Sejak abad ke-16 Prancis begitu mahsyur dengan julukan negeri dongeng. Bagaimana tidak, ada banyak sekali fairytale yang dihasilkan oleh penulis-penulis asal Prancis pada masa itu. Bahkan, dongeng-dongeng tersebut masih menjadi bacaan milyaran anak di seluruh muka bumi sampai sekarang.
Salah satu penulis dongeng paling beken dari Prancis adalah Charles Perrault, pria kelahiran Paris pada 12 Januari 1628 silam. Dirinyalah yang menulis beberapa dongeng kondang seperti Le Petit Chaperon Rouge, Cendrillon, Le Chat Botte dan Le Belle au bois Dormant.
Asing? Bagaimana jika saya menyebut Little Red Riding Hood, Cinderella, Puss In Boots dan Sleeping Beauty dalam terjemahan bahasa Inggris-nya?
Well, Prancis dan dongeng memang satu kesatuan yang abadi dan takkan bisa dipisahkan. Tak terkecuali di dunia sepak bola.
Pada tahun 1998, gelaran sepak bola nomor wahid sejagad bertajuk Piala Dunia diselenggarakan secara luar biasa di Prancis. Jutaan pasang mata manusia mengarahkan pandangannya ke negeri yang juga populer sebagai penghasil wine terbaik ini.
Lewat skuat apik dengan materi jempolan dalam diri Fabien Barthez, Lilian Thuram, Youri Djorkaeff, hingga Zinedine Zidane, Prancis menggemparkan dunia. Pasalnya negeri yang bentuk geografisnya bak segi enam sehingga kerap dijuluki L’Hexagone ini sukses keluar sebagai kampiun dunia.
Pasukan Aime Jacquet sanggup meluluhlantakkan raksasa sepak bola dunia, Brasil, dengan skor telak 3-0 di partai final. Dihadapan 80.000 pasang mata yang memadati Stade de France, Didier Deschamps yang bertindak sebagai kapten Prancis pun menjadi Frenchman pertama yang mengangkat tinggi-tinggi trofi Piala Dunia sebagai tanda juara.
Prancis berhasil menyusul Argentina, Brasil, Inggris, Italia, Jerman, dan Uruguay yang sebelumnya telah merengkuh gelar paling prestisius tersebut (sebelum Piala Dunia 1998-red.). Sungguh satu dongeng yang amat luar biasa bagi timnas berjuluk Ayam Jantan itu dan selalu jadi kebanggaan sampai detik ini.
Akan tetapi bukan cuma Prancis yang punya dongeng indah saat itu. Ada satu negara lain yang tampil begitu mengejutkan dan menghentak. Bahkan merontokkan beberapa jagoan sepak bola dunia kelas kakap. Negara yang identik dengan seragam kotak-kotak berwarna merah dan putih itu bernama Kroasia.
Datang sebagai debutan di ajang sekelas Piala Dunia, tak ada yang menduga jikalau Kroasia yang saat itu ditukangi Miroslav Blazevic akan bikin geger.
Tergabung di grup H bersama Argentina, Jamaika dan Jepang, pasukan berjuluk Vatreni mampu tampil ciamik dengan merebut dua kemenangan atas Jamaika dan Jepang meski keok di tangan Argentina. Mereka pun lolos ke fase perdelapan final dengan status runner up grup di bawah La Albiceleste.
Dongeng Kroasia tak selesai sampai di situ karena tim yang ketika itu dihuni pilar-pilar semisal Aljosa Asanovic, Slaven Bilic, Zvonimir Boban, Robert Jarni, Robert Prosinecki, Davor Suker, dan Zvonimir Soldo sanggup melanjutkan hentakkannya.
Rumania jadi lawan yang dikandaskan di perdelapan final. Gol tunggal Suker sudah cukup memberi tiket mudik bagi Gheorghe Hagi dan kawan-kawan.
Melaju ke perempatfinal, Kroasia dihadang kekuatan besar Eropa bernama Jerman. Tak disangka, Der Panzer yang ketika itu dilatih oleh Berti Vogts dilibas dengan skor mencolok tiga gol tanpa balas. Impian Jerman mengawinkan gelar Piala Eropa yang didapat tahun 1996 dengan Piala Dunia 1998 pun musnah.
