Pertandingan ini sebenarnya bukan merupakan partai besar. Hanya saja penampilan apik Leicester City sukses membuat mereka – sebelum pertandingan ini – bertengger di puncak klasemen.
Leicester musim ini cukup populer dengan kompaksi mereka yang tergolong bagus. Keberadaan mereka seperti sebuah oase di tengah-tengah permainan kuno khas Liga dinosaurus Inggris. Selain itu kesuksesan mereka juga didukung dengan strategi serangan balik yang cukup efektif.
Hanya saja kali ini anak asuh Claudio Ranieri benar-benar tidak berkutik menghadapi racikan Jurgen Klopp. Liverpool memenangi penguasaan bola sepanjang pertandingan. Mereka juga sukses membuat duo Jamie Vardy dan Riyad Mahrez tidak mampu berbuat banyak.
Susunan pemain
Klopp kali ini menurunkan skuatnya dalam formasi 1-4-2-3-1. Formasi ini secara natural memiliki keunggulan jumlah pemain (3vs2) di area sentral melawan 1-4-4-2 yang digunakan Leicester. Superioritas ini berkontribusi terhadap kesuksesan Liverpool dalam memenangkan kontrol atas jalannya pertandingan.
Dalam susunan pemainnya, Klopp melakukan sejumlah perubahan dari pertandingan melawan Watford yang berakhir kekalahan. Simon Mignolet kembali bermain sebagai penjaga gawang setelah sebelumnya Adam Bogdan diberi kesempatan bermain. Meskipun dirinya pada pertandingan kali ini melakukan sejumlah penyelamatan yang cukup apik, namun sebenarnya pertahanan Liverpool tidak mendapat banyak masalah.
Martin Skrtel yang mengalami cedera, posisinya digantikan oleh Dejan Lovren. Lovren berduet dengan Mamadou Sakho. Keduanya diapit oleh Nathaniel Clyne dan Alberto Moreno yang bermain sebagai fullback.
Jika pada pertandingan sebelumnya Klopp tidak menurunkan seorang no. 9 murni dalam susunan pemainnya, kali ini dia memutuskan untuk memasang Divock Origi sejak awal. Sementara itu Lucas Leiva dikembalikan ke bangku cadangan, lini tengah diisi oleh duet Jordan Henderson dan Emre Can.
Di pihak tamu, skuat yang diturunkan Ranieri tidak menghadirkan kejutan yang signifikan. Strategi yang digunakan juga masih sama, yaitu memasang pertahanan rapat dalam 1-4-4-2 atau 1-4-4-2-0. Dan mengandalkan serangan balik dengan mengeksploitasi ruang yang ditinggalkan pemain-pemain lawannya.
Dalam kesempatan pertama mereka akan mencoba untuk melakukan pressing dari depan. Namun akan kembali turun lebih rendah ketika lawan mampu mendapatkan akses untuk melakukan progresi bola, atau ketika lawan mampu menstabilkan sirkulasi bola.
Superior di tengah namun sirkulasi bola buruk
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Liverpool mampu memenangi penguasaan bola dalam pertandigan kali ini. Mereka juga memiliki superioritas di area sentral, di mana secara natural mereka unggul jumlah pemain. Superioritas ini memang memiliki hubungan dengan unggulnya penguasaan bola Liverpool. Namun hubungan ini tidak terjalin secara langsung.
Fakta yang terjadi justru Liverpool kesulitan untuk menstabilkan sirkulasi bola mereka. Namun hal ini sebenarnya dapat diperdebatkan, karena sirkulasi bola yang stabil tampaknya bukanlah tujuan utama Klopp. Dia menggunakan keunggulan timnya dalam mengontrol area sentral untuk stabilitas dalam melakukan gegenpressing.
Stabilitas Liverpool dalam melakukan gegenpressing-lah yang kemudian berpengaruh terhadap besarnya penguasaan bola mereka. Dengan gegenpressing yang stabil mereka dapat terus-menerus melancarkan serangan dengan intensitas yang tinggi. Meskipun demikian buruknya stabilitas sirkulasi mereka cukup menarik untuk diselidiki. Apa alasannya?
Pertama, alasan sejarah. Buruknya sirkulasi bola semacam inilah yang kemudian menjadi faktor kegagalan Klopp pada musim terakhirnya bersama Borussia Dortmund. Melawan Dortmund ketika itu cukuplah mudah karena mereka sangat mudah diantisipasi.
