Jose Mourinho yang Akhirnya Menjadi Pecundang

Mari jujur saja, tulisan ini sepenuhnya kesempatan yang diberikan kepada saya untuk bisa dengan leluasa dan tanpa beban mengkritik Jose Mourinho. Kalau mau berlebihan, saya punya ratusan alasan untuk membenci sosok antagonis dari Portugal ini, namun fakta bahwa beliau adalah salah satu pelatih papan atas yang digdaya dalam satu dekade belakangan membuat saya tidak memiliki momentum yang pas untuk melontarkan kritikan.

Sejak menjadi asisten Bobby Robson dan Louis Van Gaal di Barcelona, Jose Mourinho baru mengalami lonjakan karir yang signifikan saat bersama pemain-pemain seperti Paulo Ferreira, Ricardo Carvalho hingga Deco mampu menjuarai Liga Champions Eropa pada tahun 2004.

Dengan masuknya investasi dana dari Roman Abramovich, proyek ambisius taipan minyak dari Rusia ini bersama Chelsea, sebuah kesebelasan semenjana (dahulunya) dari Barat London ini resmi dimulai. Dan ya, penunjukkan sang mulut besar dari Portugal bernama Jose Mourinho ini mengawali periode titik balik Chelsea menjadi salah satu kekuatan besar yang di kemudian hari, tepatnya saat ini, menjadi diperhitungkan.

Jujur saja, pesona Gianluca Vialli atau Claudio Ranieri, dua pelatih The Blues sebelumnya, tentu tak seberapa dibanding Jose Mourinho. Sejak lengser dari kursi Chelsea, Gianluca Vialli kemudian aktif menjadi komentator sepak bola di Sky Sport, sedangkan Ranieri, saat ini menukangi Leicester City. Bandingkan dengan Mou, setelah era pertamanya bergelimang gelar di Chelsea usai, pria sarkastik nan flamboyan ini merengkuh treble winners bersama FC Internazionale Milano dan kemudian melanjutkan CV karirnya yang gemerlap dengan melatih salah satu tim terbaik abad ini, Real Madrid.

Walau tak terlalu gemerlap bersama klub kota Madrid tersebut, toh pesona Mourinho masih mampu membuat raja minyak dari Rusia sudi untuk membiarkan cinta lama bersemi kembali antara si pria Portugal dan Chelsea. Resmilah sejak 2013, Mourinho kembali menangani Chelsea dan dua tahun setelahnya, tepatnya musim lalu, menjuarai kembali Liga Inggris dan Capital One Cup. Sungguh sebuah trayek karir yang begitu penuh gelar dan sarat prestasi ketika anda membicarakan sosok yang fenomenal dari Lisbon ini.

Hampir tidak ada celah sedikitpun untuk menyerang Mourinho melalui psikis atau media, karena mind games adalah salah satu keahlian utama beliau. Bagaimana Anda bisa sarkastik saat Anda melawan seseorang yang level sarkasnya bahkan beberapa tingkat di atas Anda?

Jose Mourinho adalah orang yang bilang Arsene Wenger adalah spesialis gagal, pada tahun saat Arsenal akhirnya buka puasa gelar dengan memenangi Piala FA dan Chelsea bersama Mourinho justru tanpa gelar. Mourinho pula yang bilang bahwa Sam Allardyce seperti memainkan sepak bola abad 19, saat musim lalu West Ham memainkan sepak bola defensif kala menghadapi Chelsea dan Mourinho kemudian justru meniru langkah Big Sam dan West Ham saat menghadapi Arsenal pada beberapa pekan setelahnya untuk mengamankan hasil seri 0-0 sekaligus mendekatkan Chelsea ke tangga juara musim lalu.

BACA JUGA:  Sebelas Wonderkid Serie A 2015/2016

Dan puncak dari keagungan Jose Mourinho sebagai pelatih adalah saat dengan percaya diri menyebut dirinya The Special One di konferensi pers pertamanya saat diperkenalkan sebagai pelatih Chelsea sesaat setelah mengantar Porto juara Eropa pada musim sebelumnya. Luar biasa, bukan?

Karenanya, ketika di musim ini Chelsea sudah menelan lima kekalahan saat Liga baru berjalan sepuluh pertandingan, ditambah kekalahan saat melawan Stoke City di Capital One Cup, angin segar tentu saja berpihak bagi para haters Jose Mourinho untuk keluar dari pertapaan dan mengeluarkan karya sebaik mungkin guna mengkritisi prestasi Chelsea. Dan tanpa malu atau sungkan, saya memang salah satu yang menantikan saat-saat seperti ini datang.

