Sejak 9 Oktober 2021 lalu, kontingen bulutangkis Indonesia tengah berjibaku di kota Aarhus, Denmark. Mereka turun dalam ajang dwitahunan Piala Thomas dan Piala Uber.
Sejatinya, kejuaraan ini dihelat pada tahun 2020 lalu. Namun adanya pandemi Covid-19 membuat ajang ini diundur penyelenggaraannya menjadi tahun 2021.
Usai bertanding sebanyak tiga kali di babak penyisihan, baik kontingen Piala Thomas maupun Piala Uber Indonesia berhasil melaju ke babak perempatfinal.
Hal tersebut disambut gembira oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang menggemari tepok bulu.
Saya yakin, para pembaca laman Fandom mayoritas adalah penggemar sepakbola. Namun kali ini, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat lebih jauh tentang bulutangkis.
Bicara popularitas, bulutangkis yang kerap mengharumkan nama Indonesia di level internasional pasti kalah dari sepakbola. Bahkan ketika sepakbola kita masih begitu-begitu saja.
Pada Olimpiade Tokyo 2020 lalu, ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, berhasil mengukir tinta emas dengan merebut medali emas!
Sejak Olimpiade Barcelona 1992, hanya sekali bulutangkis absen menghadiahkan medali emas bagi Negeri Pertiwi.
Hebatnya lagi, seluruh kategori dalam pertandingan bulutangkis sudah pernah menyumbangkan medali emas bagi Indonesia.
Melihat prestasi luar biasa bulutangkis Indonesia, rasanya aneh kalau perhatiannya kalah dari sepakbola.
Animo masyarakat kita memang sangat luar biasa terhadap sepakbola. Bisa dibilang, mayoritas penduduk negeri ini adalah penggila sepakbola. Dari yang mayoritas itu, cuma separuhnya yang menyukai bulutangkis.
Dilansir dari buku The Land Of Hooligans: Kisah Para Perusuh Sepakbola, sejumlah orang mengatakan bahwa permainan sebelas melawan sebelas itu telah menjadi agama di Amerika Selatan.
“Nabi-nabinya” bernama Pele dan Diego Maradona. Bahkan, di Argentina terdapat Iglesia Maradona (Gereja Maradona), sebuah ‘agama’ yang mana pengikut kultusnya berjumlah sekitar 15 ribu orang.
Sedangkan di Brasil, anak laki-laki akan dipertanyakan kebangsaannya kalau tidak bisa bermain sepakbola. Alhasil, negara yang terletak di sisi timur Amerika Selatan ini tak pernah kekurangan talenta hebat dari lapangan hijau.
Sementara di Ukraina, sepakbola adalah bagian dari apresiasi religius masyarakat. Ketika tim nasional Ukraina hendak bertanding misalnya, pemerintah secara khusus menggiring para pemain untuk berdoa khusyuk di altar selama beberapa jam, meminta kepada Tuhan agar diberikan kemenangan.
Di Iran, sepakbola dianggap sebagai penggerak sekulerisasi. Imam Khomeini adalah penguasa yang bersikeras melarang perempuan masuk stadion, apalagi bermain bola.
Akan tetapi, usaha Khomeini tetap tak mampu membendung hasrat kaum hawa yang menggemari sepakbola.
Argentina, Brasil, Ukraina, dan Iran boleh menaruh perhatiannya secara luar biasa terhadap sepakbola. Toh, prestasi mereka di kancah sepakbola terbilang baik.
Sementara kegilaan Indonesia akan sepakbola juga tak terbantahkan. Ketika sebuah tim dari suatu daerah berlaga, bisa dipastikan jalanan menjadi lengang karena banyak yang berangkat ke stadion atau menonton dari televisi di rumah maupun warung-warung kopi.
Sayangnya, sepakbola Indonesia mencuri terlalu banyak perhatian. Baik aspek positif maupun negatifnya. Bahkan untuk aspek yang disebut terakhir, jumlahnya tak terhingga.
Hal itu membuat cabang olahraga lain, seperti bulutangkis, seolah menjadi anak tiri. Padahal, kalau bicara prestasi, bulutangkis sudah ada di langit ketujuh saat sepakbola kita masih terendam lumpur.
Kala Presiden Joko Widodo melantik kabinet Indonesia Maju beberapa tahun lalu, pesan yang ia sampaikan kepada Zainudin Amali, Menteri Pemuda dan Olahraga pun sangat tersirat.
“Sepakbolanya, ya, Pak.”
Seolah-olah, hanya sepakbola saja yang patut diperhatikan dan diperkuat. Itu seperti mengkhianati cabang olahraga lain yang menyumbang banyak prestasi bagi Indonesia.
Asal tahu saja, dari segi kucuran dana, Kementerian Pemuda dan Olahraga memberikan anggaran yang lebih besar kepada federasi sepakbola Indonesia (PSSI) ketimbang federasi bulutangkis Indonesia (PBSI).
Dikutip dari Asumsi, pada Juli 2020 saja, saat Kemenpora memberikan suntikan dana bagi 14 cabang olahraga yang digunakan untuk Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON), PSSI mendapat dana paling besar.
Total PSSI kebagian fulus sebesar 50,5 miliar Rupiah dari anggaran yang diajukan sebesar 69,1 miliar Rupiah.
Dilihat dari sisi manapun, nominal itu sangatlah besar. Sedangkan PBSI cuma mendapat bantuan senilai 18,6 miliar Rupiah.
Jomplang sekali, bukan?
Ketimpangan yang nyata dan tak berimbas pada prestasi tersebut harusnya dievaluasi kembali oleh Kemenpora. Perhatian pada cabang-cabang olahraga berprestasi harusnya lebih tinggi.
Sepakbola memang populer dan seksi di mata publik dan politisi. Namun jangan anak tirikan bulutangkis yang selama ini memanggul segudang harapan Indonesia di kancah internasional.