Sudah Waktunya Liverpool Melupakan Masa Lalu

Jurgen Klopp paham betul ke mana semua ekspektasi ini bermuara. Dalam lima laga terakhir, Liverpool tak terkalahkan. Terus mencetak gol dan menyuguhkan permainan indah.

Maka, sebelum ketololan untuk berekspektasi terlampau tinggi dan kemudian jatuh sekeras-kerasnya karena gagal mengulang masa lampau, ia mewanti-wanti penggemarnya sendiri.

Ia, kepada Liverpool Echo, kemudian mengatakan kalimat ini secara tegas, “Tidak ada yang boleh membandingkan masa kini dengan masa lalu (yang indah) karena masa tersebut jelas memiliki waktu yang berbeda, mimpi yang berbeda, dan liga yang berbeda.”

Pernyataan tersebut diutarakan pada konferensi pers sebelum Liverpool menjamu Manchester United di Anfield.

Uniknya, Manchester United juga merupakan klub yang memiliki dagangan yang sama terhadap fansnya: sejarah. Memiliki hantu dari masa lampau yang akan dan selamanya abadi. Di Liverpool, Sang Abadi itu bernama Bill Shankly, sementara di United, ia adalah Yang Mulia, Sir Alex Ferguson.

Bedanya, United sudah menjadi merek global karena menjual sejarah di waktu yang tepat – di masa Liga Primer Inggris juga telah besar, sementara Liverpool terasa lebih retro karena selalu bercerita tentang kesuksesan di era 70-an hingga 80-an.

Jurgen Klopp kiranya paham bahwa penggemar Liverpool adalah gambaran dari kalimat menohok Milan Kundera yang saya temukan di awal halaman Melihat Api Bekerja-nya Aan Mansyur. Begini bunyinya:

“Orang-orang berkata bahwa mereka ingin menciptakan masa depan yang lebih baik. Itu tidak benar. Masa depan adalah kekosongan yang tak memikat bagi siapa pun.”

Menjadi penggemar Liverpool, adalah pekerjaan untuk mengakrabkan diri dan berteman dengan masa lampau. Chants seperti “Fields of Anfield Road,” yang menyebutkan nama-nama lama seperti Kenny Dalglish dan Steve Heighway yang merupakan bagian dari kegilaan Liverpool di era 80-an, terus dinyanyikan hingga saat ini. Beberapa laga ada yang terkenang abadi.

Kisah-kisah seperti Malam Ajaib Istanbul pada tahun 2005, mempermalukan Real Madrid di Anfield dengan skor 4-1, juga tak lupa kemenangan atas United di Old Trafford dengan skor 4-1 di musim 2008/2009.

Kemenangan atas United yang lekat dengan adegan Steven Gerrard mencium kamera adalah dongeng yang akan terus diceritakan dari generasi ke generasi. Dan dibungkus dengan penghayatan yang kuat seakan hal tersebut seperti baru terjadi kemarin. Semua kisah-kisah itu, terekam dan tak pernah mati.

BACA JUGA:  Cody Gakpo: Thierry Henry Era Baru?

Sayangnya, masa lampau adalah sesuatu yang terasa dekat, namun juga sangat jauh. Sementara The Reds terus mengenang kisah-kisah seperti itu, mereka terus dilampaui oleh rival-rival mereka.

Pun dengan urusan trofi. Catatan 18 trofi liga yang dikumpulkan Liverpool membuat fans mereka sedikit congkak. Memang, catatan ini membuat Merseyside Merah menjadi pengumpul terbanyak. Sebelum akhirnya disamai oleh United pada tahun 2010.

Tiga tahun kemudian, United melampaui torehan tersebut dengan 20 kali jawara liga. Pun begitu dengan Chelsea yang, sering mereka hina sebagai klub instan, namun pada faktanya mereka lebih baik dalam dua dekade jika urusannya adalah gelimang trofi.

Sementara penggemar Liverpool terus bertanya kenapa kita tak bisa mengulang masa lampau? Manchester City, juga Tottenham Hotspurs kemudian hadir menjadi raksasa baru di tanah Inggris dan mempersulit mimpi untuk meraih trofi Liga Primer Inggris.

