Shin Tae-yong Mau Bermain seperti Apa?

Dengan menunjuk Shin Tae-yong sebagai pelatih Tim Nasional pada akhir 2019 lalu, sejatinya Indonesia telah kembali pada fitrahnya untuk berkiblat pada sepakbola simpel nan pragmatis.

Padahal jika menilik tren pola permainan di level top dunia saat ini, seolah-olah kompleksitas taktik adalah segalanya.

Tim-tim kaliber dunia di level klub seperti Chelsea, Manchester City, dan Bayern Munchen kini diarsiteki oleh pelatih kutu buku.

Sebetulnya, PSSI sempat coba mengubah identitas skuad Garuda untuk bermain teknis dengan formula kompleks tatkala mempekerjakan Luis Milla pada 2017 hingga 2018 lalu.

Milla yang menghabiskan sebagian besar kariernya, baik sebagai pemain maupun pelatih di Spanyol, diharapkan mampu bikin Indonesia bisa bermain indah.

Selain itu, pengaruh yang dibawa peraih gelar Piala Eropa U-21 edisi tahun 2011 itu dianggap bisa meningkatkan pemahaman terkait aspek taktikal bagi para pemain.

Memang, kala itu Timnas Indonesia mampu menyuguhkan permainan cantik dengan umpan-umpan pendek khas Negeri Matador.

Saya sendiri secara personal menganggap bahwa permainan Timnas era Milla adalah yang paling enak ditonton semenjak saya menyenangi sepakbola pada 2006 silam.

Walau demikian, harus diakui jika Milla belum mampu menghadirkan prestasi yang definitif.

Pelatih kelahiran tahun 1966 tersebut dianggap gagal memenuhi target dari PSSI dalam ajang SEA Games 2017 dan Asian Games 2018.

Sejatinya, target terbesar buat Milla adalah menjuarai Piala AFF 2018 yang akan diselenggarakan pada akhir tahun.

Akan tetapi, ia keburu dibebastugaskan PSSI pasca Timnas Indonesia gugur di babak 16 besar Asian Games pada bulan Agustus.

Kini, PSSI kembali menyandarkan harapan pada pelatih jempolan lain, Shin Tae-yong. Bayaran pelatih asal Korea Selatan itu disebut-sebut setara dengan Milla yang mencapai angka 1,5 miliar Rupiah per bulan.

Nama Shin Tae-yong sendiri mulai dikenal dunia tatkala bertugas sebagai pelatih Timnas Korea Selatan untuk Piala Dunia 2018 silam.

Meski Taegeuk Warriors gagal melaju dari babak penyisihan grup, mereka sukses mengalahkan sang juara bertahan, Jerman, di partai terakhir fase grup yang jadi penentuan.

Di laga penutup kontra Jerman, Korsel yang sebelumnya kalah dari Meksiko dan Swedia mengusung misi mustahil untuk lolos dari grup F.

Sebetulnya, Korsel sendiri secara matematis belum tersingkir dari ajang empat tahunan tersebut.

Supaya mereka bisa lolos ke babak 16 besar, Meksiko harus mengalahkan Swedia, sementara Son Heung-Min dan kawan-kawan wajib mengalahkan Jerman dengan minimal selisih dua gol.

Jerman sendiri butuh poin penuh untuk bisa lolos ke babak gugur, alias Die Mannschaft dipastikan tampil dengan kekuatan penuh sejak awal laga.

BACA JUGA:  Bagus Kahfi dan Impian Bermain di Eropa (Bagian Kedua)

Secara dramatis, Korsel sanggup menekuk lawannya dengan skor tegas 2-0 meskipun Jerman menguasai betul pertandingan hari itu.

Skuatld racikan Joachim Loew mampu unggul penguasaan bola 74% berbanding dengan angka 26% yang dicatatkan lawannya.

Menariknya, dari 26% jumlah penguasaan bola Taegeuk Warriors hari itu, mereka mampu membuat 12 tembakan dengan 5 diantaranya mengarah ke gawang, dan mencetak dua gol tepat di pengujung laga.

Kedisiplinan semifinalis Piala Dunia 2002 tersebut dalam menutup ruang benar-benar bikin Jerman sangat frustrasi.

Berkat kemenangan monumental tersebut, nama Shin Tae-yong sontak dielu-elukan media dunia, khususnya Asia.

Namun jauh sebelum itu, jurnalis BBC, John Duerden, menjulukinya sebagai “The Korean Mourinho” karena kesamaan sikap dan gaya mainnya yang pragmatis, mirip dengan pelatih asal Portugal tersebut.

Dilansir dari When Saturday Comes, Duerden memberikan sematan tersebut pada Shin Tae-yong usai pelatih yang kini berumur 51 tahun tersebut mengantarkan Seongnam Ilhwa Chunma menjuarai Liga Champions Asia.

Dalam sebuah wawancara, Shin Tae-yong menyombongkan keberhasilannya menjuarai turnamen tersebut.

