Roller coaster adalah istilah yang menurut saya cocok menggambarkan kiprah Persebaya Surabaya di Liga 1 musim 2018. Setelah mati suri, dan akhirnya kembali ke level teratas kompetisi, klub kebanggan warga Surabaya kembali menyuguhkan cerita naik, turun, mendebarkan, penuh intrik, kencang dan meliuk-liuk. Melalui buku Drama Persebaya karya Oryza A. Wirawan ini, semua cerita-cerita roller coaster itu mampu ia rangkum dengan begitu apik lewat himpunan reportase yang ia tulis dari pekan ke pekan selama kompetisi.
Buku setebal 322 halaman ini menyuguhkan 11 bab yang dan di tiap bab berisikan kisah-kisah menarik dari tiap pekannya. Semua bab sebetulnya punya kisah unik untuk disimak, hanya saja saya lebih menyukai tulisan di bab pertama dan bab kedua. Pada bab pertama membahas kisah Andik Vermansah yang hampir selalu menarik perhatian tiap tahunnya. Kemudian di bab kesepuluh yang berisikan kisah superior Green Force di bulan November.
Saya menyukai dua bab tersebut karena sangat relevan dengan apa yang saya alami dan lakukan pada waktu itu. Kebetulan di periode tersebut saya tengah menaruh cukup banyak perhatian terhadap dinamika yang tengah dijalani Persebaya Surabaya. Sehingga dengan membacanya, seakan memutar mesin waktu di masa lampau tentang peristiwa yang terjadi.
Isu Andik Vermansah di bab pertama memang selalu menjadi bahan perbincangan hangat bagi Persebaya terutama saat periode tersebut. Penulis berhasil menuliskan tentang kisah Andik dengan begitu detail dan menganalogikan kisah mantan bintang Persebaya itu mirip dengan Carragher dan Gerrard yang mereka alami di Liverpool.
Dimulai dari mulai habisnya kontrak Andik di Selangor FA, Malaysia dan keinginan dari Bonek dan manajemen klub yang ingin memulangkannya ke Surabaya dan bergabung dengan tim untuk mengarungi Liga 1 2018.
Akan tetapi gonjang-ganjing kepulangan Andik ke Surabaya justru menjadi masalah baru. Konflik yang melibatkan manajemen Persebaya dan Andik justru meruncing akibat tidak menemukan titik temu terkait kontrak diantaranya keduanya. Bahkan pihak manajemen dan Andik saling berbalas surat terbuka yang sempat membuat para fan terbelah dua.
Kemudian di bab kedua, penulis juga tak kalah bagus menceritakan momen-momen kejayaan Persebaya Surabaya di bulan November yakni di pekan ke-29 hingga 32. Di mana pada saat itu Bajol Ijo berhasil menyapu bersih empat laga krusial melawan tim-tim unggulan. Seperti menang 3-0 atas Persija dan PSM, menang telak 5-2 saat bertamu ke Bali United dan berhasil menekuk Bhayangkara 1-0 di kandang.
Penulis juga jeli menuliskan hal unik di luar lapangan seperti Via Vallen adalah menjadi salah satu faktor kemenangan Persebaya atas Persija dan faktor Hari Pahlawan 10 November yang menjadi suntikan semangat pemain Green Force hingga bisa membenamkan PSM Makassar dengan skor 3-0.
Selain hal unik, penulis juga bisa memadukan gaya me-review pertandingan dengan bahasa yang ringan, tapi berbobot dan runtut. Ditambah juga penulis sangat lengkap dan detail dalam menggambarkan jalannya laga, suasana stadion, dan lain sebagainya. Sehingga pembaca seolah-olah dibawa oleh penulis berada pada situasi laga tersebut.
Setelah membaca buku ini saya semakin tahu alasan kenapa Persebaya Surabaya begitu dicintai oleh masyarakat disana khususnya Bonek Mania. Tidak peduli baik atau buruk prestasi yang tengah klub ini raih. Pasalnya Bajol Ijo telah menjadi identitas dan nilai sosial dalam masyarakat di Kota Pahlawan. Sekaligus menunjukan bahwa klub tidak bisa berdiri sendiri hanya dengan mengandalkan manajemen atau pemain saja, melainkan ada fan yang menjadi elemen yang harus selalu dilibatkan.
Masih ada 9 bab lain yang sebetulnya sangat asik untuk kamu baca dan yang pasti tidak kalah seru dan menarik. Saya kira buku ini hanya kurang dalam hal visualnya saja. Misal ditambahkan foto-foto tentang peristiwa yang dialami Persebaya di Liga 1 2018 mungkin akan semakin menambah bagus rajutan cerita di buku ini dan tidak terkesan monoton. Sisanya secara bahasa juga mudah dipahami, kepenulisannya juga rapi dan cover-nya sangat menarik dan menggugah.