Kedua, tentu saja alasan teknis. Tanpa sirkulasi bola yang stabil, hampir seluruh serangan dengan intensitas tinggi yang dilancarkan Liverpool tidak efektif. Karena mereka tidak mampu menstabilkan sirkulasi bola, maka serangan-serangan mereka hanya menuju ke area-area yang kapasitas strategisnya rendah sebelum masuk ke kotak penalti lawan. Misalnya, di sisi dan sudut-sudut lapangan.
Sebenarnya serangan menuju ke area tersebut dapat menjadi berbahaya. Namun hal tersebut dapat terjadi jika area tersebut tidak atau kurang terjaga. Jika bola berada di area yang kurang atau tidak terjaga, maka blok pertahanan lawan mau tidak mau harus bergeser untuk segera menutup area tersebut.
Ketika melakukan pergeseran inilah stabilitas suatu blok pertahanan akan menjadi sangat lemah, terutama ketika harus dilakukan dengan cepat. Koordinasi antarpemain dapat hilang karena banyak hal yang harus diantisipasi, sementara itu mereka tidak memiliki akses yang cukup memadai –karena jarak yang cukup jauh- untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.
Dalam pertandingan ini area pertahanan The Foxes yang diserang oleh Liverpool memiliki kapasitas strategis yang rendah. Hal ini dikarenakan blok pertahanan Leicester dapat mengantisipasinya tanpa harus kehilangan stabilitas. Terlebih di area sisi lapangan, opsi yang dimiliki pemegang bola secara natural akan dibatasi oleh garis batas lapangan.
Gambar di atas menunjukkan bagaimana pola serangan Liverpool yang kemudian akan berakhir di ruang yang kapasitas strategisnya rendah. Dapat diperhatikan pula bagaimana Leicester dapat dengan mudah melakukan blokade terhadap Liverpool untuk mengakses superioritas yang dimiliki di area sentral.
Akar dari permasalahan ini adalah struktur posisi yang kurang tepat. Terutama pemosisian gelandang tengah (di posisi dekat bola) dan fullback (juga di posisi dekat bola). Pemosisian keduanya akan saling berhubungan untuk menciptakan jembatan untuk mengakses superioritas di area sentral ini.
Pertama, jika Anda menyimpulkan bahwa posisi gelandang harus naik lebih tinggi. Dalam situasi ini fullback yang berada dekat dengan bola seharusnya mengambil posisi yang lebih rendah, di mana dirinya dapat menjadi jembatan untuk mengakses area sentral.
Namun yang terjadi adalah posisi fullback akan terlalu naik sehingga begitu bola diberikan kepadanya Leicester dapat dengan mudah mengisolasinya. Alhasil bola akan berakhir menjadi umpan langsung ke area yang kurang strategis dan mudah diantisipasi.
Kedua, jika Anda menyimpulkan bahwa posisi fullback harus naik lebih tinggi. Dalam situasi ini gelandang dekat bola seharusnya bergerak turun ke halfspace bawah untuk memfasilitasi akses ke area sentral.
Skema ini akan memerlukan sejumlah transposisi untuk mempertahankan superioritas di area sentral. Yang terjadi di pertandingan, gelandang dekat bola Liverpool akan lebih berorientasi vertikal untuk menciptakan stabilitas saat terjadi gegenpressing.
Hal inilah yang membuat kebutuhan untuk mengakses superioritas di area sentral dapat diperdebatkan. Karena bisa jadi Klopp lebih mengutamakan stabilitas saat melakukan gegenpressing.
Kelebaran maksimal
Detail lain yang dapat dipermasalahkan adalah ketiadaan pemain yang menempati pos sayap di sisi jauh. Tidak adanya pemain yang mengisi kelebaran maksimal membuat opsi vertikal yang dimiliki Liverpool lebih mudah diantisipasi oleh Leicester. Hal ini juga sebenarnya didukung dengan tidak dimanfaatkannya superioritas di area sentral untuk stabilitas sirkulasi bola.
Pemain yang pada akhirnya menjaga kelebaran maksimal di sisi jauh adalah fullback Liverpool di sisi jauh. Hal ini sebenarnya merupakan mekanisme yang normal. Namun tentu saja terdapat sejumlah cela dalam penerapannya. Terutama dalam hal jarak tempuh yang harus dilalui oleh fullback Liverpool.
Pertama, dengan jarak tempuh yang terlalu jauh dapat menghilangkan sejumlah momentum ketika bola seharusnya dapat dipindahkan.
