Barcelona dan Dua Comeback Hebat Lainnya

Anda boleh menerjemahkannya dengan kata “keajaiban”. Saya lebih senang menggunakan kata “perjuangan” untuk menggambarkan para petarung lapangan hijau yang tak berhenti berlari sebelum wasit meniup peluit akhir pertandingan.

Dan dini hari (09/03) waktu Indonesia, Barcelona mengingatkan kita bahwa berjuang sampai akhir merupakan pilihan terakhir untuk menjaga maruah.

Anda tahu, tidak ada tim di Liga Champions, yang ketika sudah tertinggal 4-0 di leg pertama mampu membalikkan keadaan di leg kedua. Hingga dini hari tadi, ketika Barcelona membuat Camp Nou bergemuruh hingga pertandingan menuju pungkasan. Atau bisa juga sebaliknya, nyanyian menghentak dari bangku-bangku Camp Nou membuat dada setiap pemain Barcelona menjadi bergemuruh.

Bergemuruh, untuk memproduksi salah satu comeback terbaik sepanjang sejarah.

Andres Iniesta sudah menegaskan bahwa ketika harapan semakin tipis, untuk derajat tertentu, justru bisa membuat sebuah tim menjadi sangat berbahaya. Seperti harimau yang terpojok, yang ada dalam benaknya hanya soal bertahan hidup. Dan, penyihir dari Catalan tersebut membuktikan ucapannya.

Paris Saint-Germain membuang peluang untuk membunuh laga. Beberapa kesempatan menambah jumlah agregat tak dimaksimalkan. Barcelona sendiri tak bermain sangat istimewa, namun mereka menunjukkan gairah untuk menang. Gol Sergi Roberto di menit ke-95 menjadi pertanda bahwa Liga Champions adalah panggung drama sesungguhnya.

Defisit empat gol dibayar lunas dengan kemenangan 6-1. Agregat 6-5 untuk keunggulan Barcelona seperti mencoreng arang ke muka Unai Emery. Sebaliknya, “perjuangan” hebat ini adalah tamparan balik dari Luis Enrique kepada para haters yang mengoloknya sepanjang satu bulan ke belakang. Luar Biasa.

Namun, bukan hanya Barcelona, yang dengan gegap gempita membalikkan keadaan, dari terjepit menjadi menjepit. Remontada, berikut dua comeback dramatis, menurut saya, yang pernah terjadi di Liga Champions.

Istanbul

Liverpool dipermainkan AC Milan sepanjang babak pertama final Liga Champions 2005. Bergantian, Paolo Maldini dan Hernan Crespo membuat Jerzy Dudek memikirkan ulang kesalahan sepanjang hidupnya di bawah mistar The Reds.

Tertinggal tiga gol, Rafael Benitez melecut anak-anak asuhnya. Ia menegaskan bahwa Liverpool tak akan dibantai secara memalukan di malam yang baru beranjak sepertiga itu.

Selepasnya adalah drama. Gol cepat Steven Gerrard di awal babak kedua, tembakan keras Vladimir Smicer ke pojok gawang Dida, dan rebound penalti dari Xabi Alonso membuat pertandingan dibawa menuju perpanjangan waktu. Dua kali 15 menit selama perpanjangan waktu, Milan gagal menemukan jalan menceploskan bola ke gawang Liverpool.

Rasa getir dari fans Rossoneri sudah terasa bahkan sebelum babak adu penalti dipilih menjadi jalan akhir menentukan pemenang. “Tarian Dudek” di sepanjang adu penalti menjadi salah satu fragmen yang akan terus dikenang.

BACA JUGA:  Prakiraan Skenario Taktikal Final Liga Champions 2015

Tahukah Anda, Jerzy Dudek sudah mempelajari kebiasaan semua penendang penalti dari Milan. Namun malam itu, semua pelajarannya tak berguna. Semua penendang Milan tak melakukan kebiasaannya memilih arah. Luar biasanya, atau Anda boleh menggunakan kata “beruntung” di sini, insting Dudek justru membawanya menuju kejayaan.

Di Istanbul, Liverpool berpesta.

Raja para caretaker

Perjalanan Chelsea di sepanjang musim 2011/2012 bak rollercoaster. Sepanjang musim inilah The Blues memproduksi drama secara masif. Chelsea begitu terpuruk di hampir separuh musim ketika Andre Villas-Boas gagal menularkan pesonanya ketika menukangi FC Porto. Jose Mourinho 2.0 yang gagal ini akhir dipecat dan digantikan Roberto Di Matteo secagai caretaker.

Drama pertama tersaji ketika Chelsea ditundukkan Napoli di Naples dengan skor 1-3. Kekalahan tersebut harus dibayar oleh Villas-Boas. Pantat manajer asal Portugal tersebut tak cukup tahan dengan panasnya kursi manajer yang disediakan Roman Abramovich. Tak menemukan kandidat pelatih yang pas, Di Matteo, asisten Villas-Boas ditunjuk sebagai pelatih.

