Mengenal W Series, Arena Balapnya Kaum Hawa

Persaingan Max Verstappen dan Lewis Hamilton bikin Formula 1 (F1) naik daun (lagi) musim ini. Rasanya sudah cukup lama F1 tidak dihiasi persaingan dua pembalap yang berebut titel juara dunia.

Apa lagi alasannya kalau bukan kedigdayaan Hamilton bersama tim Mercedes selama beberapa tahun terakhir?

Sejatinya, peningkatan popularitas F1 pada musim bukan cuma karena persaingan ketat yang melibatkan Verstappen dan Hamilton. Lebih dari itu, ada langkah berani dari F1, utamanya Liberty Media sebagai promotor yang mengubah branding mereka menjadi lebih inklusif.

Hal ini dilakukan buat menjaring lebih banyak penggemar, baik tua-muda, laki-laki maupun perempuan. Untuk kaum Hawa, salah satu usaha adalah menjalin kerja sama dengan kejuaraan W Series per tahun 2021 ini.

W Series merupakan sebuah ajang balap kursi tunggal independen diikuti oleh para pembalap perempuan. Dari 22 seri balap F1, W Series dilombakan pada 8 seri yaitu Austria, Styria, Inggris, Hungaria, Belgia, Belanda, dan sepasang lomba di Amerika Serikat.

Balap W Series diselenggarakan pada hari Sabtu sore waktu setempat, tepatnya setelah babak kualifikasi F1 dengan babak kualifikasi dijalankan pada hari Jumat setelah sesi Latihan Bebas Kedua balap F1.

Sebetulnya, bagaimana awalnya ide mengadakan ajang balap khusus perempuan bisa muncul ke permukaan?

Sejak dahulu, ajang olahraga balap didominasi oleh atlet laki-laki. Dari sekitar 700-an pembalap yang pernah berlaga di F1, hanya dua yang merupakan perempuan.

Dua perempuan hebat tersebut adalah Maria Teresa de Filippis yang melakoni 3 start balap F1 dalam kurun waktu tahun 1958 hingga 1959.

Selanjutnya adalah Lella Lombardi yang menjalani 12 start dalam kurun waktu tahun 1974 hingga 1976. Lombardi menjadi pembalap perempuan terakhir yang membalap di F1 dan mencetak poin.

Catatan tersebut ia bukukan di GP Spanyol, tepatnya di Sirkuit Montjuic. Dalam balapan tersebut, perempuan kelahiran tahun 1941 itu mampu mengakhiri balapan di posisi 6 dan berhak mengoleksi 0,5 poin karena balapan harus dihentikan pada lap ke-25 akibat insiden.

Balapan F1 terakhir Lombardi dijalani di GP Austria pada musim 1976. Semenjak itu, tak ada satupun pembalap perempuan yang mampu merasakan pengalaman balapan penuh di F1.

Paling banter, ada tiga nama pembalap perempuan yang mengikuti tes atau sesi latihan bebas. Mereka adalah Divina Galica pada tahun 1976 dan 1978, Desire Wilson pada tahun 1980, dan terakhir Giovanna Amati pada tahun 1992.

Itu artinya, sudah lebih dari 45 tahun tidak ada perempuan yang melakukan balapan penuh di ajang F1. Oleh sebab itu, ide membentuk W Series diwujudkan pada akhir 2018.

Substansi lainnya yang ingin diwujudkan adalah keinginan banyak pihak untuk mempercepat realisasi Sustainable Development PBB yang dicanangkan pada 2015 silam.

Dalam poin nomor lima, diharapkan bahwa kesetaraan gender, termasuk dalam bidang olahraga, sudah terwujud pada tahun 2030 mendatang.

Pebisnis asal Skotlandia, Sean Wadsworth, adalah investor dana terbesar untuk W Series yang diestimasikan menelan bujet mencapai 25 juta Dolar AS per tahunnya.

BACA JUGA:  Eksistensi Persis dalam Pusaran Sepakbola Indonesia

Di tahun kedua, W Series telah berhasil menarik sponsor-sponsor ternama seperti Puma, Heineken, Hankook, Rokit, Acronis, dan Ferrari Trento.

W Series menjunjung tinggi kesetaraan antar kompetitor, hal ini dibuktikan dengan diterapkannya regulasi spek mobil yang seragam (Tatuuss F3 T-318, setara dengan spesifikasi mobil Formula 3).

W Series juga tidak memungut biaya dari pembalap yang mengharuskan mereka punya sokongan sponsor kuat. Proses masuk ke W Series sendiri melalui seleksi ketat yang dilakukan oleh legenda F1, David Coulthard, desainer mobil Red Bull Racing, Adrian Newey, dan Dave Ryan, eks direktur McLaren.

Setelah proses seleksi, W Series diikuti oleh 20 pembalap dari seluruh penjuru dunia, dengan peraih peringkat 1-8 berhak lolos langsung tanpa seleksi untuk membalap pada musim depan.

Sistem penilaian poin di W Series sama dengan yang ada di F1. 25 poin untuk peringkat satu, 18 poin bagi peringkat dua, 15 poin kepada posisi tiga, dan seterusnya dengan pembalap yang finis di posisi 10 beroleh 1 poin.

Pembalap dengan poin terbanyak secara akumulatif akan dinobatkan sebagai juara dunia di akhir musim. Terdapat perbedaan dalam durasi balapan dengan F1.

Pada satu sesi balap ajang ini hanya dilakukan selama 30 menit ditambah satu putaran. Musim penuh W Series pertama kali diselenggarakan pada 2019 lalu.

Saat itu, W Series terlebih dahulu menginduk ajang Deutsche Touring Masters (DTM) sebelum menjalin kerja sama dengan F1.

