AFF dimulai sebentar lagi. Kedatangannya tiba-tiba membangkitkan harapan akan kejayaan timnas. Lagi. Harapan yang terus muncul setiap timnas bertanding pada kejuaraan manapun, dengan persiapan tim seamburadul apa pun, dalam kondisi PSSI sekacrut siapa pun.
Harapan yang sama pernah muncul di 2010. Harapan yang membumbung tinggi meski kita sedang dipuncak kebencian pada PSSI rezim Nurdin Halid.
Harapan yang tetap muncul di 2012 meski kekuatan timnas compang-camping akibat dualisme, boikot, dan timnas tandingan.
Harapan yang juga ada pada tahun 2014 sebelum akhirnya kita sadar, kualitas timnas kita ternyata jauh tertinggal setelah digelontor 4 gol oleh Filipina. Tim yang beberapa tahun sebelumnya langganan kita hajar lusinan gol.
Jadi apa salahnya kalau tahun ini kita kembali berharap meski keadaan tidak banyak berubah. Sudah 6 tahun berlalu dan kita masih kutak kutik di lapangan rusak yang sama. Pemerintah sudah berubah tapi tetap tak mampu “membina” PSSI.
PSSI sudah berkali-kali berkongres, dari yang biasa sampai luar biasa. Tapi hasilnya kompetisi kita ya begitu-begitu saja.
Apalagi setahun lalu kita dihukum FIFA. Setelah hukuman dicabut, liga resmi belum juga berjalan. Yang ada hanya kompetisi sekelas turnamen. Kompetisi tak resmi yang berani-beraninya membatasi jumlah pemain tiap klub yang boleh memperkuat timnas. Dan PSSI baru tidak berdaya. Mungkin karena orangnya itu-itu lagi.
Terbukti, tenyata belum banyak yang berubah. Lalu darimana kita punya alasan logis untuk berharap?
“The ball is round, the game lasts 90 minutes. That is fact. Everything else is pure theory.” Begitu tertulis di opening credit film Run Lola Run yang mengutip kutipan pelatih jerman, Sepp Herberger. Dari situlah kita bisa berharap, bukan cuma bermimpi.
Sepak bola adalah sebuah permainan dengan pilihan ending yang terbatas. Cuma bisa menang, seri, atau kalah. Ada kick off dan final whistle, tapi di antara 90 menit itu, apa pun bisa terjadi. Sejarah membuktikannya.
Yunani bisa juara di Euro 2004. Irak menang Piala Asia saat negaranya sedang berperang habis-habisan di 2007.
Setahun sebelumnya Italia juara dunia setelah dilanda krisis Calciopoli. Atau nggak usah jauh-jauh mencari contoh. Empat tahun lalu, di Piala AFF 2012, Thailand yang begitu digdaya sepanjang penyisihan dan semifinal, berhasil ditaklukkan Singapura yang susah payah masuk final.
Dalam 90 menit permainan, memang ada serangkaian hukum alam bahwa yang cerdas akan menguasai permainan, yang cepat akan meninggalkan yang lambat, yang kuat akan menyiksa yang lemah. Itu yang kita tahu, tapi sebenarnya kita tidak pernah tahu bagaimana hasil akhirnya.
“Kalau Anda bertanya apakah mereka memainkan sepak bola yang saya sukai, jawabannya tentu saja tidak. Banyak sekali orang akan mengatakan hal yang sama. Tapi mereka bermain efisien. Saya tiga tahu apakah mereka tim terbaik, tapi mereka adalah tim yang paling efisien dan mereka jadi juara,” kata Luis Figo, mengomentari permainan Yunani yang baru mengalahkan generasi emas Portugal.
Satu malam yang kelam di Lisbon. Sang unggulan kalah pada pertandingan final di kandang sendiri. Yunani, tim yang cuma mencetak 7 gol sepanjang turnamen jadi juara Euro 2004.
Statisik mencatat, sepanjang 90 menit laga final itu Portugal mencatat 10 tendangan pojok dibanding 3 kali sepak pojok milik Yunani. Portugal melepaskan 11 tendangan melebar dan 5 tepat sasaran. Semuanya gagal.
Sementara Yunani hanya 1 usaha tepat sasaran, dan satu-satunya kesempatan itu berhasil menjadi gol. Kemenangan itu ditentukan oleh lompatan Charisteas di menit ke 57 yang lebih tinggi dari lompatan Costinha dan Carvalho.
Bermain efisien. Itu yang harus dilakukan oleh timnas saat menghadapi lawan-lawan yang di atas kertas lebih kuat dari Indonesia. Dalam 90 menit nanti, Thailand yang baru menahan Australia 2-2, atau Filipina yang sudah berhasil mengalahkan Bahrain dan Korea Utara, tidak mustahil kita kalahkan.
Yunani melakukannya dengan meletakkan ego dan mengutamakan kepentingan tim. Otto Rehhagel menerapkan taktik yang kemudian dikenal orang sebagai kontrollierte offensive, penyerangan yang terkontrol.
Idenya adalah bertahan maksimal di separuh lapangan, menunggu kesempatan serangan balik atau tendangan bebas untuk mencetak gol. Gol kemenagan di semifinal dan final Euro 2004 lahir dari tendangan pojok.
