Daniele De Rossi dan Kebebalannya yang Keterlaluan

Tidak ada manusia yang mau menjadi yang kedua. Apa pun alasannya, menjadi yang kedua itu tidak menyenangkan.

Anggap kalian memiliki pacar, dan pacar Anda ternyata punya pacar lain. Anda hanya sebatas selingkuhan. Hanya selingkuhan. Bukan pacar yang pertama, bukan yang utama.

Menyedikan, bukan?

Saat Anda “kencan” dengan pacar kalian yang juga pacar orang lain, hati tidak akan tenang. Gelisah. Siapa tahu, pacarnya pacar Anda ternyata ada di tempat yang sama dengan Anda.

Intinya, sekali lagi, menjadi kedua sangat tidak menyenangkan.

Untuk perkara di atas, Saya dan beberapa Romanisti akan merasakan pedihnya. Menjadi yang kedua dan dibokongi Juventus. Sebal? Jelas.

Kejengkelan menjadi yang kedua tidak akan pernah dirasakan oleh Daniele De Rossi. Gelandang AS Roma yang baru saja mencapai pertandingan ke-400 di Serie A ini tidak merasa jengah selalu menjadi yang kedua.

Dia, menjadi salah satu pemain yang mendapat julukan, “futuro capitano” atau kapten masa depan dengan masa bakti yang lama. Pria yang mengabdi di Roma selama tiga belas tahun ini hidup dalam bayang-bayang kapten Roma, Francesco Totti.

Lagi-lagi menjadi yang kedua, untuk waktu yang begitu lama. De Rossi melakoni debutnya pada 3 Mei 2003. Lantaran pengabdiannya yang begitu tebal, gelandang bertahan ini mendapatkan titel “kapten masa depan”.

Hingga saat ini, terhitung sudah 13 tahun ia menyandang titel tersebut. Bahkan bisa saja ia akan terus menyandangnya hingga tutup karier sebagai pesepak bola.

Bayangkan, saat ini, anak dari pelatih AS Roma Primavera, Alberto De Rossi itu telah berumur 33 tahun. Usia yang tak lagi muda, apalagi untuk seorang gelandang yang wajib menguasai lini tengah. Tenaganya jelas tidak sekuat dulu.

BACA JUGA:  Apa Sebaiknya Juventus Membuat Liga Sendiri Saja?

Apalagi kalau bukan karena “bandelnya” Francesco Totti yang enggan untuk pensiun. Bahkan, sampai detik ini, Totti belum menunjukkan tanda-tanda ia akan pensiun.

Kabar terakhir, ia menyatakan belum akan gantung sepatu lantaran merasa kondisi fisiknya masih mampu untuk bermain.

Melihat kenyataan itu, De Rossi jelas bukan manusia biasa. Ia mampu menerima nasib “sial” tersebut. Menjadi yang kedua di belakang Totti.

Ia sadar bahwa status kapten akan ia pegang ketika Totti pensiun. Tetapi, ia mengakui bahwa jika saatnya nanti, ketika ban kapten melingkar di lengannya, bukannya bahagia, ia malah bersedih karena Totti pensiun.

“Saya tahu kalau ban kapten berpindah, ketika Totti pensiun. Tetapi, saya dan fans tentu tidak bahagia karena ditinggal Totti,” ucapnya seperti dilansir football italia.

Ucapan yang sungguh di luar dugaan. Saat banyak pihak yang bermimpi menjadi kapten, ia justru bersedih ketika nanti ban kapten berpindah ke lengannya.

De Rossi jelas tidak punya ambisi besar. Ia dan Totti adalah putra asli Roma. Kecintaannya kepada Roma tidak terbantahkan. Dengan gamblang, suami Tamara Pisnolo ini menolak pinangan Antonio Conte untuk pindah ke Chelsea.

“Saya mendapatkan uang dari Roma. Di klub lainnya, saya mungkin bisa mendapatkan uang lebih dari yang saya dapatkan di Roma. Tetapi, hal itu tidak penting,” ucapnya.

Baginya, sangat sulit pergi dari Roma hanya demi uang. Karena di klub lain, ia tak akan menemukan sesuatu yang ia dapatkan di Roma: kebanggaan.

Kebanggaan menjadi seorang Roman. Kebanggaan bermain untuk Roma. Sesuatu yang begitu mahal bagi dirinya. Uang tidak bisa membeli loyalitas. Sedikit terdengar naif memang, tetapi itulah kenyataannya.

Selain uang, potensi meraih trofi juara semakin besar apabila hengkang ke Chelsea, atau Real Madrid yang dahulu juga pernah meminati dirinya.

BACA JUGA:  Sentuhlah Piala AFF Tepat di Hatinya

Namun, ambisinya bukan “sebatas” memenangi gelar juara.

“Dalam 90 tahun, Roma hanya memenangi tiga gelar Scudetto. Saya rasa, akan menyenangkan untuk mendapatkan gelar Scudetto saat pemain lain tidak bisa meraihnya. Saya senang tinggal di sini. Saya ingin membuat orang lain bahagia,” ucapnya.

Benar-benar perkataan yang tidak akan pernah diucapkan Robin van Persie kepada fans Arsenal.

Saya tidak bisa menebak apa yang ada di dalam isi otak “seorang bebal” seperti De Rossi. Otak yang saya yakini memiliki tingkat kebebalan yang sama dengan Totti. Pemain yang membuat De Rossi selalu menjadi pilihan kedua.

Namun, “seorang bebal” seperti De Rossi justru yang membuat AS Roma sangat layak dicintai. Meski menjadi yang kedua setelah Totti dalam waktu yang begitu lama, De Rossi tak menunjukkan rasa kecewa.

Ia justru menghargai posisinya, terus berjuang untuk lambang serigala di dada seragamnya. Seorang panutan menunjukkan indahnya kesetiaan dengan cara paling sederhana.

Daje De Rossi!

 

Komentar
Penulis adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Mencintai sepakbola seperti mencintaimu. Penikmat Sepak bola Indonesia dan Italia. Dikontrak seumur hidup oleh Gresik United dan AS Roma dengan kepimilikan bersama atau co-ownership. Yang mau diskusi tentang sepak bola ataupun curhat tentang cinta, bisa ditemui di akun twitter @alipjanic .