Selamat Jalan Cesare Maldini

Dalam ilmu keperawatan dikenal sebuah konsep yang bernama Konsep Kehilangan atau Berduka. Konsep ini membahas tentang keadaan suatu individu kala berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian maupun keseluruhan. Ya, konsep ini memang berkaitan dengan kematian. Hal paling mutlak dalam hidup kita, para pencinta sepak bola.

Belum usai kesedihan yang menimpa dunia sepak bola pasca-kehilangan maestro sepak bola asal Belanda, Johan Cruyff, kini satu figur legenda sepak bola lain yang meninggal dunia. Adalah Italiano bernama Cesare Maldini yang pada Minggu (3/4) pergi untuk selama-lamanya pada usia 84 tahun.

Nama Cesare Maldini sendiri jelas begitu familiar di kalangan pencinta sepak bola. Sebab dirinya merupakan generasi pertama dinasti Maldini yang bergelimang kesuksesan. Dinasti ini pula yang memiliki sumbangsih luar biasa bagi Italia dan AC Milan.

Cesare yang merupakan ayah Paolo Maldini, juga punya prestasi mentereng tatkala masih tercatat sebagai pemain. Dirinya tercatat berhasil membawa Milan merengkuh empat gelar Scudetto dan satu Piala Champions pada era 1950-an dan 1960-an.

Cesare menjadi pria Italia pertama yang mengangkat gelar antarklub Eropa tersebut pada 1962/1963 silam karena statusnya sebagai kapten I Rossoneri pada tahun 1961-1966.

Sepanjang 15 tahun berkarier di atas lapangan, Cesare dikenal sebagai bek yang tangguh, punya teknik brilian dan serbabisa. Hal ini pula yang membuatnya bisa dimainkan di beberapa posisi di sektor belakang, seperti bek tengah, sweeper dan bahkan bek kanan.

Bersama tiga klub yang pernah diperkuatnya semasa bermain, Triestina, Milan dan Torino, Cesare telah bermain sebanyak 453 kali di semua kompetisi.

Setelah kariernya sebagai pemain usai, Cesare tak meninggalkan dunia yang membesarkan namanya ini. Hanya beberapa musim usai gantung sepatu, Cesare didapuk oleh Nereo Rocco untuk menjadi asistennya di Milan dari 1970 sampai 1973. Kolaborasi keduanya menghasilkan sepasang Piala Italia, musim 1971/1972 dan 1972/1973 serta titel Piala Winners 1972/1973.

Bahkan ketika Rocco hengkang ke Fiorentina semusim berselang, Cesare langsung naik jabatan menjadi pelatih kepala anyar I Rossoneri. Sayangnya, perjalanan Cesare sebagai allenatore Milan hanya berlangsung semusim saja.

Cesare kemudian melanjutkan petualangannya dengan menahkodai klub-klub semenjana seperti Foggia, Ternana dan Parma. Klub yang disebut terakhir berhasil diantarkan Cesare promosi ke Serie B usai berjuang ekstra keras di Serie C1.

Pada tahun 1980, pelatih kepala tim nasional Italia, Enzo Bearzot, mengangkat Cesare menjadi salah satu asistennya. Kolaborasi ini terbilang berhasil karena mereka sanggup membawa Italia menjadi juara Piala Dunia 1982 di Spanyol. Cesare sendiri menjadi asisten Bearzot hingga tahun 1986 sebelum kemudian ditunjuk FIGC (induk organisasi sepak bola Italia), menjadi pelatih kepala timnas Italia U-21.

Karier kepelatihan Cesare di Gli Azzurrini berlangsung cukup panjang, tepatnya sedekade. Dengan kesempatan itu pula Cesare sukses membawa Gli Azzurrini menjadi juara Piala Eropa U-21 selama tiga kali beruntun, satu rekor yang belum terpecahkan hingga hari ini. Tiga trofi itu diraih pada tahun 1992, 1994 dan 1996.

BACA JUGA:  Melihat Ante Rebic yang Sesungguhnya

Cesare memiliki andil besar dalam perkembangan karier figur-figur muda yang bahkan saat ini telah ada yang pensiun sebagai bintang dan legenda semisal Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, Filippo Inzaghi, Alessandro Nesta, Francesco Toldo, Francesco Totti dan Christian Vieri.

Pasca-sukses membesut Gli Azzurrini, Cesare diangkat menjadi pelatih tim senior menggantikan Arrigo Sacchi yang gagal total di Piala Eropa 1996. Tugas Cesare adalah membenahi Italia sekaligus meloloskan mereka ke Piala Dunia 1998 yang dihelat di Prancis.

Bicara soal gaya main yang diusung Cesare dalam melatih, maka tak bisa dilepaskan dengan ciri khas yang dimainkan Bearzot. Kebersamaannya dengan Bearzot yang berlangsung cukup lama begitu memengaruhi gaya melatih Cesare.

Layaknya Bearzot, Cesare dikenal sebagai pelatih yang menganut paham bahwa dalam permainannya Italia mesti memainkan pola man to man marking plus libero di sektor belakang, memiliki gelandang-gelandang petarung, dan kesebelasan yang secara keseluruhan cakap dalam melakukan serangan balik.

