mana pun. Kejadian ini menggambarkan betapa buruknya kondisi Valencia pada saat itu.
“Kamu tahu, saat saya masih kecil, saya menonton langsung bagaimana Mata, Silva, dan Villa bermain bersama. Namun sekarang, saya cuma bisa melihat punggung Zakaria Bakkali dan Simone Zaza,” tutur seorang rekan saya, Nestor Planes, dengan perasaan kesal.
Saya memahami betul bagaimana perasaannya sebagai fans. Walaupun setelah itu terjadi pergantian pelatih berkali-kali, performa Valencia tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan dan bahkan hampir terdegradasi.
Pencapaian positif diperlihatkan Valencia saat menunjuk Anil Murthy sebagai presiden klub yang baru dan Marcelino Garcia Toral sebagai juru taktik.
Berbekal skuad muda jebolan akademi semisal Jose Gaya dan Carlos Soler, Los Murcielagos menunjukkan performa yang lebih baik.
Mereka konsisten menembus empat besar La Liga, menjuarai Copa del Rey 2018/2019 serta menjejak semifinal Liga Europa. Sebuah penampilan yang begitu didambakan Valencianistas.
Sayangnya, hal tersebut tak berlangsung lama. Kebijakan aneh manajemen yang menjual para pemain andalan demi memperbaiki kas keuangan seperti Francis Coquelin, Geoffrey Kondogbia, Dani Parejo, Rodrigo, dan Ferran Torres, bikin kualitas skuad ikut menurun karena Valencia nyaris tak mendatangkan pengganti sepadan.
Dan seperti yang bisa diduga, performa Valencia sepanjang musim 2020/2021 kembali semenjana. Mereka finis di peringkat 13 klasemen akhir serta keok pada fase 16 besar Copa del Rey sehingga takkan beraksi di Eropa pada musim mendatang.
Penampilan fluktuatif Valencia ini sebetulnya bikin gerah suporter. Mereka pun kian menunjukkan ketidaksukaannya pada Lim yang tak serius mengelola klub.
“Lim tak mengerti di mana ia berada. Ia tak pernah memahami bagaimana besarnya Valencia sebagai entitas sepakbola sebelum dirinya datang. Sekarang, Lim seperti membiarkan Los Murcielagos mati perlahan-lahan”, ujar Paco Polit, seorang jurnalis seperti dikutip The New York Times.
Dari sebuah tim yang jadi langganan papan atas serta menjuarai sesuatu, di bawah rezim Lim, kini Valencia tak ubahnya klub provinsial yang saban musim memasang target untuk meraih profit dan sintas di kasta teratas saja.
Selama Lim masih berkuasa, Valencianistas merasa bahwa nasib klub mereka takkan lekas berubah.