Masalah di sepakbola Indonesia benar-benar kompleks. Saya sampai sekarang masih ingat bagaimana mantan Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, sempat menyebutkan bahwa PSSI akan baik jika wartawan juga baik.
Hingga Pak Edy menanggalkan posisinya sebagai Ketum demi jabatan baru sebagai Gubernur Sumatra Utara, saya, jujur saja, belum menemukan korelasi antara wartawan yang baik dengan membaiknya federasi. Hadeh.
Acuan dari wartawan yang baik itu seperti apa? Lantas, variabel yang menghasilkan kesimpulan bahwa wartawan baik itu bagaimana? Wartawan yang mudah digoda dengan tawaran umroh dan tak pernah memberitahan hal-hal buruk tentang PSSI? Kalau seperti itu, gugurlah tugas wartawan yang wajib mengabarkan suatu hal berdasarkan fakta.
Anggaplah ada seekor tikus di dalam sebuah rumah, hal yang seharusnya ditulis wartawan adalah keberadaan seekor tikus di dalam rumah. Bukan malah mengaburkan fakta dan menuliskan sesuatu yang bertolak belakang, misalnya saja ada empat ekor tikus di dalam rumah.
Lebih lanjut, jika wartawan dianggap sebagai kunci membaiknya PSSI. Mengapa kami tak diberi memiliki suara yang sah guna memilih Ketua Umum PSSI? Halu!
Selain wartawan, kekacauan sepakbola Indonesia acap diarahkan kepada suporter. Bukan sekali atau dua kali suporter dijadikan biang keladi dari berbagai masalah, lucunya justru hadir dari ulah PSSI sendiri, yang terjadi di sepak bola Indonesia. Seolah-olah yang mesti diedukasi hanyalah suporter.
Bagi saya, suporter memang dapat menimbulkan masalah. Dengan catatan bahwa mereka sudah melakukan sesuatu yang berlebihan atau di luar batas. Namun mereka bukan sumber utama dari segala masalah dalam sepakbola Indonesia.
Satu hal yang kita sering lupa adalah bahwa para pesepakbola juga bermasalah. Pemain-pemain yang merumput di atas lapangan bukanlah dewa yang bersih dari dosa. Pesepakbola juga manusia, laiknya wartawan dan suporter, pernah dan mungkin sering melakukan kesalahan.
Kasus pemukulan pesepakbola kepada wartawan dalam laga PSIM Yogyakarta melawan Persis Solo (21/10) kemarin adalah contohnya. Sosok yang menjadi korban tindak kekerasan dari pemain PSIM, Hisyam Tolle, itu adalah wartawan Goal Indonesia, Budi Cahyono.
Saya menduga bahwa Hisyam melakukan itu karena tak pernah mendapat edukasi. Pernahkah kalian mengira jika para pemain yang beraksi di Liga 1 mengetahui tentang Undang-Undang (UU) Pers? Di situ tertulis bahwa siapapun tak bisa mengganggu dan menghalangi kerja pers.
Bahkan ada pasal yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mengganggu kerja jurnalis akan mendapatkan hukuman pidana paling lama dua tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Hal itu tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 18 tentang Pers.
Pesepakbola, sekali lagi bukanlah orang-orang suci yang bersih dari dosa. Ingat, kasus mafia bola yang sering menggerus persepakbolaan Indonesia juga bisa terjadi lantaran para pesepakbola bisa dan mudah disuap.
Bila selama ini kita menuding wasit adalah aktor utama pengaturan skor di sebuah pertandingan, maka kalian perlu menambahkan sosok pemain yang bisa saja terlibat di situ. Di sisi lain, wartawan berulangkali coba memberikan informasi mengenai pengaturan skor dan membongkarnya. Adakah tindak lanjut yang paripurna?
Wartawan baik maka PSSI baik adalah kalimat yang konyol dan jauh dari kebenaran. Jika mau menggunakan analogi yang sama, kalimat yang harus digunakan adalah: jika PSSI baik, maka pesepakbola Indonesia akan baik.
Lebih sempurna lagi adalah: jika PSSI baik, sepakbola Indonesia pasti baik. Mungkinkah? Wallahualam.