Mengangkat Topi untuk Gian Piero Gasperini

Bagi mayoritas penggemar sepakbola, nama Gian Piero Gasperini mungkin masih asing sebelum didapuk sebagai pelatih Inter Milan pada 24 Juni 2011 silam. Hal ini tergolong wajar sebab kariernya sebagai pelatih sebelum itu ‘hanya’ berkutat di Crotone dan Genoa, dua kesebelasan semenjana di kancah sepakbola Italia.

Dengan skuat yang masih dihuni sosok-sosok sekelas Esteban Cambiasso, Diego Milito, dan Javier Zanetti, harapan Massimo Moratti kepada suksesor Leonardo Araujo tersebut cukup besar. Namun apes, sepak terjangnya sebagai nakhoda I Nerazzurri berantakan.

Bukannya tampil mengesankan, Inter besutan Gasperini justru tak pernah menang di lima partai awal Serie A 2011/2012. Tak tahan dengan kondisi itu, Moratti pun melengserkan Gasperini dari jabatannya pada 21 September 2011.

Mimpi menukangi kesebelasan raksasa yang akhirnya tiba sebagai pengakuan dari kapasitasnya dalam melatih ambyar dalam sekejap. Walau demikian, ada pihak yang merasa bahwa keterpurukan I Nerazzurri ketika itu bukan semata-mata karena strategi Gasperini di atas lapangan.

Keengganan Moratti untuk memenuhi permintaan sang pelatih di bursa transfer dinilai sebagai salah satu alasan utama mengapa Gasperini gagal.

Dengan skema andalan 3-4-3, Gasperini butuh wing back dan winger untuk menyempurnakan strateginya. Namun tak ada pemain dengan kriteria tersebut yang datang. Justru nama-nama seperti Luc Castaignos, Diego Forlan, dan Mauro Zarate yang direkrut.

“Pengalaman saya melatih Inter sungguh tak mengenakkan. Periode itu benar-benar menghancurkan saya. Selepas momen itu, saya seolah memulai segalanya dari awal lagi”, terang Gasperini seperti dikutip dari nerazzurriale.

Saya yang merupakan penggemar Serie A, sudah tahu bagaimana kiprah Gasperini, utamanya saat menangani Genoa dalam rentang 2006/2007 hingga 2010/2011.

Bersama  klub yang berkandang di Stadion Luigi Ferraris ini, Gasperini memunculkan ‘sihirnya’. Berbekal skuat kelas menengah, I Rossoblu memamerkan cara main yang memikat perhatian.

Ia mampu mengantar Genoa finis di posisi kelima Serie A 2007/2008 sekaligus mengunci satu tiket ke ajang Liga Europa buat musim berikutnya. Capaian ini memunculkan pujian kepada Gasperini karena momen terakhir mentas di Benua Biru bagi klub peraih sembilan Scudetto itu terjadi pada musim 1991/1992 saat Liga Europa masih bernama Piala UEFA.

BACA JUGA:  Aroma Amerika di Venezia

Kegagalan di Inter mengirim Gasperini berlabuh ke Pulau Sisilia pada musim 2012/2013. Salah satu klub di sana yaitu Palermo, jadi pihak yang berkenan menggunakan jasanya.

Tak kalah menyesakkan, Gasperini juga gagal total bersama I Rosanero karena di akhir musim, mereka malah terdegradasi ke Serie B. Lucunya, selama membesut Palermo, Gasperini mengalami pemecatan sebanyak dua kali.

Di musim 2013/2014, Gasperini dan Genoa kembali bersatu. Bak kisah cinta yang belum usai, keduanya menghabiskan waktu yang cukup panjang yakni tiga musim untuk merajut tali romansa yang sebelumnya terputus.

Walau performa tim tak sememikat dahulu, Gasperini sempat membawa I Rossoblu finis di peringkat enam musim 2014/2015.

Sayangnya, hal itu tak membuahkan tiket bermain di Eropa akibat Genoa tak mendapat lisensi dari asosiasi sepakbola Italia (FIGC) guna berlaga di kompetisi regional. Semuanya bermula dari kegagalan Genoa menyelesaikan urusan pajak yang wajib mereka bayarkan.

