Pembuktian Pantaleo Corvino dan Restorasi Bologna

Model bisnis Fiorentina berubah sejak dibangkitkan kembali oleh Diego dan Andrea Della Valle pada 2002.

Jika pada era sebelumnya – di bawah Mario dan Vittorio Cecchi Gori – mereka berani jor-joran dengan mendatangkan bintang-bintang kelas kakap macam Gabriel Batistuta, Manuel Rui Costa, Steffan Effenberg, maupun Brian Laudrup, tidak demikian halnya dengan era Della Valle.

Kebangkrutan yang mendera Fiorentina pada peralihan milenium membuat Della Valle bersaudara lebih berhati-hati dalam menjalankan klub.

Di bawah kendali Della Valle, Fiorentina berubah menjadi klub yang sangat cermat dalam melakukan aktivitas transfer. Meski berhasil mendatangkan banyak pemain berkualitas, tidak ada nilai transfer yang spektakuler. Semua dilakukan sesuai kebutuhan dan kemampuan finansial klub.

Model transfer ini kemudian menjadi identik dengan Fiorentina, khususnya sejak mereka merekrut sosok yang sebelumnya telah menunjukkan kebolehannya dalam menangani aktivitas transfer bersama Lecce. Sosok tersebut bernama Pantaleo Corvino.

Keberhasilan Corvino di Lecce – di mana ia sukses mendaratkan Valeri Bojinov dan Mirko Vucinic – membuat petinggi Fiorentina tak pikir panjang dalam mengambil keputusan untuk mendatangkannya.

Selama tujuh tahun lamanya Corvino bertugas menjadi direktur olahraga Fiorentina dan dalam kurun waktu tersebut, ia berhasil mendatangkan pemain-pemain seperti Sebastien Frey, Luca Toni, Alberto Gilardino, Juan Manuel Vargas, Felipe Melo, Adrian Mutu, dan Stevan Jovetic.

Dengan pemain-pemain berkualitas seperti itu, Fiorentina secara konsisten mampu terus menggoyang papan atas Serie A Italia.

Namun tak ada bulan madu yang bertahan selamanya. Sejak dikalahkan secara kontroversial oleh Bayern Munchen pada perdelapan final Liga Champions 2009/2010, performa dan prestasi Fiorentina terus menurun.

Mundurnya Cesare Prandelli, insiden pemukulan Adem Ljajic oleh Delio Rossi, hingga puncaknya, kekalahan 0-5 dari Juventus di Artemio Franchi pada Maret 2012 membuat Della Valle bersaudara akhirnya memutuskan untuk memberhentikan Corvino.

Nama Corvino pun sempat menghilang. Banyak yang menyebut Corvino sudah habis dan matanya sudah tak sejeli dulu lagi.

Pendapat ini beralasan memang, mengingat aktivitas transfer Fiorentina pada pengujung karier Corvino di tim asal Firenze memang buruk. Penjualan Felipe Melo, misalnya. Meski sanggup menghasilkan untung yang besar, Corvino kemudian justru puas hanya dengan kedatangan Cristiano Zanetti.

Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Corvino boleh jadi menyepi selama setidaknya tiga tahun setelah kekalahan memalukan dari Juventus, namun semua berubah ketika pintu rumahnya diketuk oleh sosok ambisius bernama Joseph “Joe” Tacopina.

Sekilas sosok Joe Tacopina

Nama Joe Tacopina memang bukan nama asing di dunia olahraga. Akan tetapi, sebagai orang Italia-Amerika, Tacopina memang nyaris tak pernah berkecimpung di dunia sepak bola.

Di Amerika Serikat sendiri, Tacopina lebih dikenal sebagai pengacara bintang bisbol kontroversial, Alex Rodriguez yang bermain untuk tim raksasa Major League Baseball, New York Yankees. Agak mirip dengan Robert Kardashian yang dulu membela O.J. Simpson di pengadilan.