Hingga kemudian negara yang baru meraih kemerdekaannya dari Yugoslavia pada 25 Juni 1991 ini harus mengakui ketangguhan tuan rumah Prancis yang didukung puluhan ribu suporter fanatiknya di semifinal. Sebiji gol Suker mampu dibalas tuntas oleh Thuram melalui sepasang golnya. Impian Kroasia melaju ke final akhirnya pupus.
Meski harus menerima hasil pahit tersebut dan cuma tampil di laga perebutan tempat ketiga melawan Belanda yang di semifinal lain tumbang di tangan Brasil, Kroasia tetap memesona.
Gol Prosinecki dan Suker cukup untuk membuat Belanda bertekuk lutut karena De Oranje hanya sanggup mencetak satu gol lewat sepakan dahsyat Boudewijn Zenden.
Kroasia pada akhirnya keluar sebagai tim peringkat ketiga pada aksi perdana mereka di ajang Piala Dunia. Kisah yang membuat mata pencinta sepak bola sejak saat itu mengarahkan pandangannya ke negara yang beribukota Zagreb ini. What a fairytale!
Setelah 18 tahun berselang, Prancis kembali menyelenggarakan turnamen sepak bola akbar meski bukan Piala Dunia. Namun pesta sepak bola kali ini juga yang paling wah seantero benua biru bertajuk Piala Eropa alias Euro 2016.
Dan Kroasia hadir kembali sebagai salah satu kekuatan yang tak lagi dipandang sebelah mata di konstelasi bal-balan Eropa bahkan dunia. Kubu Vatreni telah dianggap sebagai salah satu tim paling berkembang dan berstatus kuda hitam yang siap memberi kejutan pada gelaran kali ini.
Di turnamen kali ini, tergabung di grup D bersama Republik Ceska, Spanyol, dan Turki jelas membuat kans Kroasia lolos ke babak knockout tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Spanyol yang menjadi kekuatan dominan di dunia sepak bola sepanjang satu dekade terakhir jelas menjadi favorit untuk menggenggam satu tiket. Sementara tiket tersisa mesti diperebutkan Kroasia, Republik Ceska, dan Turki. Namun tanah Prancis seolah punya tuah tersendiri buat Vatreni yang kali ini diasuh oleh Ante Cacic.
Layaknya penampilan para senior di Piala Dunia 1998 yang sangat heroik, Kroasia seakan kembali menulis sebuah dongeng di turnamen kali ini. Darijo Srna dkk. secara luar biasa justru keluar sebagai pemuncak klasemen grup D setelah di tiga laga yang mereka jalani berhasil mengoleksi tujuh angka hasil dari dua kemenangan atas Turki dan Spanyol serta imbang dengan Republik Ceska.
Kemenangan atas Spanyol bahkan disebut-sebut banyak kalangan begitu dramatis dan elok. Terlebih, kekalahan itu memutus rekor apik Spanyol di ajang Piala Eropa yang tak pernah kalah sejak 20 Juni 2004.
Berbekal skuat yang diisi nama-nama tenar macam Marcelo Brozovic, Mario Mandzukic, Luka Modric, Ivan Perisic, Ivan Rakitic, dan Danijel Subasic, Kroasia memang punya modal cukup guna tampil sebaik-baiknya, segagah-gagahnya pada turnamen kali ini. Harapan pun menyeruak, tak hanya oleh rakyat Kroasia namun juga pencinta sepak bola di belahan dunia lain.
Mengulangi dongeng Suker cs. dahulu tentu muncul di kepala dan dada para penggawa Kroasia kali ini walau jelas ada banyak tantangan yang menanti di depan.
Portugal menjadi rintangan pertama yang harus dihadapi Vatreni di perdelapanfinal. Apabila Kroasia sanggup melewati hadangan Cristiano Ronaldo cs. dan melaju terus (hingga babak akhir), maka satu dongeng anyar pun lahir di tanah Prancis.
Tak dibuat Perrault lagi yang memang sudah mangkat pada 16 Mei 1703 silam namun oleh anak asuh Cacic guna mengukir kisah manis dan sensasional layaknya pendahulu mereka di Prancis 18 tahun yang lalu.
Sanggup, Hrvatska?