Adil Sejak Dalam Pikiran

Sepak bola mengajarkan banyak nilai-nilai kebaikan dalam hidup. Namun, apakah nilai-nilai tersebut dapat diperoleh dari Chelsea yang permainannya kerap dikecam publik sepanjang musim kemarin?

Jose Mourinho dan “parkir bus” tampaknya masih akan terus dibicarakan dalam beberapa musim ke depan. Apalagi jika Chelsea yang ditanganinya saat ini lebih banyak lagi menggunakan taktik tersebut di berbagai pertandingan.

Adakah yang salah dengan taktik tersebut? Oleh berbagai pihak, taktik tersebut dianggap membunuh permainan sepak bola yang indah. Pendapat ini tentu sahih-sahih saja. Namun, di balik pendapat yang demikian, tersimpan pretensi bahwa sepak bola harus dimainkan dengan cara tertentu. Inilah hal yang sebenarnya berpotensi mengancam sepak bola.

Parkir bus sebenarnya bukan taktik yang benar-benar baru. Ia tidak jauh berbeda dengan catenaccio atau sistem gerendel yang digunakan Italia pada Piala Dunia 1982. Perbedaannya adalah Mourinho menggunakan taktik ini setelah timnya unggul dan menginstruksikan hampir semua pemain bertahan.

Sementara pada Piala Dunia 1982, sejak awal Italia sudah menumpuk pemain belakang dalam jumlah yang banyak dan meninggalkan Paolo Rossi sendirian di depan. Taktik menumpuk pemain di belakang sesekali memang efektif. Italia menjadi juara Piala Dunia 1982 dan Chelsea menjadi juara Premier League musim 2014/2015.

Mengapa taktik ini dikecam? Bagi mereka yang menyukai sepak bola menyerang nan indah, permainan sepak bola dengan cara seperti itu adalah permainan yang membosankan. Tidak lezat disaksikan.

Bagi pendukung cara bermain seperti ini, Brasil Piala Dunia 1982 lebih layak disebut juara tanpa mahkota daripada Italia. Pada Piala Dunia di Spanyol tersebut, Brasil memang mencetak banyak gol dan bermain indah hingga akhirnya kalah dari Italia yang menerapkan sistem catenaccio.

Dengan kata lain, permainan sepak bola dengan lebih banyak bertahan dianggap menodai kesucian sepak bola. Kemenangan yang diperoleh dengan cara bertahan dianggap bukan kemenangan yang sakral.

BACA JUGA:  Roda Kehidupan Unai Emery yang Terus Berputar

Sepak bola harus dimainkan dengan cara menyerang, berusaha mencetak gol sebanyak-banyaknya, dan bukan bertahan terus menerus. Sebab dengan cara yang demikianlah sepak bola menjadi terhormat. Begitu kira-kira pendapat para pendukung ideologi sepak bola menyerang.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, strategi bertahan adalah bagian dari permainan sepak bola itu sendiri. Pun tidak ada regulasi tertulis yang menyebut bahwa satu kesebelasan harus dan wajib bermain cantik nan ofensif untuk menghibur penonton.

Oleh sebab itu, keharusan bahwa sepak bola harus dimainkan dengan cara indah adalah bagian dari upaya membuat sepak bola menjadi permainan yang dimainkan dengan cara tunggal. Seakan-akan cara bermain lain, meski tidak melanggar regulasi, adalah cara bermain yang haram.

Hal inilah yang sebenarnya mengancam sepak bola. Sepak bola sebagai ruang publik yang demokratis terancan dimonopoli oleh cara pandang bahwa sepak bola harus dimainkan dengan melulu indah. Jika hal ini dibiarkan, sepak bola bukan lagi ruang publik yang sehat. Padahal, sepak bola tidak seharusnya demikian bukan.

Sepak bola justru mengajarkan kepada publik bahwa semua aspirasi layak mendapat tempat di lapangan sepak bola. Tentu dengan catatan, sejauh aspirasi tersebut tidak dipaksakan oleh kelompok tertentu.

Mengakui prestasi Mourinho dan Chelsea musim lalu yang kerap bermain bertahan barangkali adalah langkah awal membuka pikiran bahwa berbagai cara bermain dan taktik perlu diapresiasi. Dengan cara inilah, sepak bola dapat menyampaikan satu nilai penting dalam hidup. Tentang bagaimana perlu adil sejak dalam pikiran.

Komentar