“Saya mengakui jika saya cukup arogan dan suka merendahkan orang lain saat bermain. Tapi, sekarang saya adalah pelatih juara Asia. Saya adalah orang yang hebat,” sebuah pernyataan yang sangat Mourinho sekali.

Menariknya, jika ditarik ke satu dekade belakangan, Timnas Indonesia justru bisa melesat jauh di Piala AFF jika diasuh oleh pelatih yang berhaluan pragmatis.

Di bawah asuhan Alfred Riedl yang mengusung permainan umpan-umpan panjang, Tim Garuda mampu menjadi finalis sebanyak dua kali, masing-masing pada edisi 2010 dan 2016.

Meskipun permainan Timnas Indonesia di bawah asuhan Riedl jauh dari kata menghibur, masyarakat awam hanya paham persoalan menang dan kalah.

Tak heran, nama Riedl yang mangkat pada 2020 lalu tersebut dikenang sebagai salah satu pelatih legendaris skuad Garuda.

Apakah gaya permainan Timnas Indonesia dan prestasinya dalam turnamen internasional terhubung secara kausalitas, atau hanya kebetulan saja?

Benarkah prestasi mereka bakal lebih baik jika mengusung permainan pragmatis?

Menurut jurnalis Inggris untuk The Guardian, Jonathan Wilson, berbeda dengan sepakbola di level klub, Timnas yang berlaga di turnamen internasional dengan sistem gugur memang diharuskan untuk menerapkan pola pikir pragmatis. Kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh keharusan untuk berorientasi pada hasil.

“Anda tidak akan memenangkan turnamen internasional dengan menerapkan sepakbola menyerang,” seru Wilson.

Timnas hanya punya kesempatan paling sedikit dua tahun sekali untuk merengkuh prestasi, sedangkan klub sepakbola mengikuti tiga sampai empat kejuaraan setiap tahunnya.

Tak hanya itu, sepakbola di level klub berani mengusung struktur permainan yang kompleks karena tim punya banyak waktu untuk menerapkan latihan yang membiasakan pemain agar memahami kompleksitas taktik yang dimaui sang pelatih saban pekan.

BACA JUGA:  Puja-Puji untuk Cahya Supriadi

Sedangkan di level internasional, pemain hanya berkumpul jika terdapat kalender resmi FIFA atau beberapa Minggu jelang gelaran turnamen internasional.

Pelatih Timnas juga kerap menghadapi masalah tentang komposisi pemain yang berubah-ubah akibat cedera, sehingga untuk mengatasi hal ini, para pelatih memutuskan untuk melakukan simplifikasi taktik yang kerap dianggap tak elok, tapi jadi solusi terbaik untuk menghadapi situasi.

Kecenderungan tersebut memaksa mayoritas Timnas dunia lebih mengutamakan hasil ketimbang penampilan. Pragmatisme adalah jalan utama untuk meraih kejayaan di turnamen internasional.

Menurut Wilson dalam tulisannya di The Guardian, sejak Piala Dunia 1970, semua tim yang berhasil jadi juara dunia menerapkan sistem bermain pragmatis.

Untuk menyegarkan memori, Prancis menerapkan pragmatisme saaat menjuarai Piala Dunia 2018, pun Portugal saat menjuarai Piala Eropa 2016.

Sementaraa Jerman di ajang Piala Dunia 2014 dan Spanyol di masa keemasannya pada 2010 dan 2012 pun menerapkan pragmatisme dengan cara menguasai bola selama mungkin guna mengatur tempo.

Saat berjaya di Rusia pada 2018 lalu, Prancis mengusung permainan yang jauh dari kata indah. Padahal, nama-nama tenar seperti Kylian Mbappe, Paul Pogba, dan Antoine Griezmann, adalah anggota dari tim tersebut.

Menurut statistik yang dihimpun dariĀ Economic Times, Prancis mencatatkan rerata penguasaan bola sebanyak 48% di setiap laga, berada di posisi ke-25 dalam hal menguasai bola di kotak penalti lawan, menduduki peringkat lima terendah dalam jumlah umpan silang, dan hanya membukukan rerata enam tembakan on target di setiap laganya, atau menjadi yang kedua terendah di antara seluruh tim yang berlaga dalam turnamen tersebut.

Catatan tersebut jika dipandang dari kacamata awam, tidak merepresentasikan performa sebuah tim juara dunia.

Akan tetapi, angka-angka macam itu tak akan diingat oleh khalayak, dalam satu hingga dua dekade mendatang, orang-orang hanya akan peduli tentang siapa yang menjadi juara, bukan bagaimana mereka menjadi juara.

Shin Tae-yong sudah membawa Timnas Indonesia menang dalam laga perdananya di Piala AFF kontra Kamboja dengan skor 4-2.

Ada yang menyebut Indonesia tampil baik, tetapi banyak juga yang masih khawatir dengan performa Evan Dimas dan kolega. Terlebih ada dua gol yang bersarang di Timnas.

Kini, semua mata akan tertuju kepada Shin Tae-yong. Dengan target menjadi juara. akankah ia membuat skuad Garuda bermain lebih pragmatis?

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06