Lingkungan Kerja dan Sepak Bola

John Benjamin Toshack, pelatih sepak bola senior asal Wales, dalam sebuah wawancara baru-baru ini menyatakan bahwa alasan penurunan performa Gareth Bale di Real Madrid adalah karena sang pemain termahal dunia tidak bahagia. Pelatih yang pernah menukangi Real Madrid pada era La Quinta del Buitre tersebut menyebut bahwa pada musim keduanya berseragam El Real, Bale “tidak nampak seperti dirinya”. Menurut Toshack, Bale tidak bisa bermain bebas dan lepas seperti yang ia lakukan di klub sebelumnya, Tottenham Hotspur, di mana ia adalah pusat serangan tim.

Bale bukan satu-satunya orang yang tidak bahagia di Real Madrid. Iker Casillas, ikon sekaligus kapten tim, serta Carlo Ancelotti, entrenador yang mempersembahkan La Decima bagi Los Merengues pun sedang menjalani masa-masa sulit di Santiago Bernabeu. Casillas, pada musim ini, kerap menjadi sasaran tembak para penggemar. San Iker dianggap tidak lagi berada pada masa keemasannya dan sudah waktunya angkat kaki dari Real Madrid.

Sementara itu, kegagalan meraih satu pun gelar pada musim ini membuat Don Carletto santer dikabarkan akan dipecat pada akhir musim. Beberapa hari yang lalu bahkan sudah muncul berita bahwa para pendukung Real Madrid menginginkan sosok Juergen Klopp untuk menjadi nakhoda baru tim bila Ancelotti betul-betul disingkirkan. Sementara itu, Florentino Perez, presiden Real Madrid, dikabarkan sudah menjalin kontak dengan allenatore Napoli, Rafael Benitez – yang pernah menjadi pemain junior Real Madrid – untuk menjajaki kemungkinan berlabuhnya Rafa ke Bernabeu.

Apa yang terjadi pada Gareth Bale, Iker Casillas, dan Carlo Ancelotti menunjukkan satu hal: Real Madrid, terlepas dari segala keglamoran dan sejarah yang gemintang, merupakan tempat yang sangat buruk untuk berkarier. Sumbu pendek para penggemar dan sang presiden, Florentino Perez, membuat suasana kerja di sana seringkali jadi tidak kondusif. Industri sepak bola (modern) memang hanya memiliki sedikit tempat untuk toleransi, namun apa yang terjadi di Real Madrid rasanya sudah kelewat batas.

BACA JUGA:  Mengenang Pelatih Tim Nasional Selama Indonesia Merdeka

Penyerangan terhadap mobil Bale, sorakan dan siulan kepada Casillas, serta aksi-aksi backchanneling yang dilakukan Perez untuk menendang Ancelotti menunjukkan bahwa respek bukan perkara penting di klub berseragam putih-putih tersebut. Ketika seseorang sudah tak lagi bisa berkontribusi seperti seharusnya, dia akan diarak bersama-sama menuju pintu keluar dan ditendang beramai-ramai.

Perkara kebahagiaan ini bukan perkara sepele. Suasana tim yang kondusif akan berpengaruh besar kepada performa tim di lapangan. Situasi tak menyenangkan, apalagi jika dipicu oleh sang pemimpin tertinggi, niscaya akan membawa efek negatif sampai ke bawah. Mike Ashley dan Newcastle United contohnya.

Dalam kolomnya untuk SB Nation, penulis sepak bola, Andi Thomas, menyebut bahwa Newcastle United adalah “klub zombie”. Klub Tyneside ini, menurut Thomas, sudah berada pada level hidup segan mati tak hendak. Mike Ashley, sang pemilik klub, menjalankan klub dengan mentalitas “yang penting bisa main di Premier League, jelek pun tak apa, toh pemasukan – terutama dari hak siar televisi – bakal tetap besar.” Mentalitas yang dimiliki Mike Ashley inilah mentalitas yang kata ibu saya, mentalitas “urip, tapi urip-uripan”. Hidup, tapi cuma hidup seadanya.

Dalam kaitannya dengan para pemain, mentalitas dari pucuk ini kemudian menjalar sampai ke akar-akar. Mentalitas ini seperti menjadi jalan hidup bagi Newcastle United secara keseluruhan sebagai sebuah institusi. Kelesuan dari atas inilah yang membuat penampilan Newcastle United menjadi angin-anginan. Menurut Thomas, Newcastle United adalah patient zero dalam epidemi zombie ini. Sebelum menjadi epidemi, sang patient zero seharusnya “dimatikan” (dengan cara mengalami degradasi) agar tidak menular ke klub-klub lain.

Beralih ke Italia, dan masih soal kebahagiaan, kita akan bicara mengenai para pemain cadangan Juventus. Dulu saya berpikir, pemain-pemain macam Simone Pepe ini gunanya apa? Sudah rentan cedera, mainnya pun pas-pasan. Jika kita hanya bicara soal untung-rugi, Simone Pepe ini jelas pemain yang tidak menguntungkan sama sekali dari segi teknikal.

BACA JUGA:  Lebaran dan Kenangan yang Tak Pernah Padam

Namun, Simone Pepe ternyata lebih dari itu. Meski banyak yang melihat dirinya sebagai beban yang sebaiknya dibuang, namun manajemen Juventus menganggap Pepe, bersama dengan Marco Storari, dan kini juga Fernando Llorente yang tersisih oleh Alvaro Morata, sebagai sosok-sosok yang menjadi pemersatu di ruang ganti. Pepe dan Storari, khususnya, merupakan dua senatori yang punya pengaruh di ruang ganti. Bersama para kapten dan pemain senior seperti Gigi Buffon, Giorgio Chiellini, Andrea Barzagli, Andrea Pirlo, dan Claudio Marchisio, Pepe dan Storari menjadi pilar komunitas yang menopang keutuhan tim.

Jika kita ingat kala AC Milan menjuara liga untuk terakhir kalinya, bagi saya bukan hanya keberadaan Zlatan Ibrahimovic dan Thiago Silva saja yang menjadi kunci keberashilan mereka kala itu. Dalam hemat saya, selain Ibrahimovic dan Silva, pemain-pemain seperti Alessando Nesta, Clarence Seedorf, dan Massimo Ambrosini, para senatori yang sudah bertahun-tahun menghuni klub, merupakan para pemersatu yang ketika itu memiliki kontribusi besar di ruang ganti. Dibandingkan dengan Milan saat ini, ketiadaan para pemain macam itulah yang membuat suasana tim menjadi tak kondusif, selain tentunya karena Silvio Berlusconi yang makin layak dipertanyakan kewarasannya. Performa tim di lapangan pun akhirnya menjadi korban.

Lingkungan kerja yang kondusif tentu akan berpengaruh pada hasil produksi yang dilakukan, tak terkecuali di dunia sepak bola. Apabila suasana kerja sudah tak lagi menyenangkan, itu artinya perubahan sudah tak terhindarkan. Apabila Bale, Casillas, dan Ancelotti akhirnya hengkang atau Newcastle United terdegradasi dan akhirnya dijual oleh Mike Ashley, rasanya hal itu merupakan jalan yang masuk akal untuk mengatasi masalah yang sedang merundung tim-tim tersebut.

 

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.