Riedl sepertinya mengunakan taktik yang berbeda dengan tujuan mirip. Pressing, pressing, pressing, untuk mengganggu lawan menyusun serangan. Ada harapan di sini saat melihatnya dalam pertandingan persahabatan. Para pemain kita tak henti memberi tekanan sepanjang 90 menit. Mudah-mudahan stamina para pemain semakin membaik.
Tidak ada yang lebih amburadul dari persiapan Irak menjelang Piala Asia 2007. Perang malah memuncak di negeri mereka meski Saddam Husein ditangkap lalu dieksekusi.
Tim Irak harus berlatih dan bertanding nomaden di luar negeri, selama babak kualifikasi. Dengan kondisi seadanya. Di negeri mereka Sunni, Syiah, Kurdis saling membunuh.
Tiga orang pemain baru saja kehilangan keluarga akibat perang. Di dalam tim yang juga terdiri dari Sunni, Syiah, dan Kurdis mereka mati-matian menyatukan diri. Mereka menempatkan timnya sebagai “Symbol of Unity’. Bahkan kemenangan melawan Korsel di semifinal disambut perayaan meriah yang mengundang 2 bom mobil meledak menewaskan setidaknya 50 orang.
Tapi kekacauan itu berubah menjadi semangat luar biasa pada 90 menit pertandingan final melawan raksasa Arab Saudi, tim paling produktif sepanjang turnamen. Sepanjang 90 menit itu mereka berdarah-darah dalam arti yang sebenarnya. Mereka berjuang memenangkan pertandingan sambil berharap tidak ada yang mati saat merayakan kemenangan itu nanti.
“Kita sudah terlalu lama menderita, tapi kami tahu bahwa dengan kemenangan, kami bisa membuat rakyat Irak bahagia,” kata Younis Mahmoud, pencetak gol kemenangan.
Rakyat Indonesia juga sudah terlalu lama menderita. Tidak ada perang di sini, hanya gontok-gontokan karena pilpres dan pilkada yang tak berkesudahan. Rakyat Indonesia kering kebahagian dari sepak bola. Mudah-mudahan ini bisa jadi tambahan semangat untuk para pemain nanti.
Setahun sebelumnya, kurang babak belur apa moral para pemain Italia saat datang ke Piala Dunia 2006 akibat skandal calciopoli. Skandal yang mencoreng sepak bola Italia.
Tapi mereka berhasil menembus final menghadapi Prancis dengan mega bintangnya Zinedine Zidane. Dalam 90 menit final itu, kita tak pernah membayangkan ada kejadian brutal yang akan dikenang sejarah.
Zidane menanduk Materazzi dan dikartu merah. Di atas kertas, Zidane adalah pemain santun, cerdas, dan tak pernah aneh-aneh, tapi di lapangan Allianz Arena malam itu, apa yang kita tahu tak ada artinya.
Momen Zidane-Materazzi itu mengubah jalannya pertandingan. Prancis yang masih shock memang berhasil memaksa tos-tosan. Tapi Italia yang di atas angin memenangkannya.
“Anda tidak akan percaya saya, tapi pada momen itu, saya memahami bangganya jadi orang Italia. Sebuah kehormatan yang benar-benar tak ternilai harganya,” kata Andrea Pirlo, mengenang saat-saat sebelum dia melakukan tendangan penalti pertama di final Piala Dunia 2006.
Pirlo, dan juga pemain Italia berjuang dengan semangat lebih karena ingin mengembalikan martabat Italia, bukan hanya sepak bolanya tapi sebagai sebuah bangsa. Percayalah, kasus demi kasus yang terjadi di persepakbolaan kita beberapa tahun terakhir ini berkali lipat lebih memalukan dari calciopoli.
Calciopoli itu cuma telepon antara pejabat klub dan pejabat penugasan wasit. Sementara di sepak bola Indonesia? Tidak tega hati saya menghitung berapa nyawa yang hilang karena sepak bola kita. Memilukan sekaligus memalukan.
Harapan kita, perjuangan para pemain dalam setiap pertandingan nanti akan menempatkan sepak bola Indonesia dalam posisi yang lebih membanggakan.
Kita masih bisa berharap semangat juang yang sama, juga kebanggaan menjadi pejuang bangsa menjadi bahan bakar sepanjang setiap 90 menit nanti. Apalagi hasil latih tanding terakhir timnas terhitung lumayan.
Mempecundangi Malaysia, menahan Vietnam sehabis mereka menghajar Korea Utara, menahan Myanmar yang jadi kekuatan baru Asia Tenggara, sebelum takluk tipis dengan Vietnam di kandang mereka. Kita ternyata belum tertinggal jauh.
Inilah AFF di mana untuk pertama kalinya timnas kita ada di pot 4 pengundian grup. Bukan tim unggulan. Kita menjadi tim underdog.
Tapi kita bisa mengubahnya menjadi kuda hitam. Para pemain harus terus mengingat, bahwa tidak ada yang pasti pada setiap 90 menit nanti. Tidak sejarah pertemuan, tidak peringkat FIFA, bukan juga statistik di atas kertas.
Faktanya ada 11 pewain lawan 11 pemain. Tapi itu cuma fakta, bukan hasil akhir. Yang menentukan adalah apa yang dilakukan sepanjang waktu di antara 4 peluit wasit. Selama 2 x 45 menit itu, tidak ada hil yang mustahal.
Kami hanya bisa berharap dan berdoa. Selamat berjuang Garudaku.