Berbarengan dengan bulan Ramadan 1442 Hijriah yang berumur sepekan, penggemar sepakbola dihebohkan dengan kabar tentang 12 klub elite Eropa yang siap menyelenggarakan kompetisi bernama European Super League.
Selusin klub itu sendiri adalah Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, dan Tottenham Hotspur dari Inggris, AC Milan, Internazionale Milano, dan Juventus dari Italia serta Atletico Madrid, Barcelona, dan Real Madrid dari Spanyol.
Siapapun tahu, klub-klub di atas, kecuali Tottenham tentunya, merupakan jagoan-jagoan utama di tiga liga besar Eropa yakni La Liga, Premier League, dan Serie A.
Mereka adalah klub dengan prestasi mengagumkan di kancah domestik, regional maupun kontinental. Tak ayal, pendukung mereka pun ada di mana-mana. Dari kota metropolitan yang tak pernah tidur sampai pelosok desa yang masih dihiasi sawah sepanjang mata memandang.
Melalui media sosial resminya, tim-tim itu merilis pernyataan bahwa mereka adalah Klub Pendiri dari European Super League yang akan segera dihelat.
Official Announcement: Leading European football clubs unveil new Super League.#RealMadrid
— Real Madrid C.F. 🇬🇧🇺🇸 (@realmadriden) April 18, 2021
Seperti yang tertera dalam rilis resmi klub-klub tersebut, bulan Agustus mendatang jadi waktu di mana ajang European Super League bakal diputar dan diikuti oleh 20 kontestan.
Saat ini, Klub Pendiri tengah mencari tiga kesebelasan lain yang mau bergabung bersama mereka sehingga Klub Pendiri nantinya berjumlah lima belas. Sementara lima klub lain yang jadi peserta European Super League akan diambil berdasarkan performa mereka pada musim sebelumnya.
Hanya diikuti kesebelasan elite Benua Biru, para fans tentu bisa menebak kompetisi mana yang ingin dikalahkan European Super League. Apalagi kalau bukan kejuaraan UEFA Champions League yang digarap asosiasi sepakbola Eropa.
Sebagai respons dari pernyataan dua belas klub itu sendiri, UEFA melalui laman resminya menyatakan bahwa mereka bersama federasi sepakbola Inggris, Italia, dan Spanyol, beserta otoritas liga di tiga negara itu, menolak adanya European Super League.
Klub-klub yang mengikuti ajang tersebut bakal dijatuhi larangan berkompetisi di kancah domestik dan Eropa di bawah naungan UEFA serta keanggotaannya dicabut. Para pemain yang terlibat juga dilarang membela tim nasionalnya masing-masing pada kejuaraan regional dan internasional.
Sebetulnya, ide mengenai perubahan kompetisi antarklub Eropa sudah berulangkali terjadi. Namun sepertinya, baru kali ini tatanan yang susah payah dirancang UEFA malah diusik dengan sebegitu hebatnya oleh anggota mereka sendiri.
Selama dua hari terakhir, para pembaca tentu sudah mencari tahu perihal European Super League ini. Kapan digagas? Siapa penggagasnya? Dan apa tujuannya?
Dari semua itu, pertanyaan terakhir adalah yang paling menarik untuk ditelusuri. Pasalnya, hal inilah yang menjadi dasar utama Klub Pendiri sehingga berani meluncurkan proyek European Super League.
Tak main-main, Klub Pendiri memproyeksikan ajang ini sebagai kompetisi dengan perputaran uang yang masif. Jumlahnya bahkan dua hingga tiga kali pendapatan sebuah klub yang mengikuti ajang UEFA Champions League.
Mereka mengklaim bahwa laga tim elite melawan tim elite yang terjadi saban pekan membuat fans merasa puas dan gembira. Pun begitu dengan para sponsor. Fulus tak kurang dari 3,5 miliar Euro akan menjadi kue yang dibagi oleh para Klub Pendiri.
Konon, firma keuangan asal Amerika Serikat, JP Morgan, siap membekingi ajang ini. Begitu juga dengan kanal penyedia layanan streaming asal Inggris, DAZN, yang berkenan mengambil hak siar European Super League.
Sudah bukan rahasia lagi kalau modernisasi sepakbola membuatnya jadi komoditas industri yang seksi. Dengan pangsa pasar yang luas, potensi pendapatan masif coba dikeruk oleh kedua belas Klub Pendiri dari European Super League.
Pandemi Covid-19 yang menghantam dunia selama satu tahun terakhir juga berimbas pada kondisi finansial klub-klub sepakbola profesional.