Kedua, jarak tempuh yang besar tentu akan menghabiskan energi yang besar pula. Terutama bila terdapat banyak momen transisi. Hal ini sangat tidak tepat diaplikasikan ketika jadwal di liga sedang memasuki masa boxing day, di mana waktu untuk pemulihan sangatlah sedikit.
Jadi, The Reds sebenarnya dapat bermain dengan fullback yang lebih rendah pemosisiannya dan sayap yang tetap menjaga kelebaran maksimal. Kedua fullback ini dapat memberikan stabilitas sirkulasi bola yang lebih baik karena dapat menjadi penghubung untuk mengakses superioritas di area sentral.
Pemosisian yang lebih rendah juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan sejumlah transposisi di lini belakang, yang – tentu saja – bermanfaat untuk memaksimalkan superioritas di area sentral. Dengan demikian kedua sayap Liverpool dapat bermain di kelebaran maksimal sehingga memberikan opsi vertikal yang lebih baik.
Divock Origi
Solusi lain yang mungkin dapat digunakan oleh Klopp adalah dengan menggunakan Origi untuk bermain di kelebaran maksimal ketika berada di fase build-up. Bukan berarti Origi akan selamanya bermain menjaga kelebaran maksimal.
Ketika Liverpool dapat memanfaatkan superioritas di area sentralnya untuk kemudian mengakses pemain bebas di ruang antar lini, saat itulah Origi dapat bergerak masuk ke kotak penalti. Dengan cara ini serangan Liverpool akan lebih efektif karena bola berasal dari area yang kapasitas strategisnya sangat tinggi, yaitu area sentral di ruang antarlini.
Pertimbangan dari solusi ini adalah banyaknya pemain kreatif yang dimiliki Liverpool di lini tengah. Phillippe Coutinho, Roberto Firmino, Emre Can, Jordan Henderson, dan Adam Lallana merupakan pemain-pemain yang dapat memanfaatkan superioritas di area sentral dengan sangat baik. Khusus untuk Lallana mungkin dapat dimainkan untuk menjaga kelebaran maksimal bersama Origi.
Memanfaatkan Origi untuk bermain vertikal seperti yang diperagakan Klopp dirasa penulis kuranglah tepat. Origi tidak memiliki superioritas dalam duel layaknya Christian Benteke. Oleh karena itu ketika Origi harus ditarik keluar dan digantikan dengan Benteke, Liverpool tampak memiliki tujuan yang lebih jelas. Dan pada akhirnya senior Origi di timnas Belgia itulah yang menjadi penentu kemenangan Liverpool. Namun bukan berarti permainan mereka menjadi lebih baik setelah masuknya Benteke.
Bukan berarti pula Origi tidak akan pernah bisa masuk ke dalam sistem permainan yang diharapkan Klopp. Karena Origi masih muda dan masih dapat berkembang lebih baik lagi.
Orientasi vertikal
Problem sirkulasi dan akses area sentral yang telah disebutkan di atas tidak selamanya terjadi sepanjang 90 menit. Tentu saja ada momen-momen di mana Liverpool dapat menemukan beberapa solusi yang cukup menarik, namun sayangnya hal tersebut tidak dilakukan secara konsisten.
Selain itu solusi ini juga muncul setelah memasuki menit 60 ke atas. Sehingga sulit untuk menyimpulkan apakah solusi ini datang dari instruksi Jurgen Klopp atau akibat kelelahan yang dialami pemain Leicester.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada kesempatan pertama Leicester akan mencoba untuk menerapkan pressing dari lini pertama. Mereka sebenarnya dapat membangun akses yang cukup baik terhadap bola.
Namun seringnya akses ini tidak bertahan lama. Hanya saja pada awal pertandingan ketika akses ini hilang, mereka masih memiliki energi untuk dengan cepat mencoba memulihkan stabilitas blok struktural sambil kembali membangun akses terhadap bola.
Ketika pertandingan mulai memasuki 30 menit terakhir, energi yang mereka miliki tidak lagi sama seperti di awal. Sehingga ketika akses terhadap bola yang mereka bangun hilang, mereka akan cukup lamban dalam berusaha untuk memulihkan kembali.
Manifestasi dari pemulihan kembali akses terhadap bola yang dimaksudkan di sini adalah pergeseran blok struktural. Di mana hal ini harus dilakukan begitu Liverpool dapat memindahkan bola via lini belakang dan melakukan progresi.