Meroket di Atalanta

Petualangan Gasperini lantas berlanjut di Atalanta usai menerima pinangan tim asal Bergamo itu pada musim panas 2016. Hebatnya, bersama tim ini pula nama Gasperini meroket lagi sebagai allenatore.

Tak memiliki pemain-pemain bintang, La Dea tetap tampil prima di bawah arahan Gasperini. Mereka jadi kekuatan baru yang sanggup menggoyang kedigdayaan klub-klub papan atas. Pada musim 2016/2017, Atalanta sukses mengakhiri Serie A dengan finis di peringkat keempat dan beroleh tiket ke ajang Liga Europa musim selanjutnya.

Ditinggal sejumlah penggawa pilar bikin Atalanta goyah di musim 2017/2018. Prestasi di musim sebelumnya gagal diulangi karena La Dea cuma bertengger di posisi ketujuh klasemen akhir.

Namun roda nasib Gasperini bareng Atalanta berubah 180 derajat pada musim 2018/2019. Dimotori Alejandro Gomez, Josip Ilicic, Robin Gosens sampai Gianluca Mancini, klub dengan warna seragam yang sama dengan Inter ini berhasil nangkring di peringkat tiga classifica. Tak main-main, hasil tersebut menerbangkan Atalanta ke kejuaraan antarklub Eropa paling megah, Liga Champions.

BACA JUGA:  Christian Vieri: Nostalgia Striker Klasik

Sejak berdiri pada tahun 1907, apa yang ditorehkan Atalanta di musim 2018/2019 adalah capaian terbaik sepanjang sejarah klub berlaga di Serie A. Pun dengan keberhasilan merebut satu tempat beraksi di Liga Champions. Maka wajar bila seluruh elemen, mulai dari pemain, pelatih, manajemen hingga fans, merayakannya.

Musim ini, Gasperini masih memunculkan sentuhan magisnya bersama Atalanta. Sebelum Serie A dihentikan akibat pandemi Corona, mereka tengah duduk di peringkat keempat.

Sementara di ajang Liga Champions, Gomez dan kawan-kawan mampu menjejak fase perempatfinal seusai mengandaskan Valencia di babak 16 besar.

Lantas apa rahasia Gasperini sehingga Atalanta tampil brilian? Baru-baru ini ia mengungkapkan rahasianya saat di wawancarai oleh media asal Inggris, The Guardian. Pelatih berusia 62 tahun itu mengaku gemar ‘menyiksa’ pemainnya di sesi latihan.

Menurutnya, anak asuhnya harus berjuang dengan sangat keras di setiap sesi latihan. Karena ini merupakan cara yang ideal untuk tampil bagus dan konsisten.

Bekerja keras di setiap sesi latihan merupakan satu-satunya cara agar Atalanta bisa meraih kesuksesan (yang tak diukur dengan trofi). Hal ini dilakukan karena Gasperini menyadari bahwa timnya takkan mendapat sokongan finansial layaknya klub-klub mapan.

Berkat kiprah heroiknya bersama Atalanta, sejumlah media kenamaan tak berhenti melontarkan pujian kepadanya. Goal bahkan menyebut Gasperini sebagai The Renaissance Man of Italian Football. Ada pula media yang memuji Gasperini sebagai Sir Alex Ferguson dari Bergamo dan beroleh nickname Gasperson.

Bersama klub sekelas Inter, Gasperini malah gagal memperlihatkan kemampuan terbaiknya. Namun ajaib, bareng tim-tim yang pamornya lebih rendah serta tak memiliki dukungan finansial luar biasa yaitu Genoa dan Atalanta, pria yang beroleh gelar Pelatih Terbaik Serie A 2019 ini malah tampil eksepsional.

Pantas rasanya bila kita, para penggemar sepakbola, mengangkat topi sebagai bentuk pujian kepada lelaki yang semasa aktif bermain dahulu juga menghabiskan kariernya di klub-klub medioker sekelas Pescara dan Salernitana itu.

Bravo, Gasperini!

Komentar
Penggemar sepakbola nasional maupun internasional yang dapat disapa via akun Twitter @yud1ka