Kekalahan yang Tak Perlu Diratapi

Kekalahan 0-4 di leg pertama final Piala AFF 2020, euforia masyarakat Indonesia memang menurun jelang leg kedua melawan Thailand.

Ya, Indonesia butuh keajaiban untuk membalikkan keadaan. Namun melihat ketangguhan Thailand, siapapun tahu bahwa kemungkinannya sangat kecil.

Kendati demikian, harapan untuk melakukannya tetap ada. Apalagi penggawa Tim Nasional masih ogah menyerah.

Gagal merengkuh trofi, setidaknya Indonesia bisa bermain apik, bahkan mungkin menang dengan skor tipis, sehingga punya kepercayaan diri menyongsong masa depan.

Sikap inilah yang ditunjukkan pelatih Shin Tae-Yong pada konferensi pers jelang final leg kedua.

Shin Tae-yong yakin bahwa anak asuhnya bisa memenangkan pertandingan. Namun ia juga mengingatkan bahwa menyamakan atau bahkan membalikkan agregat bukanlah persoalan sepele.

Antiklimaks

Jelang leg kedua final berlangsung, skuad Garuda kembali mendapat masalah. Empat anggota tim dilarang tampil oleh pemerintah Singapura setelah melanggar sistem bubble yang diterapkan untuk Piala AFF 2020 ini.

Mereka adalah Elkan Baggott, Victor Igbonefo, Rizky Dwi, dan Rizky Ridho. Kasus ini sendiri menimbulkan banyak riak.

Ada yang menuding pemerintah Singapura tidak becus dalam mengurus sistem bubble. Ada pula yang menyebut ofisial Indonesia kelewat sembrono membiarkan empat pemain itu keluar dari hotel selama 2 jam.

Meski begitu, Shin Tae-yong tak mau ambil pusing. Ia fokus pada tim besutannya agar bisa mengeluarkan segenap kemampuan terbaik.

Awal-awal babak pertama terasa mendebarkan. Pasalnya, permainan menekan Indonesia bikin Thailand kerepotan.

Degub jantung kian melonjak setelah Ricky Kambuaya mencetak gol pada menit ke-7. Asa di benak masyarakat Indonesia kembali bergemuruh.

Pressing yang dilakukan Indonesia membuat Thailand kelabakan. Mereka kesulitan mengembangkan permainan dan tak sanggup mengoyak jala Nadeo Argawinata.

BACA JUGA:  Culture Shock Antonio Conte dan Thomas Tuchel

Babak pertama selesai dengan skor 1-0 untuk keunggulan Indonesia. Melihat apa yang dilakukan Kambuaya dan kolega, harapan me menyaksikan Timnas tampil lebih gahar di babak kedua membubung.

Akan tetapi, Thailand ogah dikontrol Indonesia. Ada tiga pemain yang dimasukkan Alexandre Polking usai jeda.

Keputusan itu sangat jitu. Thailand sanggup keluar dari tekanan Indonesia. Bahkan, giliran mereka balik menekan.

Kemampuan apik Negeri Gajah Putih akhirnya terlihat setelah mereka sukses menceploskan dua gol ke gawang Nadeo dalam tempo dua menit!

Skor 1-0 berubah menjadi 1-2 secara cepat. Betul-betul pertunjukan yang memukau dari Chanathip Songkrasin dan kawan-kawan.

Indonesia memang tak kalah dalam laga ini sebab Egy Maulana Vikri sanggup mencetak gol tambahan di menit-menit akhir buat menyamakan skor 2-2.

Saat wasit meniup peluit panjang, agregat 2-6 menjadi keunggulan Thailand sehingga mereka berpesta merayakan gelar.

Kekalahan yang Melegakan

Barangkali mencintai Timnas yang jarang berprestasi adalah kesalahan. Namun kita tak punya pilihan, mencintai atau tidak sama sekali.

Hampir 15 tahun yang lalu sejak saya pertama kali menonton Indonesia. Selalu saja ada momen tenggelam dalam kemenangan yang heroik, lalu berkubang dalam kekalahan yang menyakitkan.

Namun bagi saya, kalahnya Timnas di final Piala AFF 2020 ini sungguh berbeda. Ini adalah kekalahan yang tak perlu diratapi.

Kilas balik ke final Piala AFF 2010 atau Piala AFF 2016, kekalahan yang Timnas alami pada saat itu sangat menyakitkan.

Pada edisi 2010, Indonesia yang sangat dominan kemudian kalah memalukan dari Malaysia dengan agregat 4-2.

Sementara di edisi 2016, Indonesia takluk 2-3. dari Thailand secara agregat. Padahal performa tim saat itu tergolong cukup prima.

BACA JUGA:  Antara DBL dan LPI: Membandingkan yang Tidak Sebanding

Kekalahan 2-6 dari Thailand pada edisi 2020 memang telak secara agregat. Namun kali ini, ada banyak progres yang terlihat dari Timnas asuhan Shin Tae-yong.

Harapan untuk Timnas menyala-nyala dengan panas yang terus berdetak di dalam nadi.

Indonesia mulai mampu melakukan build up serangan secara terstruktur dari bawah dengan menggunakan umpan-umpan pendek. Mereka tak lagi mengandalkan bola-bola panjang dan serangan dari sayap.

Pressing yang dilakukan Kambuaya dan kolega juga lebih greget. Walau, kemampuan ini baru terlihat apik selama satu babak saja karena setelahnya, Timnas sering kehabisan tenaga.

Namun bila hal itu sudah dapat mereka lakukan selama 45 menit, bukankah melakukannya dengan spartan selama 90 menit cuma persoalan waktu saja?

Semangat tempur dan resiliensi Indonesia juga terlihat lebih menakjubkan dibanding sebelumnya. Apapun kondisi di lapangan, mereka bakal terus bertarung sampai peluit panjang dibunyikan.

Kekalahan kali ini bikin saya merasa bahwa Timnas sudah ada di jalan yang tepat. Mereka sedang tumbuh dan berkembang menjadi armada yang tangguh pada masa depan.

Terlebih pemain-pemain yang menjadi tumpuan di Piala AFF 2020 memiliki usia yang masih muda.

Kita memang kalah. Namun jika seluruh pihak yang ambil bagian dalam sepakbola Indonesia mau memberikan ruang bagi Timnas untuk terus berkembang menggunakan fondasi yang sudah dibangun dengan leluasa dan tanpa intervensi konyol di tengah jalan, kita pasti bisa memenangkan pertempuran yang lebih besar di masa mendatang.

We might lose the battle, but we will win the war”.

Komentar
Mahasiswa Psikologi yang mencintai Tim Nasional Indonesia sejak 2007. Bisa disapa via akun @mhharits