Padahal hanya balapan motor, tapi saya tidak pernah menyangka akan seseru itu. Sepang, Malaysia, memang bukan sirkuit dan negara favorit Valentino Rossi; namun di sinilah sang legenda begitu dicintai.
Maka saya maklum, ketika penonton di tribun begitu bergemuruh dan lebih peduli akan pertarungan posisi podium terakhir antara “The Doctor” dengan pengagumnya; Marc Marquez di sepanjang laga daripada melihat pertarungan Dani Pedrosa dengan Jorge Lorenzo di garda terdepan. Ribuan bendera warna kuning menyala dengan angka 46 berkibar-kibar memberi semangat untuk sang legenda.
Epik. Entah harus berapa kali keduanya hampir bersenggolan untuk memperebutkan sisi dalam setiap tikungan. Ini berlanjut juga di setiap keduanya keluar dari tikungan, entah Rossi entah Marquez, mereka akan secepat mungkin menutup sisi luar dan segera menutup jalur. Ini pertarungan sepersekian milidetik. Kemampuan, teknik, dan pengalaman membalab keduanya diuji dalam pertarungan jarak dekat dengan intensitas yang luar biasa tinggi.
Sayang, pada saat pertarungan hebat dan adu skill keduanya tersaji begitu hebat, sang legenda larut dalam emosi. Ia terpancing dalam psywar yang dilakukan Marquez (yang menurut Rossi) sudah terjadi sejak di balapan Philip Island, Australia pekan sebelumnya.
Entah apa yang ada di pikiran sang legenda. Ia lepas kontrol. Rossi kehilangan kendali. Bukan. Bukan atas motornya, ia kehilangan kendali akan dirinya sendiri. Di saat jalur motornya bisa masuk ke sisi dalam, Rossi malah melakukan block sisi luar. Sisi di mana itu adalah jalur Marquez. Dan—yah—Anda tahu yang kemudian terjadi. Pertarungan Yamaha YZR-M1 dengan Honda RC213V-S, legenda dengan penggemarnya, Italia dengan Spanyol ini harus diakhiri dengan sebuah “sapuan” kecil yang tidak hanya menjatuhkan Marquez, tapi juga peluang gelar juara di depan mata.
Saat sang bocah Spanyol harus terjatuh, aroma dan atmosfir balapan seketika berubah. Rossi dua kali melihat ke belakang. Entah ingin memastikan apakah lawannya baik-baik saja atau memastikan lawannya tidak bisa melanjutkan pertarungan lagi.
Balapan tetap dilanjutkan; namun lebih banyak lamunan yang terjadi kemudian. Ketika Dani Pedrosa kemudian memastikan posisi pertama. Bukan pertanyaan mengenai berapa selisih poin antara Jorge Lorenzo dengan Valentino Rossi yang tersisa, tapi bagaimana nasib Rossi setelah tragedi “tendangan kecil” itu?
Furbizia Materazzi
Rossi besar sebagai pria Italia sejati. Ia sosok supel yang begitu cepat membaur dan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Ceria dan selalu terbuka. Selalu berkata apa yang ia ingin katakan dan tidak suka menahan diri. Barangkali karena sisi-sisi itulah Rossi bisa terlihat mudah dicintai oleh penggemarnya.
Sebagai warga asli dari negara yang memiliki tradisi sepak bola begitu kuat, tentu Rossi juga seorang penggemar sepak bola. Ia adalah Interisti sejati. Ia cinta FC Internazionale Milano. Bahkan jika tidak ada agenda balapan, tidak jarang Rossi akan menempati tribun yang biasanya hanya boleh diisi oleh staf, pemain, keluarga pemain, atau relasi dekat klub di Guiseppe Meazza. Dan di sana kadang Rossi akan ditemani Marco Materazzi, sahabatnya.
Sebagai seorang kawan dari Materazzi, tentu apa yang terjadi dengan Rossi di Sepang patut disayangkan. Tentu saja patut disayangkan, Anda punya kawan yang paling hebat dalam ”furbizia” tapi Anda malah termakan akan siasat taktik dari negara Anda sendiri. Ini jelas mengecewakan.
Furbizia dan Italia adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Tentu bukan di atas lintasan sirkuit, namun di atas lapangan sepak bola. Furbizia atau seni tipu muslihat merupakan semangat berkebalikan dari “fantasia” ala negara-negara Amerika Selatan yang sempat menginvasi Italia di periode peralihan 1990-an. Itulah era di mana para ahli “joga bonito” membanjiri Serie A dan membuat para pemain-pemain muda Italia berisiko kehilangan tempatnya.