Persoalan inilah yang coba diatasi para Klub Pendiri sehingga ingin mengadakan European Super League. Mereka juga merasa bahwa UEFA selama ini tak banyak membantu meringankan kondisi sulit itu.
UEFA sendiri dikenal sebagai organisasi yang tertutup sekaligus korup. Keinginan mengadakan European Super League adalah untuk melepaskan diri dari UEFA sekaligus mewujudkan asas dari klub, oleh klub, dan untuk klub yang proyeksi keuntungannya lebih besar karena dibagi kepada anggotanya saja.
Pembaca mungkin familier dengan sosok Eugene Krab alias Mr. Krab dalam serial kartun Spongebob Squarepants. Ia adalah bos dari restoran bernama Krusty Krab yang tamak luar biasa.
Di kepala kepiting tua itu hanya ada uang, uang, dan uang. Ia tak kelewat peduli dengan kebahagiaan karyawannya (di ranah sepakbola tentu saja pelatih, pemain hingga ofisial) selama restorannya selalu ramai dan menghasilkan uang. Toh, dari pemasukan itulah hak mereka dapat dibayarkan.
Para bos dari Klub Pendiri tak ubahnya Mr. Krab di dunia nyata. Ucapan mengenai eksklusivitas kompetisi atau level keseruan sebab hanya diisi kesebelasan elite tak lebih dari pemanis bibir.
Satu-satunya hal yang mereka inginkan hanyalah pundi-pundi yang lebih gemuk. Seperti yang bos Real Madrid sekaligus Ketua European Super League, Florentino Perez, tuturkan dalam wawancaranya di El Chiringuito TV.
“Klub Pendiri ingin mencari solusi atas keadaan finansial yang kian memburuk. Satu-satunya cara adalah memainkan laga yang kompetitif dan menghasilkan uang lebih banyak untuk menutupi kerugian. Klub-klub elite adalah penggerak agar masalah finansial ini teratasi. UEFA sudah melakukan monopoli dan harus lebih transparan. Klub Pendiri ingin menyelamatkan sepakbola yang kini ada dalam bahaya”.
Florentino Perez to @elchiringuitotv: “Many important clubs in Spain, Italy and UK want to find a solution to a very bad financial situation. The only way is to play more competitive games. If instead of playing the CL, Super League helps the clubs to recover the lost earnings”.
— Fabrizio Romano (@FabrizioRomano) April 19, 2021
Lanjutan wawancara Perez kepada El Chiringuito TV bisa pembaca simak dari kicauan jurnalis Fabrizio Romano.
Dalam wawancara itu pula, optimisme Perez perihal European Super League amat terlihat. Ia berani menjamin bahwa klub-klub elite yang sedang berkiprah di babak semifinal UEFA Champions League dan UEFA Europa League takkan mendapat hukuman.
Pun dengan para pemain yang kabarnya tidak akan diizinkan membela tim nasionalnya masing-masing jika terlibat dalam European Super League. Perez menyebut jika ada aturan hukum yang melindungi mereka sehingga wacana tersebut mustahil dilakukan.
Perez yang mewakili Klub Pendiri sepertinya memiliki segala amunisi untuk head to head secara langsung dengan UEFA, bahkan induk organisasi sepakbola dunia (FIFA).
Di titik ini, kita sebagai penikmat sepakbola seperti dihadapkan pada duel Klub Pendiri yang memiliki kekuatan serta pamor dan UEFA yang juga memiliki kekuatan dan regulasi.
Pro dan kontra menyoal European Super League akan terus bergulir. Klub Pendiri bersikukuh dengan keinginannya, sementara UEFA juga masih bersikeras bahwa ajang tersebut adalah breakaway league yang ilegal.
Begitu juga dengan fans sepakbola di manapun berada. Ada yang setuju dengan ide European Super League. Ada pula yang secara keras menolaknya.
Satu yang pasti, Klub Pendiri membuka lebar pintu diskusi dengan UEFA mengenai ide dan implementasi European Super League. Artinya, ada ruang untuk berkompromi.
Kita, ada baiknya jangan buru-buru menghakimi bahwa ada yang salah dan benar dari cerita besar ini. Nikmati saja drama yang sedang terjadi.
Siapa tahu, jika diskusi yang diinginkan Klub Pendiri dengan UEFA terkabul, kompetisi yang satu ini justru menjadi kenyataan. Mungkin dengan sejumlah format yang disesuaikan.
Toh, kalau pada akhirnya sama-sama beroleh uang banyak, semua pasti senang.