Jurgen kemudian melanjutkan, “Itulah faktanya. Banyak tim bagus bertebaran dan masa lampau takkan kembali hanya dengan mengharapkannya.”

Tegas bagi Jurgen bahwa ia tak ingin buru-buru disandingkan dengan nama besar seperti Bill Shankly. Di suatu masa, Brendan Rodgers, pernah secara prematur disandingkan dengan Bill Shankly. Masa di mana Liverpool terlalu akrab dengan frasa “hampir juara”.

Sebelum terjadi kesalahan yang sama, mengenang sejarah beserta komparasi skuat yang dulu dan sekarang, ia sudah menyatakan tegas enggan membawa kisah masa lampau.

Dalam sepak bola Inggris yang penuh tekanan karena tiap laga terasa seperti final, Jurgen menyadari hal-hal macam itu akan menjadi bumerang. Tak hanya bagi dirinya, namun juga anak asuhnya.

Jurgen tentu bukan menampik dan mengajak kita melupakan sejarah. Ia pernah menolak untuk diwawancarai jurnalis The Sun, yang itu berarti, ia paham betul seberapa kejam perlakuan media tersebut terhadap Liverpool.

Namun, adalah yang ia sadari, hari kemarin adalah hal yang membentuk manusia hari ini. Dan cara manusia memandang hari esok, adalah hal yang akan menentukan apakah mereka akan menyesali atau mesyukuri apa yang terjadi di hari kemarin.

BACA JUGA:  5 Fakta Laga Indonesia vs Maroko di Piala Dunia U17

Bagi Jurgen, ia ingin banyak hari kemarin yang indah dan dikenang setelah ia pergi dari klub ini. Ia ingin menciptakan sejarah, dan baginya, itu dimula dengan melupakan pencapaian klub di masa lampau dan fokus dengan hari ini.

Narasi-narasi ini jelas tampak dalam semangat manajer asal Jerman tersebut. Pada hari pertamanya melatih The Kop, saat ia meminta penggemarnya untuk berubah dari “peragu” menjadi “yang percaya”, sudah jelas apa yang ia maksud: ia menginginkan warisannya sendiri.

Warisan yang bisa ia bentuk tanpa harus dibandingkan dengan kisah masa lampau. Jurgen Klopp ingin dikenang sebagai Jurgen Klopp di Liverpool.

Jurgen Klopp yang berjingkrak-jingkrak di pinggir lapangan. Jurgen Klopp yang sudi ke tengah lapangan setelah laga usai untuk memeluk pemainnya satu per satu. Jurgen Klopp yang akan melakukan wawancara yang, sesekali, terasa mengocok perut.

Ia ingin dikenal sebagai dirinya sendiri, manajer yang sering tertawa namun dihormati karena kejeniusannya. Bukan dikenal sebagai “titisan Bill Shankly” yang teramat dicinta Kopites.

Memang, jalan untuk membangun Warisan Jurgen jelas masih panjang. Dibutuhkan kemampuan mengontrol ekspektasi dan menahan diri untuk melakukan komparasi dengan pendahulunya ketika tengah berada dalam periode terbaik. Sikap yang dibutuhkan adalah terus optimis, dan iklas memberikan dukungan.

Terjaga di paruh akhir dini hari untuk menyaksikan Liverpool bermain imbang melawan United, sudah pasti terasa menyebalkan, bahkan membuat frustasi.

Peluang-peluang yang patah karena David De Gea, wasit yang tak tegas, hingga Daniel Sturridge yang terkunci di pertahanan United terasa menyesakkan. Membuat tren positif Liverpool yang produktif mencetak gol seakan tak ada artinya.

Namun, dari rasa frustasi tersebut kita bisa menyadari bahwa yang terpenting dari sepak bola adalah hari ini, bukan kemarin. Karena hari ini akan menentukan esok, sementara hari-hari kemarin bisa saja terlupakan karena hari ini.

 

Komentar