Namun gaya main yang dikembangkan Cesare itu malah membuat Italia tampil “biasa-biasa” saja meski punya beberapa pemain berkualitas seperti Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, dan Gianfranco Zola.

Di babak kualifikasi, meski tak tersentuh kekalahan dari delapan partai yang dimainkan, lima kali menang dan tiga kali seri, Italia harus puas nangkring di posisi kedua klasemen akhir.

Gli Azzurri kalah bersaing dengan Inggris dan harus berjibaku di babak playoff demi merebut satu tiket ke babak utama. Beruntung Italia dapat mengandaskan perlawanan Rusia di dua leg babak playoff usai menang agregat 2-1.

Di putaran final, Italia sanggup keluar sebagai juara grup B usai memenangi persaingan atas Austria, Cile dan Kamerun. Sayangnya langkah Gli Azzurri harus terhenti lebih cepat, fase perempat final, usai ditekuk tuan rumah Prancis di babak tos-tosan alias adu penalti.

Kegagalan tersebut membuat media Italia habis-habisan mengkritik Cesare yang justru tak membawa Zola ke putaran final dan tak pernah memainkan Baggio dan Alessandro Del Piero secara bersama-sama (menggantikan salah satunya di masing-masing babak).

Ini mengulangi kisah Ferruccio Valcareggi di Piala Dunia 1970 yang tak pernah memainkan Sandro Mazzola dan Gianni Rivera secara berbarengan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Cesare pun mundur dari timnas usai Piala Dunia 1998.

Namun kisah paling menarik dalam karier kepelatihan Cesare barangkali saat dirinya dijadikan pelatih kepala oleh timnas Paraguay pada Desember 2001 jelang Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang.

Paraguay yang ketika itu dibesut oleh Sergio Markarian, pelatih berkebangsaan Uruguay, dan telah memastikan lolos ke Piala Dunia 2002 turun tidak dengan kekuatan penuh di dua laga terakhir babak kualifikasi zona Conmebol melawan Venezuela dan Kolombia. Alhasil Paraguay keok 1-3 dan 0-4. Hasil tersebut membuat Markarian dipecat.

BACA JUGA:  Era Baru Rivalitas Italia dan Spanyol

Pemecatan itu mengagetkan mayoritas skuat Paraguay, terlebih mereka dilatih oleh Markarian sejak masih belia sehingga memiliki loyalitas tersendiri terhadap sang pelatih. Beberapa nama diapungkan untuk menjadi suksesor Markarian, seperti Carlos Bianchi dan Paulo Cesar Carpeggiani.

Namun APF (induk organisasi sepak bola Paraguay) malah memilih Cesare sebagai pelatih kepala. Banyak kalangan yang menganggap curriculum vitae Cesare sebagai pelatih kurang oke dan tak memiliki kecakapan perihal taktik.

Selain itu dirinya juga disebut sudah kelewat uzur dan dibayar terlalu tinggi untuk menukangi Paraguay. Cesare juga memiliki kendala soal bahasa Spanyol, bahasa nasional Paraguay, yang tak dikuasainya.

Penunjukan Cesare benar-benar tak mendapat impresi positif dari para penggawa La Albirroja dan publik Paraguay.

“Kurasa dirinya harus belajar belajar bahasa Spanyol karena itu akan lebih mudah baginya ketimbang meminta 25 orang (pemain) untuk belajar bahasa Italia,” ungkap Carlos Gamarra, mantan andalan timnas yang saat itu bermain bagi AEK Athens, Yunani.

Cesare sendiri dianggap menghabiskan waktu terlalu sedikit di Paraguay guna lebih memahami kultur sepak bola Amerika Latin. Ya, selama melatih La Albirroja, Cesare memang kerap bolak-balik Paraguay-Italia. Sang allenatore ada di Paraguay kebanyakan hanya pada saat La Albirroja akan bertanding.

“Dirinya harus menghabiskan siang dan malam untuk menyaksikan video permainan kami untuk lebih tahu bagaimana gaya dan karakter Paraguay. Alasannya jelas karena kami tak punya banyak waktu untuk berjumpa (akibat keengganannya untuk menetap di Paraguay),” lanjut bek yang punya 110 caps tersebut seperti dikutip dari news.bbc.co.uk.

Ketidaksukaan skuat Paraguay terhadap Cesare sampai-sampai membuat kapten sekaligus kiper legendaris mereka, Jose Luis Chilavert, meminta maaf kepada Cesare atas kritikan tanpa henti rekan-rekannya.

Perjalanan Paraguay di Piala Dunia 2002 sendiri berakhir lebih cepat dengan tersingkir di babak perdelapanfinal usai dibungkam Jerman dengan skor tipis 1-0. Sebelumnya, Paraguay keluar sebagai runner up grup B di babak penyisihan grup. Hasil tersebut juga menyudahi karier kepelatihan Cesare. Dirinya kemudian menjadi pemandu bakat Milan dan analis di beberapa kanal televisi.

Gemilang sebagai pemain namun tak terlalu sukses sebagai pelatih menjadi catatan tersendiri dalam karier panjang seorang Cesare Maldini. Kini, dirinya telah pergi meninggalkan kita semua berikut aneka cerita yang takkan lekang oleh waktu. Sekali legenda tetaplah legenda.

Ciao Cesare.

 

Komentar