Ada beberapa poin nyata yang memang harus dikritik tentang Jose Mourinho. Setidaknya, untuk musim ini. Salah satu yang nyata adalah pilihan untuk tidak melakukan inovasi taktik yang berbeda ketika strategi tim tidak jalan.

Seperti saat melawan Southampton, misalnya. Usai memimpin 1-0 lewat gol Willian, Chelsea malah bermain pasif dan membiarkan kendali permainan ada di lawan. Sayangnya, dengan struktur lini belakang yang memang keropos sejak awal musim, gol tentu tinggal menunggu waktu saat trio Dusan Tadic-Sadio Mane-Graziano Pelle leluasa menembus lini belakang Chelsea yang memang pasif dan keropos sejak awal musim ini.

Lalu, Anda ingat kicauan manis Mourinho saat bilang Eden Hazard harusnya ada di level yang sama dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo? Sejak ucapan itu hingga detik tulisan ini dibuat, seberapa besar dampak permainan Hazard bagi Chelsea musim ini? Fans Chelsea garis keras bisa menjawab pertanyaan saya di kolom komentar kalau berminat.

Sekadar info, Messi dan Ronaldo tidak hanya hebat dan luar biasa, tapi juga konsisten. Hazard memang hebat saat musim lalu mengantar Chelsea menjadi juara Liga dan meraih PFA Player of The Year, namun untuk bisa konsisten seperti dua makhluk luar angkasa tadi? Tunggu dulu. Terbaru dia jadi aktor kegagalan Chelsea yang tersingkir dari Piala Liga setelah eksekusi penaltinya digagalkan oleh Jack Butland yang memastikan kemenangan Stoke City atas sang tamu dari London.

BACA JUGA:  Cerita Tentang Kasper Schmeichel dan Sang Ayah

Polemik musim ini tidak hanya cukup di situ. Kebiasaan Mourinho untuk melindungi psikis pemainnya dengan menyerang pihak lain saat Chelsea kalah adalah titik kulminasi yang menunjukkan mental nyata seorang pecundang dalam dirinya.

Kekalahan hanya akan menjadi menyakitkan, saat anda memilih untuk menyalahkan bukan untuk menerima. Saya seperti melihat relevansi antara Jose Mourinho dengan pengurus sepak bola di negeri kita ini. Selalu mencari siapa yang salah, bukan apa yang salah. Mourinho pun begitu, bukan?

Dia mengomentari Arsene Wenger dan posisi Wenger yang seolah tanpa beban dan tidak pernah terancam untuk dipecat. Menyalahkan dan mencaci wasit. Mengkritik dan mengeluarkan dokter Eva Carneiro pasca-hasil imbang 2-2 dengan Swansea City bulan Agustus lalu.

Entah sadar atau tidak, sumber buruknya performa Chelsea sebenarnya adalah pasifnya strategi Mourinho dan pemilihan back four di belakang yang tidak cermat. Kesalahan struktural di taktik bermain sudah nyata dan terasa dampaknya, namun pria flamboyan dari Portugal ini ternyata lebih senang menyerang pihak lain dan abai terhadap internal timnya. Luar biasa memang junjungan fans-fans Chelsea ini, saya jadi segan untuk melanjutkan kritikan.

Musim ini tentu akan sangat berat untuk fans Chelsea, mengingat musim lalu mereka berhasil juara dan terlanjur jumawa lalu yakin musim ini akan treble winners. Mungkin efeknya bukan pemecatan Mourinho, tapi penurunan jumlah suporter mereka yang bisa jadi berpindah mendukung Bayern Muenchen atau Barcelona.

Kalaupun musim ini berakhir buruk dan mereka hanya akan berada di posisi 10 besar saat klasemen akhir nanti, setidaknya menarik melihat komentar Jose Mourinho tentang hal itu. Sekadar trivia, Arsene Wenger saja selalu berada di empat besar sejak menangani Arsenal dari 1996.

Untuk ke depannya, seandainya laga melawan Liverpool akhir pekan nanti menjadi penentu karir Jose Mourinho di Chelsea, saya sebagai pengkritik merasa perlu memberi solusi untuk jenjang karir Mourinho ke depannya. Dengan kemampuan mulut besar dan arogansinya yang luar biasa, Mourinho mungkin lebih cocok untuk menjadi juru kampanye partai politik saat masa-masa pemilu.

Berhubung di Indonesia akan digelar Pilkada serempak, mungkin Mourinho berminat untuk menjadi tim sukses bagi calon kepala daerah di kota-kota tertentu di Indonesia. Setidaknya, tekanan menjadi juru kampanye saat Pilkada tentu tidak sebesar saat menangani kesebelasan yang katanya terbaik di London itu, bukan?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.