Atalanta: Dewi Cantik yang Membuat Kita Jatuh Cinta

Bukan kesebelasan dengan nama besar atau tradisi gemilang, tapi sepanjang musim ini, Atalanta sukses memukau perhatian fans sepakbola di jagad raya.

Bagaimana tidak, laju mereka di ajang Serie A maupun Liga Champions sungguh eksepsional. Saya pun percaya, tak ada yang menduga Robin Gosens dan kawan-kawan bakal mengukir kisah epik layaknya dongeng.

Kisah dongeng pada umumnya disukai oleh banyak orang. Biasanya, dongeng diidentikkan sebagai kisah yang digunakan sebagai pengantar tidur, di mana ceritanya begitu nyaman dan asik untuk didengar.

Dari ranah sepakbola, kita juga bisa melihat pelbagai kisah dongeng nan indah. Misalnya saja keberhasilan Leicester City jadi kampiun Liga Primer Inggris 2015/2016, Irak yang memenangkan Piala Asia 2007 sampai prestasi emas Yunani saat jadi jawara Piala Eropa 2004.

Di bawah arahan Gian Piero Gasperini, La Dea mengukir cerita indah dan heroik dalam beberapa musim pamungkas. Walau belum ada trofi yang sukses dipeluk, tapi penampilan mereka memang mustahil untuk tidak dipuji. Di tengah himpitan tim-tim berduit, Gosens dan kawan-kawan melesat laksana anomali. Mereka jadi fenomena yang terus dibicarakan hingga detik ini.

Dahulu, kita lebih senang membongkar rahasia taktik tim-tim papan atas. Namun Atalanta yang cara mainnya ciamik bikin kita tergugah untuk mencari tahu bagaimana instruksi Gasperini diimplementasikan anak asuhnya di atas lapangan hijau demi meraih hasil-hasil positif.

Skuad La Dea bisa dikatakan minim bintang. Kiper inti mereka, Pierluigi Gollini, awalnya hanya penghangat bangku cadangan di Aston Villa. Berat Djimsiti dan Rafael Toloi hanya main di liga lokal negaranya sebelum mencicipi atmosfer Serie A. Marten De Roon pernah merasakan pahitnya degradasi kala bermain untuk Middlesbrough sedangkan Mario Pasalic cuma figur buangan dari Chelsea. Josip Ilicic dianggap gagal bersinar saat di Fiorentina dan Duvan Zapata sekadar striker pelapis kala memperkuat Napoli.

BACA JUGA:  Pertunjukan yang Hilang dari Derbi Milano

Akan tetapi, Gasperini sanggup memaksimalkan kemampuan dari nama-nama di atas guna menghadirkan kegembiraan untuk klub, fans dan masyarakat kota Bergamo.

Musim 2016/2017, mereka nangkring di peringkat empat klasemen akhir Serie A dan berhak lolos ke Liga Europa musim berikutnya. Walau sempat mengalami penurunan dengan finis di posisi tujuh Serie A 2017/2018, tapi Gosens dan kolega berhasil menembus 32 besar Liga Europa.

Pencapaian historis bagi klub ditorehkan pada musim 2018/2019 di mana La Dea menyudahi kompetisi Serie A di peringkat tiga dan bakal mentas di Liga Champions. Ini merupakan capaian terbaik Atalanta selama berlaga di pucuk piramida sepakbola Italia. Tak berhenti sampai di situ, tim besutan Gasperini juga menembus final Piala Italia kendati gagal membungkus titel juara.

Di musim 2019/2020 kali ini, lagi-lagi Atalanta duduk manis di peringkat tiga klasemen akhir Serie A. Torehan apik tersebut diekori dengan kelolosan mereka ke babak perempatfinal Liga Champions. Hingga tulisan ini dibuat, Gosens beserta kolega masih menyimpan asa lolos ke semifinal jika sukses membungkam raksasa Prancis, Paris Saint-Germain (PSG).

Lesatan hebat Atalanta membuat Gasperini dipuji habis oleh banyak orang. Dilihat dari sisi manapun, hal itu sangat pantas didapat pria berambut putih tersebut. Terlebih, lelaki berumur 62 tahun ini memiliki filosofi permainan yang memikat mata.

Di luar aspek pemain dan pelatih, keberhasilan La Dea terbang tinggi juga berkat kelihaian tim pemandu bakat mereka dalam mendeteksi pemain-pemain berpotensi tinggi yang setelah diasah bisa jadi pilar tim layaknya Andrea Conti, Roberto Gagliardini dan Franck Kessie dahulu.

Pun dengan kehebatan mereka menemukan figur bagus dengan banderol miring. Sebelum membela Atalanta, siapa yang mengenal Djimsiti, Gosens, Hans Hateboer, Ruslan Malinovskyi sampai Toloi?

BACA JUGA:  Menanti Zlatan Ibrahimovic Kembali

Dongeng Atalanta tidak sama persis seperti dongeng yang biasa dibacakan pada malam hari sehingga pendengarnya lekas terlelap. Permainan Atalanta terlalu indah untuk ditinggal tidur.

Permainan kompak nan menyerang menjadi identitas yang kuat dari mereka. Jauh dari gaya main tim-tim underdog pada umumnya. 100 gol lebih yang sukses digelontorkan Gosens dan kawan-kawan sepanjang musim ini merupakan bukti sahihnya.

Jelang berputarnya fase perempatfinal Liga Champions, menggelinding banyak harapan kepada Atalanta. Salah satunya adalah melangkahi PSG dan menembus semifinal. Namun berhasil atau tidak, rasa jatuh cinta kita kepada La Dea adalah keniscayaan yang tak tergoyahkan. Sang Dewi memang pantas dikagumi dan pada musim-musim selanjutnya, saya yakin mereka dapat menuliskan cerita-cerita indah lainnya.

Komentar
Penggemar sepakbola yang dapat disapa melalui akun Twitter @__alvin7