Dan, di leg kedua di London, Chelsea menyajikan drama kedua. Harus menang dengan margin dua gol, Chelsea bermain menekan. Didier Drogba dan John Terry melambungkan asal Chelsea untuk melaju ke perempat final. Namun, tendangan voli Gokhan Inler membuat Di Matteo tertunduk, sedangkan pojokan stadion tempat fans Napoli berada seperti meledak.

Pertandingan menuju 15 menit akhir ketika Super Frank Lampard menyelesaikan penalti dengan manis. Pertandingan berakhir 3-1 dan perpanjangan waktu dimulai. Kedua tim enggan bertahan dan bermain aman. Saling menyerang, hingga akhirnya Branislav Ivanovic melakukan keahilannya. Ia menyelinap di antara kerumunan pemain lawan, menyongsong bola, dan menendangnya dengan keras.

Menang dengan skor empat-satu, Chelsea melaju, Napoli tertunduk malu.

Drama ketiga terjadi di leg kedua babak semifinal, ketika Chelsea dijamu Barcelona. Tuan rumah butuh dua gol untuk lolos ke partai puncak setelah “hanya kalah satu gol” di Stamford Bridge. Sayangnya “hanya satu gol” itulah yang menjadi pembeda.

Barcelona mengurung Chelsea hampir sepanjang pertandingan. Kerja keras mereka berbuah hasil ketika Sergio Busquets lalu Andres Iniesta bergantian mencetak gol. Bahkan, Chelsea harus kehilangan dua bek tengahnya di babak pertama. Gary Cahill harus ditandu keluar karena cedera otot sedangkan John Terry, harus mandi lebih dulu karena diganjar kartu merah setelah lututnya mendarat di punggung Alexis Sanchez.

Namun, malam itu, Chelsea tak kalah bekerja keras. Gol indah Ramires di babak pertama menjaga asa The Blues tetap menyala.

BACA JUGA:  Membayangkan AC Milan Tanpa Zlatan

Camp Nou sendiri sempat kembali bergairah ketika Cesc Fabregas dijatuhkan Drogba di kotak penalti. Jika gol, Barcelona akan unggul 3-2 secara agregat. Sayangnya, malam itu Lionel Messi kehilangan sentuhan magisnya. Bukan jala, melainkan mistar gawang yang ia sasar. Penalti gagal!

Menit 90 detik 38, ketika Barcelona kehabisan akal, sebuah sapuan dari kotak penalti Chelsea membuka jalan bagi Fernando Torres. Bagai jalan tol, ia berlari lurus ke arah Victor Valdes. Menit 90 detik 42, Valdes menerjang, Torres berkelit. Gawang terbuka, menit 90 detik 43, gol tercipta.

Chelsea melaju ke partai puncak, Barcelona terdepak.

Drama keempat terjadi di partai puncak, di Allianz Arena, melawa si empunya stadion, Bayern Munchen. Laga yang hampir berjalan stagnan tersebut pecah di menit 88 ketika Thomas Muller mencetak gol. Tuan rumah sudah siap berpesta.

Tuan rumah sudah siap berpesta ketika pada menit 88 Chelsea mendapatkan sepak pojok. Bola dari sepak pojok yang diangkat Juan Mata untuk Didier Drogba sebenarnya melaju di jalur yang mudah ditebak. Bahkan, sundulan Drogba pun melaju ke arah Manuel Neuer yang berdiri di tiang dekat.

Kiper asal Jerman tersebut menunjukkan reflek sigap ketika mengangkat tangan kirinya untuk menepis bola. Namun justru itulah kesalahan yang ia buat. Sundulan Drogba melaju kencang dan tangan kiri Neuer tak cukup cekatan mencegah bola menuju jala gawang. Gol, babak perpanjangan waktu digelar.

Drogba, striker asal Pantai Gading tersebut menyandang status “hampir menjadi pesakitan”, baik ketika melawan Barcelona dan Bayern Munchen. Melawan Barcelona, ia menjatuhkan Fabregas di kotak penalti. Melawan Bayern, giliran Frank Ribery yang ia tabrak dari belakang.

Lagi-lagi, “hampir menjadi pesakitan”, penalti Arjen Robben berhasil dipeluk dengan sempurna oleh Cech. Bahkan, Drogba sendiri malah menjadi pahlawan ketika ia menentukan gelar juara Liga Champions kali pertama untuk Chelsea setelah ia sukses menaklukkan Neuer di babak adu penalti. Sebuah drama di dalam drama.

Chelsea berjaya, Bayern Munchen merana.

Comeback yang ditunjukkan Chelsea di paruh akhir musim 2011/2012 adalah sebuah penegasan, sebuah garis bawah bahwa, kerja keras, “perjuangan”, tak akan pernah mengkhianatimu.

Prestasi luar biasa yang Roberto Di Matteo torehkan membuatnya menjadi raja para caretaker. Ia membalikkan keadaan dalam waktu yang instan. Ia berhasil mengambil hati para pemain senior yang seperti mengintimidasi Villas-Boas. Drama Villas-Boas di satu laga, dituntaskan menjadi akhir manis di satu laga lainnya oleh Di Matteo.

Barcelona, Liverpool, Chelsea. Hebat!

Komentar
Koki @arsenalskitchen.