Pembalap beruntung yang merasakan mahkota juara W Series untuk pertama kalinya adalah Jamie Chadwick, pembalap Inggris yang pada saat itu baru menginjak 21 tahun.

Kala itu, Chadwick tampil dominan dengan catatan lima kali podium dari total enam seri, dengan dua di antaranya berupa kemenamgan.

Pembalap berdarah campuran Inggris-India itu unggul 10 poin atas rival terdekatnya asal Belanda, Beitske Visser, yang berada di peringkat kedua.

W Series gagal dilangsungkan pada 2020 sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang pada saat itu pengendaliannya masih carut marut dan ditambah belum ditemukannya vaksin.

Anjloknya ekonomi global juga memengaruhi skala prioritas pemangku kepentingan sehingga W Series vakum sejenak. Untungnya, ajang ini dapat kembali dilangsungkan setelah 2021.

Terlebih, kini W Series mendapatkan dukungan dari F1 sehingga eksposur yang didapat menjadi semakin persisten.

Seperti halnya kejuaraan F1 yang berjalan seru di mana Verstappen dan Hamilton saling berkejaran serta berebut posisi puncak klasemen, situasi serupa terjadi di W Series.

Sang juara bertahan, Chadwick, masih bertarung ketat dengan Alice Powell untuk mendapatkan trofi juara dunia. Jika Verstappen dan Hamilton terpaut enam poin di klasemen sementara, Powell dan Chadwick kini membukukan jumlah poin yang sama yakni 109 poin dengan hanya dua balapan tersisa!

Hadiah yang diberikan jika berhasil menjadi juara W Series adalah uang sebesar 500 ribu Dolar AS.

Akan tetapi, ada hal yang lebih besar dibandingkan dengan perkara uang semata, yaitu poin super license yang menjadi syarat untuk berkompetisi di F1, ajang yang dianggap sebagai acuan bagi setiap kejuaraan balap mobil formula di seluruh dunia.

BACA JUGA:  Tepuk Tangan bagi Andre Schurrle

Untuk bisa membalap penuh dibutuhkan 40 poin super license, sedangkan untuk mengikuti sesi latihan bebas, diperlukan 25 poin super license. Jika memenangi kejuaraan dunia W Series, pembalap akan memperoleh 15 poin super license. Sedangkan untuk posisi kedua dan ketiga, masing-masing pendapatkan 12 dan 10 poin super license.

Memerhatikan regulasi tersebut, bisa dikatakan Chadwick adalah sosok yang bisa mewujudkan kehadiran perempuan di ruang kemudi mobil F1 setelah lebih dari empat dekade

Pasca-juara W Series pada 2019, Chadwick telah mengantongi 15 poin super license. Andai pembalap tim Veloce Racing itu menduduki peringkat ketiga saja pada W Series musim ini, ia sudah bisa mengikuti sesi latihan bebas F1.

Terlebih, Chadwick saat ini juga menjalani peran pembalap pengembang untuk tim F1 asal Inggris, Williams. Melihat situasi tersebut, agaknya kursi F1 saat ini lebih dekat dengan Chadwick dibandingkan dengan pembalap W Series lainnya.

Walaupun secara realistis, F1 masih sulit digapai, para peserta W Series dapat memamerkan kemampuannya dan mendapatkan akses untuk ikut serta di berbagai ajang balap.

Meskipun dengan jelas menghadirkan dampak yang nyata bagi terwujudnya keadilan gender di ajang olahraga, kehadiran W Series pada awalnya sempat dihujani banyak kritik, bahkan dari perempuan yang berkecimpung di dunia balap.

Nama-nama seperti Pippa Mann, pembalap Indy Car asal Inggris, dan Claire Williams, eks Team Principal Williams F1, menganggap ajang ini adalah wujud keputusasaan karena melanggengkan segregasi gender yang makin menegaskan jika perempuan tidak bisa bertanding di kompetisi yang sama dengan laki-laki.

Kendati pada akhirnya, Williams menarik ucapannya tersebut dan merekrut Chadwick sebagai pembalap pengembang.

Hal ini sendiri ditanggapi dengan dingin oleh CEO W Series, Catherine Bond Muir, yang menganggap jika sistem yang sudah lama eksis tidak menyediakan banyak ruang bagi perempuan untuk terjun ke kolam yang lebih besar.

Selain itu, dengan adanya kompetisi yang berkelanjutan dan stabil secara finansial seperti W Series, pembalap perempuan bisa merasakan ketatnya kompetisi dan intensitas latihan yang selevel dengan pembalap laki-laki, sehingga kesenjangan gender bakal semakin memudar.

Dengan pesan subliminal yang kuat ditambah dengan eksposur yang memadai, W Series bisa memberikan dampak kultural yang komprehensif pada seluruh dunia.

Khususnya pada anak-anak perempuan yang ikut menyaksikan balap bersama dengan ayah dan saudara laki-laki mereka di sudut kota New Delhi, Nagoya, atau Buenos Aires.

Mereka pada akhirnya menyadari jika terdapat probabilitas yang nyata untuk berlomba seperti Michael Schumacher, Hamilton, atau Sebastian Vettel.

Eksistensi pembalap-pembalap perempuan dalam grid balapan juga bisa menyingkirkan stigmatisasi buruk, semisal, perempuan tidak becus menyetir, atau stereotipe “sein kanan tapi belok kiri”.

Kini, seluruh dunia akan tahu jika perempuan juga mampu mendemonstrasikan seni dari balik kemudi. Ya, hitung mundur menuju hari-hari baru itu sudah makin dekat.

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06