Pada pertandingan ini Liverpool dapat mengakses area sentral mereka melalui mekanisme seperti yang tertera pada gambar di atas. Fullback Liverpool dapat berada di ruang kosong di area sentral setelah melakukan kombinasi dengan sayap di sisi dekat. Hal ini diakibatkan oleh lambannya pergeseran blok struktural yang dilakukan oleh Leicester. Terutama pemain-pemain di sisi jauh.
Namun sayangnya dalam situasi ini superioritas area sentral Liverpool tidak berada dalam struktur posisi yang tepat. Sehingga akses area sentral yang jarang-jarang didapatkan ini tidak pernah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Penyebab utamanya adalah posisi gelandang-gelandang Liverpool.
Koneksi yang mereka miliki terhadap bola sangatlah rendah. Pemosisian mereka sangat berorientasi pada sirkulasi vertikal, padahal dalam situasi ini orientasi pergerakan vertikal bukanlah hal yang dibutuhkan.
Posisi bola yang masih berada di depan lini tengah lawan – meskipun sudah berada di dalam blok strukural lawan – masih membutuhkan koneksi untuk mengundang pressure dari lawan sehingga membuka celah di ruang antar lini lawan. Dari fakta ini dapat diasumsikan bahwa sebenarnya Klopp tidak pernah benar-benar bertujuan untuk mengontrol pertandingan dengan memanfaatkan sirkulasi bola yang stabil.
Perubahan semu Ranieri
Pada babak kedua Ranieri melakukan pergantian pemain. Pertama Okazaki dan Vardy digantikan dengan Dyer dan Ulloa. Pada awalnya akan masuk akal jika mengasumsikan bahwa Ranieri ingin menambah jumlah pemain di area sentral dengan mengubah formasi dasarnya ke 1-4-1-4-1 / 1-4-3-3. Namun yang terjadi justru Leicester bermain dengan 1-4-4-1-1. Mahrez kini bermain di belakang Ulloa.
Perbedaannya dengan 1-4-1-4-1 adalah, formasi ini akan memiliki tiga pemain di area sentral dan salah satunya akan mengawal ruang antar lini. Dengan demikian blok struktural mereka akan jauh lebih baik.
Sementara itu 1-4-4-1-1 ketika bermain tidak menguasai bola pada akhirnya akan melakukan transposisi ke 1-4-4-2. Hal yang sama dengan sebelumnya. Jadi sebenarnya perubahan yang dilakukan oleh Ranieri tidak memberikan perubahan taktikal sama sekali. Hanya memasukkan energi baru yang lebih segar.
Pada menit ke-80 Ranieri menarik Mahrez dan menggantinya dengan Andrej Kramaric yang posisi naturalnya adalah no. 9. Dapat diasumsikan bahwa perubahan yang dilakukan Ranieri lebih bertujuan untuk menyimpan tenaga kedua pemain kuncinya itu untuk laga berikutnya. Hal ini masuk akal mengingat mereka sedang memasuki masa boxing day. Namun secara taktikal tidak ada perubahan sama sekali.
Kesimpulan
Liverpool menguasai dan mengontrol jalannya pertandingan berkat superioritas mereka di area sentral. Namun sayangnya mereka tidak memanfaatkan superioritas ini secara lebih baik lagi.
Menilik model statistik miliki Michael Caley di atas, Liverpool sebenarnya dapat menciptakan peluang-peluang yang kualitasnya jauh lebih baik lagi seandainya mereka mampu menstabilkan sirkulasi bola dan memanfaatkan superioritas di area sentral.
Satu-satunya peluang terbaik Liverpool adalah ketika memasuki perpanjangan waktu. Kasper Schmeichel ikut merangsek maju ketika timnya mendapat bola lemparan ke dalam. Kemudian bola berhasil direbut Liverpool dan mereka melakukan serangan ke gawang yang kosong. Hanya saja – sebelumnya mereka secara ilegal lepas dari jebakan offside – Benteke gagal menceploskan bola.
Menebak isi kepala seseorang merupakan hal yang sangat sulit. Namun melihat keputusan yang diambil Ranieri sepertinya dia cukup puas dengan performa anak asuhnya meskipun kalah. Menarik untuk melihat bagaimana mereka bermain melawan Manchester City – yang terkenal bermain tanpa struktur posisi yang jelas – pada pertandingan selanjutnya.