Pemain-pemain seperti Filippo Inzaghi atau Alberto Gilardino tidak mungkin bisa bersaing dengan Ronaldo atau Gabriel Batistuta. Jika Anda menguji mereka dengan skill mengolah bola, tentu Inzaghi-Gilardino akan kalah. Namun coba uji mereka dengan catatan gol dan kontribusi memberikan tendangan bebas atau penalti kepada tim. Maka striker-striker Italia ini sulit ditandingi.
Di Italia, diving adalah seni. Bahkan barangkali ada manual tekniknya dan ada buku panduan di toko-toko buku serta dijual bebas. Okelah, mungkin cara-cara ini tidak jarang ketahuan wasit dan membuat si pemain diganjar kartu kuning. Tapi ini adalah negeri, yang menurut Martin Clarck dalam Modern Italia 1871-1995 di mana Anda belum dianggap siapa-siapa jika tidak pernah berurusan dengan aparat hukum. Ya, di negeri ini, menjadi terdakwa, sosok antagonis adalah jalan tercepat untuk jadi populer.
Dan di situlah Materazzi sempat berada ketika mempecundangi sosok Zinedine Zidane di pentas seakbar Final Piala Dunia 2006 di Berlin, Jerman. Di pentas terakhir Italia meraih gelar internasionalnya itu, anak asuhan Marcelo Lippi mempertontonkan sebuah skuat yang begitu solid. Mereka punya fantasista dalam sosok Fransesco Totti dan Alesandro Del Piero, regista pada diri Andrea Pirlo, dan—ini yang penting—aktor furbizia pada diri Materazzi dan Fabio Grosso!
Sepak bola adalah permainan yang dipenuhi ruang berbuat kesalahan. Sebab ini adalah olahraga yang menggunakan anggota tubuh terkuat manusia; kaki, tapi juga bukan yang paling mudah dikontrol seperti olahraga tangan. Karena bukan yang organ paling mudah dikontrol, maka tim yang paling sedikit melakukan kesalahan dalam sepak bola adalah tim yang berpotensi besar akan memenangkan pertandingan. Dan jika tim Anda tidak sanggup melakukannya (tidak melakukan kesalahan), maka buatlah lawan Anda melakukan kesalahan lebih besar daripada yang tim Anda lakukan. Di situlah furbizia kemudian dibutuhkan.
Lucas Neill mungkin tidak mengerti. Di perdelapanfinal Piala Dunia 2006, pemain Australia ini heran, mengapa Grosso yang sudah lolos dari terjangan sliding tackle-nya masih menempelkan kaki kirinya. Dan dengan kontak yang sebenarnya tidak begitu berarti, Grosso jatuh. Italia mendapatkan penalti pada waktu injury time babak kedua. Kita tahu ceritanya, Totti mengeksekusi penalti itu dan membuat Italia lolos ke babak selanjutnya.
Barangkali ini keheranan yang sama dengan apa yang dirasakan Zidane. Sebelum bertemu dengan Materazzi, Zidane adalah sosok legenda tanpa cela. Tarian, gestur, dan kontrol bolanya sering membuat kita lupa kalau kita sedang menonton sepak bola, dan bukannya balet. Namun, di babak tambahan itu Zidane sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk perang mental. Mungkin karena Zidane sudah terlalu lama pergi dari Juventus, Italia, sehingga lupa bahwa jika kamu memantik peperangan dengan pria Italia; mungkin Anda akan menang dalam pertempurannya, tapi Anda akan kalah dalam perangnya.
Zidane memang berhasil membalas penghinaan Materazzi dengan sebuah tandukan, yang mungkin masuk dalam kategori “The Greatest Knockouts of All Time”. Kapten Prancis ini memang berhasil memenangkan pertempurannya dengan Materazzi. Ia membuat pemain Inter ini tersungkur tak berdaya.
Sayang, Zidane lupa, bahwa lawannya kali ini bukanlah bek sembarangan. Ia adalah sosok yang bisa membuat Andriy Shevchenko masuk perawatan tim medis tanpa perlu mengantongi kartu merah dari wasit, ia adalah sosok yang bisa membuat Zlatan Ibrahimovich benar-benar marah dan membalas perlakuannya dengan cara-cara yang sama, dan ia adalah lawan seimbang untuk striker-striker diver Italia macam Inzaghi.
