Berhenti Berharap

Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI dengan agenda utama pemilihan ketua umum, wakil ketua, dan anggota Komite Eksekutif (Executive Committe/Exco) akan mulai digelar hari ini di Surabaya. Meski memiliki agenda utama yang jelas, ada dua isu lebih krusial yang hingga kini masih menghantui hajatan ini. Pertama, kisruh PSSI dengan Kemenpora dan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) terkait ngeyelnya PSSI (dan PT Liga Indonesia/PT LI) menyelenggarakan Liga Super Indonesia (LSI), dan kedua, soal ketidakadilan terhadap Persebaya 1927 yang belum kunjung menemui titik terang.

Terkait kenekatan PSSI dan PT LI menyelenggarakan LSI ΜΆ meski Arema Cronus dan Persebaya 2010 tidak mendapat rekomendasi BOPI, Kemenpora sudah tiga kali mengirim surat peringatan kepada PSSI. Pada surat peringatan yang ketiga, Kemenpora bahkan sampai mengultimatum untuk membekukan PSSI. Namun, hingga kini PSSI masih bergeming dan bersembunyi di balik ketiak Jerome Valcke FIFA yang memiliki aturan tegas soal relasi antara federasi sepak bola dengan negara. Pendek kata, jika Kemenpora sampai membekukan PSSI, maka PSSI (dan segala aktivitas persepakbolaan internasional republik ini) pun akan dibekukan oleh FIFA.

Bisakah Anda bayangkan seandainya negara ini sampai dilarang turut serta dalam aktivitas persepakbolaan internasional. Well, kita semua tahu bahwa kita ini belum menangan. Jangankan menangan, main sepak bola yang baik benar sesuai standar internasional saja belum bisa. Tetapi, justru di situ poinnya. Bagaimana kita bisa tahu sejauh mana kita berproses kalau kita tak pernah diuji? Bagaimana tim nasional (timnas) kita bisa tahu dan sadar sudah sampai mana proses mereka kalau bertanding melawan negara lain saja tidak bisa? Pembekuan PSSI oleh FIFA adalah skenario terburuk yang sebisa mungkin harus dihindari.

Akan tetapi, semakin ke sini, rasanya skenario terburuk itu perlahan berubah menjadi risiko yang mau tak mau harus kita tanggung karena sepak bola kita tak kunjung mampu keluar dari belitan masalah. Permasalahan yang ada di PSSI sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia sebenarnya hanya puncak gunung es dari masalah-masalah yang membelenggu persepakbolaan kita. Korupsi, kolusi, nepotisme, suap, pengaturan skor, administrasi acak-acakan, sampai rangkap jabatan adalah contoh dari masalah-masalah yang ada di persepakbolaan kita, dan kita semua tahu bahwa masalah-masalah itu tidak hanya ada di PSSI pusat, tetapi juga daerah. Akar dari pohon masalah ini jauh lebih dalam dari yang terlihat dan cengkeramannya pun jauh lebih kuat.

BACA JUGA:  Atribusi Sosial dan Hubungannya dengan Sepakbola Indonesia

Masalah-masalah tersebut, apabila kita biarkan saja, sudah pasti akan membawa sepak bola kita menuju kehancuran. Itulah mengapa banyak pencinta sepak bola yang menuntut revolusi di tubuh PSSI. Namun, sialnya, revolusi ini tak sesimpel yang biasa kita dengar. Revolusi adalah perubahan total yang tak mungkin terjadi dengan hanya mengganti rezim. Perlu perubahan perilaku dan pola pikir secara holistik sampai ke lapisan terbawah. Maka dari itu, mengharapkan adanya perubahan drastis dalam persepakbolaan kita dari mereka yang ada di pucuk kepemimpinan PSSI tak lebih realistis dari pungguk merindukan bulan.

Selama menggeluti dunia penulisan sepak bola, saya sudah menemui banyak orang-orang hebat yang telah melakukan hal-hal nyata untuk memperbaiki persepakbolaan kita. Tak satupun dari orang-orang tersebut duduk di kursi empuk pucuk kepemimpinan PSSI. Orang-orang tersebut, alih-alih berpangku tangan dan mengharapkan Godot datang secara tiba-tiba, memilih untuk terlibat langsung di skena persepakbolaan yang ada di sekitar mereka. Tanpa perlu ndakik-ndakik bicara soal statuta dan omong kosong birokrasi lain, mereka meraih apa yang ada di jangkauan mereka.

Perkenalkan Sirajudin Hasbi. Pemuda yang akrab disapa Hasbi ini adalah contoh dari mereka yang paham betul arti penting administrasi yang baik dan benar. Sekitar dua tahun silam, orang yang mendirikan Football Fandom bersama saya ini sempat aktif terlibat di salah satu klub Divisi Utama di DI Yogyakarta. Anda tahu apa hal pertama yang ia lakukan di klub tersebut? Membenahi sistem surat menyurat! Hasbi paham betul bahwa untuk semua hal, perlu ada hitam di atas putih karena akuntabilitas bukan persoalan main-main.

Pemadam kebakaran, contohnya. Untuk setiap busa karbondioksida yang disemprotkan petugas damkar, harus ada pertanggungjawaban yang jelas karena ini menyangkut pula chain of command. Kalau tidak ada perintah jelas yang tercantum dalam hitam di atas putih dan tiba-tiba ada kebakaran, siapa yang mau bertanggungjawab? Hal-hal semacam ini seringkali luput dari perhatian kita, padahal sejatinya, hal-hal semacam inilah yang menentukan bagaimana kegiatan sepak bola bisa terselenggara.

BACA JUGA:  Memusatkan Liga 1 di Kalimantan, Mungkinkah?

Kemudian, ada pula nama Ari Teguh Santoso, seorang pemuda asli Purworejo yang sempat menimba ilmu di salah satu perguruan tinggi di Surakarta. Untuk menjelaskan apa yang sudah diperbuat Ari untuk persepakbolaan, saya takkan bicara panjang lebar, karena Ari sudah mendokumentasikan dengan gamblang dan jelas apa yang ia perbuat di sini dan di sini. Harapannya tak muluk-muluk. Ia hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan di tempat yang bisa ia jangkau. Persetan dengan sorot lampu dan hingar bingar, karena sepak bola bukan cuma yang ada di televisi.

Terakhir, ada pula nama Ganesha Putera, pria yang kini menjabat sebagai manajer umum klub Divisi Utama, Villa 2000. Ia adalah salah satu dari mungkin, sedikit orang yang memiliki visi luar biasa soal pembinaan pemain muda. Sejak berkecimpung di Villa 2000, ia tak pernah berhenti belajar. Dalam perjalanannya, ia sempat menimba ilmu bersama World Football Academy milik Raymond Verheijen, seorang pelatih yang telah malang melintang di berbagai klub dan tim nasional di Eropa. Nyaris tak pernah sekalipun ia bergantung pada federasi untuk mencapai apa yang ia miliki sekarang karena memang well, tak ada gunanya bergantung pada federasi.

Dari semua ini, saya ingin mengajak teman-teman pembaca sekalian untuk berbuat sesuatu, apapun itu, sebisa kalian, untuk menciptakan perubahan bagi sepak bola Indonesia. Sekecil apapun, sesimpel apapun, karena segala sesuatu yang besar selalu berawal dari sesuatu yang kecil. PSSI adalah sesuatu yang besar, dan untuk menuju PSSI yang sehat, seluruh bagian kecil PSSI perlu disehatkan terlebih dahulu. Berhentilah berharap, dan mulailah bergerak.

Sekarang.

 

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.