Nasib Pedagang Asongan Stadion ketika Tidak Ada Sepak Bola

Perputaran uang di industri sepak bola tidak terbatas pada soal siaran televisi, tiket masuk stadion, atau penjualan merchandise saja. Di samping tiga hal tersebut, ada beberapa contoh aktivitas perekonomian lain yang terjadi di sepak bola. Salah satunya adalah aktivitas yang digerakkan oleh para pedagan asongan di stadion-stadion.

Banyak pedagang asongan yang berharap pemasukan mereka bertambah ketika ada event besar diselenggarakan. Tak terkecuali ketika ada gelaran pertandingan sepak bola yang banyak menyedot perhatian masyarakat. Jumlah uang yang masuk ke pundi-pundi mereka dipastikan akan mengalir lebih deras dibandingkan dengan hari biasanya. Dengan adanya penundaan Liga Indonesia pada musim ini, pendapatan para pedagang asongan tersebut jelas terkena dampak yang cukup signifikan.

Pedagang asongan sebagai sumber dana klub

Hampir setiap klub Indonesia menjalin kerja sama dengan pedagang asongan. Mereka (pedagang asongan) tidak hanya membeli tiket pertandingan tapi juga membantu klub dari segi hasil penjualan. Pedagang asongan juga merasakan bahwa klub adalah milik mereka juga.

Selain membeli tiket per pertandingan, ada konsep kerjasama lain yang dijalankan, yakni dengan cara membuat biaya pendaftaran serta membayar tiket terusan untuk semusim penuh. Klub menentukan biaya pendaftaran untuk para pedagang asongan yang ingin berjualan di dalam stadion dalam satu musim. Pedagang asongan ini harus membayar biaya pendaftaran ini di muka tanpa terkecuali. Biaya pendaftaran yang dibayarkan tersebut sudah mencakup akses menonton di stadion selama semusim, kartu identitas, dan kaos atau rompi sebagai tanda pengenal lain.

Mari mencoba berhitung. Bila tiket tribun ekonomi dibanderol 40 ribu rupiah, dengan 17 kali menggelar pertandingan kandang, maka untuk tiket saja mereka harus mengeluarkan uang sebesar 680 ribu rupiah. Jumlah ini memungkinkan klub untuk membulatkan harga pendaftaran untuk setiap penjual dengan harga satu juta rupiah per kepala.

BACA JUGA:  Novan Herfiyana: Jatuh Hati Pada Pengarsipan Sepak Bola Indonesia

Bila kita merinci lebih jauh lagi, pedagang asongan tidak hanya beredar di tribun ekonomi saja, melainkan juga di tribun VIP. Harga pendaftaran pedagang asongan di tribun VIP pun bisa mencapai dua kali lipat dari harga tiket tribun ekonomi. Klub bisa mendapatkan dana awal dari pedagang asongan mencapai 100 juta rupiah. Nominal tersebut akan terlihat kecil bila dibandingkan dengan pengeluaran klub-klub Liga Super Indonesia (LSI) yang bisa mencapai 800 juta rupiah per bulannya. Namun, meski tidak seberapa, tetap saja uang yang masuk, berapapun jumlahnya, akan berkontribusi bagi perputaran keuangan klub.

Soal rentenir dan tertundanya kompetisi

Biaya yang dikeluarkan untuk pendaftaran diri mereka menjadi pedagang asongan resmi klub tidak bisa dibilang murah, apalagi bila klub memakai sistem tiket terusan. Alhasil, ketika sepak mula kompetisi sudah semakin dekat, mereka kadang harus meminjam uang kepada para rentenir yang pastinya bunga per bulan atau bahkan per harinya cukup tinggi. Harapan mereka sederhana saja. Ketika kompetisi digelar dan stadion terisi penuh, maka uang yang mereka dapat bakal melebihi hari biasanya. Selisih uang itu kemudian digunakan untuk membayar utang ke rentenir, menambah modal berjualan, dan tentunya untuk ditabung.

Konflik yang terjadi di sepak bola negeri ini membuat para pedagang asongan ikut ketar ketir. Pendapatan besar yang mereka harapkan harus tertunda entah sampai kapan. Dari beberapa pedagang yang sempat bertukar pikiran dengan saya, mereka mengaku bingung harus berbuat apa. Sebenarnya, bila kompetisi memang batal digelar, mungkin hal ini takkan terjadi. Sekarang, mereka sudah terlanjur berutang dan mempunyai tanggung jawab untuk membayarnya. Kejadian yang mirip dengan nasib para pemain di mana klub yang mengharapkan pendapatan dari tiket masuk pertandingan jadi tak punya sumber pendapatan.

BACA JUGA:  Sebuah Panggung Drama Bernama Stadion Anfield

 

Komentar