Keterlibatan Tacopina di dunia sepak bola bermula pada tahun 2004 ketika ia datang ke Stadion Olimpico dan merasa kecewa atas fasilitas yang disuguhkan AS Roma kepada para penggemarnya.

BACA JUGA:  Emiliano Mondonico yang Harum di Atalanta dan Torino

“Papan skornya tidak berfungsi. Selain itu, ketika aku ingin membeli jersey untuk anakku, tak ada satu pun yang dijual. Stadionnya juga kotor,” keluh Tacopina kala itu.

Setelah itu, Tacopina pun mencatat apa-apa yang dirasanya kurang dari AS Roma (serta klub-klub Italia pada umumnya) di sehelai tisu dan pulang ke Amerika Serikat dengan mimpi baru: membeli sebuah klub Italia.

Impian ini pun akhirnya tercapai pada tahun 2011 ketika Tacopina berhasil membawa grup investor dari Boston, Raptor Group untuk menjadi pemilik baru I Lupi.

Thomas DiBenedetto, presiden baru AS Roma kala itu pun menunjuk Joe Tacopina sebagai wakil presidennya. Sejak saat itu, AS Roma terus berbenah dan perlahan mulai membangun masa depan.

Pada 2014, ketika mendengar juara Serie A tujuh kali, Bologna, sedang mengalami krisis keuangan dan terdampar di Serie B, Tacopina pun tergerak. Maklum saja, karena keluarga Tacopina sendiri berasal dari Kota Bologna dan ia sendiri sudah pernah mencoba membeli klub ini pada 2008, namun tidak berhasil.

Tacopina pun kemudian mundur dari jabatan wakil presidennya di AS Roma untuk mencoba peruntungannya kembali bersama Rossoblu.

Kali ini, Tacopina menawarkan ide pembelian Bologna kepada seorang Italia-Kanada bernama Joey Saputo, yang merupakan pengusaha produk olahan susu sekaligus presiden klub Major League Soccer, Montreal Impact.

Pada Oktober 2014, Bologna akhirnya resmi menjadi milik BFC 1909 USA Spv LLC (di mana Saputo merupakan salah satu pemilik saham) dengan BFC 1909 Lux Spv S.A. sebagai perantaranya di Eropa. Tacopina pun kemudian diangkat menjadi presiden Bologna.

Sayang, perselisihan dengan Saputo membuat Tacopina akhirnya angkat kaki dari Bologna FC. Meski begitu, kiprah Tacopina di persepakbolaan Italia tak berhenti. Hanya selang 20 hari setelah ia mundur dari Bologna, ia kembali membawa sekelompok investor Amerika Serikat untuk membeli sebuah klub Italia.

Kali ini klub Serie D, Venezia yang menjadi sasaran. Uang enam juta euro pun dikucurkan oleh kelompok investor tersebut untuk mengambil alih Venezia Calcio dan Tacopina pun kembali diangkat menjadi presiden klub hingga saat ini.

Upaya Bologna kembali ke khitah

Bagi generasi kekinian, Bologna memang bukan tim besar. Tentu mereka yang mengikuti Serie A tahu bahwa klub ini dulu pernah besar namun kebanyakan dari mereka jelas tak cukup tua untuk sempat menyaksikan kejayaan klub asal Emilia-Romagna.

Maklum, terakhir kali Bologna menjuarai Serie A adalah pada musim 1963/1964. Jika ada memori tentang Bologna yang nyantol di kepala, paling-paling hanya karena kiprah Giuseppe Signori dan Roberto Baggio pada dekade 1990-an. Selepas itu, Bologna memang lebih identik dengan citra sebagai tim yoyo.

Mulai musim lalu, ketika Bologna kembali ke Serie A, ada beberapa hal menjanjikan yang berhasil ditunjukkan klub kelahiran 1909 ini. Meski sempat terseok-seok pada awal musim, setelah Delio Rossi digantikan oleh Roberto Donadoni pada Oktober 2015, situasi berubah.