Maka bisa ditebak, tidak sampai satu menit kemudian, kartu merah dilayangkan kepada Zidane sebagai penanda akhir karirnya sebagai seorang pemain sepak bola. Di langkah gontai Zidane yang meninggalkan lapangan itulah yang kemudian menjadi akhir perjalanan panjang sang maestro dalam mewarnai sejarah pesepakbolaan dunia.
Meski kemudian Italia juara, Materazzi tetap dicerca. Bagi pengagum Zidane, apa yang dilakukan Materazzi adalah sebuah kecurangan terselubung yang tak bisa menutupi kebesaran sosok Zidane. Yah, boleh saja kebesaran Zidane tidak terhapus oleh kartu merah tersebut, yang jelas karena kartu merah itulah, Materazzi punya koleksi medali yang merupakan supremasi tertinggi dalam dunia sepak bola; medali emas Piala Dunia.
Rossi’s Tackle
Jika ingin melakukan tackle ke Marquez, Rossi memang seharusnya belajar dulu dari salah satu ahlinya, yang merupakan sahabatnya sendiri: Materazzi. Meskipun—mungkin—tidak akan diajari bagaimana tackle yang bersih, tapi paling tidak Rossi bisa belajar bagaimana melakukannya tanpa perlu mendapatkan hukuman.
Gianluca Vialli dalam Italian Job menekankan bahwa bagi pria Italia, sepak bola adalah pekerjaan, bukan permainan seperti pria Inggris. Karena orientasinya adalah pekerjaan, maka hasil yang baik adalah patokan tunggal yang tak bisa diberdebatkan—sekalipun Anda menggunakan cara-cara paling buruk atau brutal untuk mendapatkannya. Itu tak jadi soal. Ini jelas beda jika Anda berbicara di Inggris yang menganggap sepak bola itu permainan, hingga aspek fair-play diutamakan. Di Inggris, Luis Suarez atau Jurgen Klinsman sekali saja diving dalam salah satu satu laga di Liga Inggris, ceritanya bisa terus menggema sepanjang masa.
Dalam pandangan Vialli semacam ini, apa yang terjadi kepada Rossi bisa dikatakan merupakan kegagalan absolut sebagai pria Italia. Hukuman tiga poin penalti mengakibatkannya harus start dari grid paling belakang di Valencia karena poin penaltinya sudah empat (satu poin diberikan karena menghambat laju Jorge Lorenzo dalam sesi kualifikasi di Misano) yang hampir bisa dipastikan menutup kans juara Rossi. Ini jelas bukan salah Marquez, ini salah Rossi sendiri yang sudah larut dalam “permainan” balapan motor dan lupa akan “pekerjaannya” untuk fokus jadi juara.
Ini adalah situasi di mana Rossi adalah Zidane yang kehilangan kontrol akan dirinya sendiri dan Lorenzo serta Marquez adalah Materazzi yang sukses memprovokasi dan mempecundangi sang legenda. Artinya, jika boleh memberikan pujian, dua rider Spanyol ini terasa lebih Italia—bahkan jika dibandingkan dengan ahli furbizia lapangan hijau di Serie A atau Rossi sendiri.
Jika harus ada yang dipuji dari sepanjang musim Moto GP musim ini, maka Lorenzo justru patut diapresiasi—meskipun hal itu tidak akan terjadi bagi penggemar Rossi. Pebalab Spanyol ini secara konsisten sedikit demi sedikit memangkas perolehan poin, dan kini, peluangnya menjadi juara dunia terbuka sangat lebar. “Kerja sama”-nya dengan Marquez memang sebuah cara licik. Namun mereka tidak melakukan kesalahan apapun baik dalam regulasi dan aturan. Artinya, jika mereka adalah Inzaghi, keduanya sukses mempecundangi lawan sekaligus wasit untuk mendapatkan penalti bagi timnya.
Dan di Valencia nanti, “penalti” ini baru akan dieksekusi ke gawang Valentino Rossi.
NB: Valentino Rossi membantah melakukan tendangan dan banyak orang meyakininya. Tapi, hukuman untuknya telah dikeluarkan akibat insiden dengan Marc Marquez itu karena Rossi dinilai melakukan manuver melebar yang mengakibatkan adanya kontak yang menyebabkan Marquez terjatuh.