Kasus pencurian umur bukanlah hal baru dalam dunia sepak bola. Pada tahun 2013, mencuat isu yang mengejutkan bahwa banyak pemain sepak bola dari Afrika berusia lebih tua dari umur yang tertera di kartu identitas mereka. Beberapa nama terkenal seperti Taribo West, Nwanko Kanu dan Jay Jay Okocha diduga terkait dengan kasus ini. Taribo West, pemain asal Nigeria yang tercatat berusia 23 tahun ketika bergabung dengan Inter Milan pada tahun 1997, diduga berusia 12 tahun lebih tua.
Hal ini terbongkar pertama kali ketika pemain yang terkenal dengan rambut nyentrik ini bergabung dengan Partizan Belgrade pada tahun 2002. Zarko Zecevic yang merupakan presiden klub asal Serbia saat itu, mengungkapkan bahwa usia pemain yang juga pernah memperkuat AC Milan itu sudah 40 tahun (menurut kartu identitas, West baru berusia 28 tahun) saat bergabung dengan mereka.
Afrika memang lekat dengan kasus pencurian umur. Selain nama-nama terkenal tadi, sebuah skandal pencurian umur yang menghebohkan pernah terjadi pada International Four Nations Tournament for Underprivileged Children yang diselenggarakan di Prancis pada tahun 1998. Pada turnamen untuk anak usia di bawah 14 tahun itu, Afrika Selatan harus memulangkan lebih dari setengah anggota timnya karena ketahuan melakukan pencurian umur. Setelah dilakukan investigasi, salah satu pemain yang merupakan kapten tim itu ternyata adalah seorang mahasiswa jurusan Teknik Kimia di Port Elizabeth Technnikon. Belajar dari kasus ini, FIFA selaku penyelenggara mulai menaruh perhatian terhadap keaslian umur pemain. Sekarang, dalam perhelatan Piala Dunia U-17 dilakukan pemeriksaan MRI (Magnetic Ressonance Imaging) pada pergelangan tangan untuk memastikan usia biologis seorang pemain.
Indonesia tidak kalah heboh dalam urusan curi mencuri umur. Pada Juli 2013 kita dengar bahwa Indra Sjafri, saat itu merupakan pelatih Tim Nasional U-19, mencoret beberapa nama, setelah pemain tersebut ketahuan melakukan pencurian umur melalui pemeriksaan MRI. Sebelumnya, salah satu pesepak bola Indonesia yang pernah bermain di Eropa, Rigan Agachi, konon juga didepak dari PSV Eindhoeven karena kasus pencurian umur.
Pemeriksaan MRI pada pergelangan tangan, seperti yang dilakukan pada Piala Dunia U-17, menunjukkan hasil yang sangat valid. Penelitian Jiri Dvorak yang berjudul Age determination by magnetic resonance imaging of the wrist in adolescent male football players, menunjukkan bahwa hanya 1 dari 136 atau 0.77% pemain yang celah sendinya sudah menutup sempurna pada usia 16 tahun. Artinya, penutupan celah sendi dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan apakah seorang pemain berusia lebih atau kurang dari 17 tahun.
Dalam pemeriksaan MRI itu, digunakan 6 kriteria. Adapun 6 kriteria tersebut adalah
Pemeriksaan MRI bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah dilakukan di Indonesia, bahkan rumah sakit tipe A seperti RSUP Sardjito saja tidak memiliki alatnya. Selain itu, pemeriksaan MRI juga mahal. Bagi negara seperti Indonesia, di mana money is still an issue tentu pemeriksaan MRI menjadi tidak relevan untuk secara reguler dilakukan pada skrining umur kompetisi usia dini. Untuk itu, kita perlu mencari metode yang lebih sederhana dan murah agar bisa melakukan pencegahan terhadap pencurian umur.
Sebuah penelitian yang berjudul Age determination using ultrasonography in young football players tampaknya membuat hal ini mungkin dilakukan. Para peneliti melakukan penelitian ini di Iran pada desember 2009. Sebanyak 82 pemain sepak bola berusia 15-20 tahun dilakukan pemeriksaan USG terhadap bagian distal tulang radiusnya. Hasil dari pemeriksaan diukur dari seberapa lebar celah sendi yang ditemukan.
Pada hasil penelitian itu mereka menemukan bahwa, jika lebar celah sendi adalah 0.95 mm, maka 89% kemungkinan anak tersebut berusia kurang dari 17 tahun. Jika lebar celah sendi adalah 0.75 mm, maka 98% anak tersebut berusia 18 tahun.
Hasil penelitian ini terlihat signifikan dan menjanjikan sebagai metode skrining pengukuran usia pemain. Namun, terdapat beberapa kelemahan dalam penelitian ini. Kurang banyaknya jumlah sampel, serta pengaruh dari ras, tinggi badan dan berat badan yang tidak dimasukkan sebagai variabel, membuat metode ini belum dapat menggantikan peran MRI secara keseluruhan.
Bagi negara seperti Indonesia, dimana metode yang murah dan praktis sangat dibutuhkan, metode ini sangat bisa dipakai. Mengingat bahwa ultrasonografi adalah alat yang tersedia bahkan di Puskesmas sekalipun.