Tumpulnya Taring AS Roma

Serie A musim 2019/2020 sudah memasuki bulan Februari dan menyelesaikan 22 giornata alias lebih dari separuh perjalanan. Namun nahas, segalanya tak terlalu mengenakkan bagi AS Roma dan pendukung setianya, Romanisti. Patut diakui bahwa penampilan Nicolo Zaniolo dan kawan-kawan memang belum sampai ke level paripurna.

Padahal sepanjang bursa transfer pemain, Roma menguras isi rekening mereka sebanyak 70 juta euro lebih demi mendatangkan sejumlah penggawa anyar. Baik dengan status pembelian seperti Amadou Diawara, Pau Lopez, dan Leonardo Spinazzola maupun pinjaman layaknya Gianluca Mancini, Henrikh Mkhitaryan, Chris Smalling, dan Jordan Veretout.

Sejauh ini, I Giallorossi sudah gugur dari ajang Piala Italia. Sementara di Serie A, mereka masih kepayahan untuk menembus empat besar. Nasib baik sedikit berpihak kepada Zaniolo dan kolega lewat kiprah yang masih berlanjut di ajang Liga Europa.

Selama beberapa musim pamungkas, status Roma berubah perlahan-lahan. Mulanya sebagai pesaing Juventus sebagai kandidat peraih Scudetto hingga kini jadi tim yang memperebutkan tiket mentas ke turnamen antarklub Eropa belaka.

Salah satu hal yang acap disinggung oleh banyak Romanisti perihal merosotnya penampilan tim adalah seringnya I Giallorossi menjual pemain-pemain terbaiknya ke kubu lain begitu disodori cek dengan nominal masif. Mungkin benar tuduhan publik jika manajemen Roma sangat mata duitan.

Alisson Becker, Radja Nainggolan, Miralem Pjanic, Antonio RĂ¼diger, Mohamed Salah, dan Kevin Strootman adalah figur-figur andalan yang dilepas dengan harga tinggi dalam rentang tiga musim ke belakang.

Meski Roma mendatangkan pengganti untuk nama-nama brilian di atas, tapi proses membangun fondasi dan soliditas tim yang baru tidak mudah dipraktikkan. Apalagi hal tersebut bak ritual musiman yang senantiasa dilakukan setiap kompetisi anyar dimulai.

BACA JUGA:  Kante dan Capoue, Bintang dalam Seni Bertahan

Konsistensi menjadi problem besar yang sering menghantui I Giallorossi. Alih-alih bersaing, mereka pun kerap kehabisan bahan bakar di tengah perjalanan. Pada akhirnya, selalu pasrah dengan keadaan walau sejatinya itu buruk untuk masa depan klub.

Roma ibarat mimpi yang dibangun setengah-setengah. Mereka ingin tangguh, tapi enggan memperkuat diri. Ogah menjadi lemah, tapi pembenahan yang dilakukan lebih berunsur profit semata.

Lebih menyebalkan lagi, ketika I Giallorossi tertatih-tatih layaknya sekarang, sang rival sekota yaitu Lazio justru terbang tinggi dan memantati Roma di papan klasemen sementara serta berpeluang terlibat dalam perburuan Scudetto.

Apa yang terjadi di tubuh Roma begitu sulit diterima begitu saja oleh para Romanisti. Apalagi performa macam ini telah mereka perlihatkan dalam rentang dua musim terakhir.

Kehadiran pelatih asal Portugal yang sebelumnya membawa Shakhtar Donetsk menjuarai Liga Primer Ukraina tiga kali, Paulo Fonseca, belum dapat mengubah seluruh atmosfer di Trigoria, markas latihan Roma.

Ketergantungan Fonseca kepada sejumlah figur penting, misalnya saja Edin Dzeko, Aleksandr Kolarov, Mancini, dan Veretout tampak begitu jelas. Andai mereka absen gara-gara cedera atau suspensi, tentu ada bahaya yang mengintai I Giallorossi.

Lebih jauh, friksi di dalam tubuh manajemen juga mengganggu laju tim. Beberapa waktu lalu, sang legenda hidup, Francesco Totti, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Direktur Roma akibat tak sepaham dengan pemilik klub, James Pallotta.

Entah di ajang mana Zaniolo dan kawan-kawan bisa menebalkan optimismenya pada sisa musim ini. Melihat Roma tampil konsisten saja rasanya susah sekali. Terbaru (2/2), mereka keok di tangan Sassuolo dengan skor 2-4.

Tak bisakah anak asuh Fonseca menghadirkan kebahagiaan untuk Romanisti? Seakan-akan, serigala ibu kota yang buas itu kini tak lagi garang. Taringnya tumpul dan tak tahu lagi cara berburu mangsa.

BACA JUGA:  Roberto Mancini: Si Anak Emas yang Nakal

Jika bersaing di Serie A teramat sulit bagi I Giallorossi, menyeriusi ajang Liga Europa (atau bahkan menjuarainya) adalah opsi yang layak dijajal. Memberi penghiburan untuk diri sendiri dan juga Romanisti yang tak pernah berhenti menghadiahkan dukungan adalah keharusan.

Tak sekadar berfungsi untuk menutupi luka akibat dikritik habis oleh para pendukung setia maupun dikangkangi Lazio, tapi juga membuktikan diri bahwa Roma adalah faksi terkuat di Kota Abadi.

Komentar