BACA JUGA:  Polemik Mauro Icardi dan Curva Nord

Di bawah Donadoni, Bologna pun membaik. Tidak spektakuler memang, seperti Sassuolo, misalnya. Akan tetapi, bersama Donadoni, Bologna setidaknya lebih stabil. Perlu diingat pula bahwa meski punya sejarah besar, status mereka musim lalu adalah tim promosi.

Pemain-pemain berpengalaman macam Emanuele Giaccherini, Mattia Destro, Antonio Mirante, dan Daniele Gastaldello seperti bangkit kembali. Selain itu, kiprah para pemain muda seperti Godfred Donsah, Adam Masina, Alex Ferrari, dan Amadou Diawara pun tak luput dari sorotan.

Dari semua pemain tersebut, Giaccherini mungkin merupakan nama yang paling menonjol saat ini, terutama setelah ia tampil apik pada gelaran Euro 2016 silam.

Pemain mungil serbabisa ini pun akhirnya direkrut oleh Napoli pada bursa transfer musim panas ini. Namun sejatinya, bukan Giaccherini yang menjadi simbol perubahan Bologna, melainkan Amadou Diawara.

Diawara, yang masih berusia 18 tahun, sudah digadang-gadang akan menjadi pemain hebat di masa depan. Pemain kelahiran Conakry, Guinea ini menjadi salah satu komoditi panas pada bursa transfer kali ini.

Gelandang bertahan belia ini memiliki kemampuan intersepsi yang tak jarang dibandingkan dengan interseptor terbaik saat ini, N’Golo Kante. Masih jauh memang, tetapi Diawara punya potensi untuk mencapai level tersebut.

Bologna sendiri harus menebus Diawara dengan mahar sekitar 500 ribu euro dari San Marino. Adapun, aktivitas transfer ini sendiri tak lepas dari kejelian seorang Pantaleo Corvino. Keberhasilan Bologna mendapatkan pemain muda dengan potensi besar macam Diawara menunjukkan bahwa Pantaleo Corvino belum habis.

Setelah menyepi selama tiga tahun, sosok yang sekilas mirip karakter Luca Brasi pada film The Godfather menunjukkan bahwa ia masih memiliki kemampuan yang dulu membuatnya begitu besar di Lecce dan Fiorentina.

Keberhasilan Corvino mendatangkan Diawara ini membuat Bologna, meski mereka kini telah kehilangan gelandang energik tersebut (dijual ke Napoli dengan banderol 13,6 juta euro), bisa tetap bernafas lega.

Dengan Corvino yang kembali menemukan kesaktiannya, proyek restorasi Bologna diharapkan bisa terus berjalan. Sebelum Diawara pergi pun, Bologna telah menemukan sosok pengganti Diawara dalam diri Adam Nagy, pemain muda Hungaria yang bersinar pada Euro 2016 lalu.

Saat ini, Bologna di bawah Saputo sudah berencana untuk membangun stadion baru untuk menggantikan Renato Dall’Ara yang telah usang. Ketika masih menjabat sebagai presiden Bologna, Tacopina pernah berujar bahwa stadion baru Bologna akan menghabiskan dana sekitar 60 juta euro.

Angka ini jelas merupakan perkiraan belaka dan bahkan, rencana konkret untuk membangun stadion pun belum benar-benar ada. Akan tetapi, hal ini setidaknya mampu menumbuhkan optimisme baru di Bologna.

Kehadiran pemilik baru dengan visi jauh ke depan, transfer guru hebat dalam sosok Pantaleo Corvino, peracik taktik jitu dalam diri Roberto Donadoni, serta pemain-pemain muda penuh bakat menjadi modal berharga Bologna dalam menyongsong masa depan.

Jika proyek ini terus berjalan lancar, bukan tidak mungkin Bologna akan kembali menjadi kekuatan serius di jagat sepak bola Italia.

 

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.