Mateo Kovacic: Si Bocah Ajaib dan Kenangan Pro Evolution Soccer

Merasa lelah sepulang kuliah dan setumpuk tugas di dalam ransel bikin saya penat bukan kepalang. Keadaan itu membuat game Pro Evolution Soccer (PES) 2013 jadi sarana untuk melampiaskan segalanya. Bermain Master League dengan menggunakan klub favorit, Chelsea, seorang diri di kamar kos sembari mengutak-atik transfer pemain adalah kebahagiaan tak terperi.

Setiap menyelesaikan beberapa musim dan meraih begitu banyak gelar, saya lantas mengulang kembali dari awal. Namun demikian, ada satu hal yang selalu saya lakukan yakni merekrut gelandang Kroasia yang saat itu dimiliki Internazionale Milano, Mateo Kovacic.

Melihat Kovacic berseragam The Blues adalah impian bagi saya sehingga tiap kali bermain PES, memboyongnya merupakan kewajiban. Terlebih kemampuannya di game tersebut memang pilih tanding. Namun seperti yang biasa terjadi, Tuhan selalu punya rencana tak terduga. Berawal dari impian gila tersebut, Kovacic akhirnya benar-benar memperkuat Chelsea di dunia nyata.

Di musim 2018/2019 yang lalu, pemain berjuluk The Professor tersebut bergabung ke Chelsea dengan status pinjaman dari Real Madrid. Saya percaya bahwa sosok yang kini berumur 25 tahun itu akan berguna untuk kampanye The Blues.

Sebelum angkat nama sebagai pesepakbola profesional, Kovacic kecil pernah mendapat pengalaman kurang mengenakkan. Pada suatu laga yang dilakoni Liverpool di Kroasia, Kovacic ditunjuk sebagai salah satu ball boy. Di pengujung laga, ia mendekati Steven Gerrard untuk berfoto dan meminta kaus sang pemain. Sayangnya, legenda The Reds itu mengabaikan Kovacic sehingga ia menangis.

Bakat ciamik Kovacic sudah tercium sedari belia. Ketika berumur 13 tahun, ia bergabung dengan akademi Dinamo Zagreb. Tiga tahun belajar di akademi, kemampuan Kovacic makin terasah dan manajemen klub menariknya ke tim senior pada tahun 2010. Asyiknya lagi, Kovacic sempat beroleh ilmu dari gelandang elegan Kroasia, Luka Modric, yang medio 2003-2008 mengenakan kostum Dinamo sebelum hijrah ke Inggris guna membela Tottenham Hotspur pada 2009.

Di tim senior Dinamo, ada banyak hal yang sukses digapai Kovacic semenjak melakukan debut. Mulai dari status kapten termuda sepanjang sejarah klub, pencetak gol termuda dalam histori Liga Kroasia, menyabet gelar Croatian Football Hope of The Year pada 2011, hingga merengkuh tiga trofi Liga Kroasia dan sepasang Piala Kroasia.

BACA JUGA:  Donnarumma dan Momentum Miliknya

Catatan apik tersebut lantas menggoda Inter yang rela merogoh kocek sebesar 15 juta euro untuk mendaratkannya ke kota Milan. Di sana, ia mewarisi nomor punggung 10 yang sebelumnya digunakan gelandang genius asal Belanda, Wesley Sneijder.

Performa yang ditunjukkan Kovacic bareng I Nerazzurri sebetulnya tidak buruk. Dirinya bahkan melejit sebagai salah satu motor utama permainan tim dari lini tengah. Namun fase transisi yang dijalani setelah Massimo Moratti melepas kepemilikan tim kepada Erick Thohir, bikin aksi-aksi Inter di atas lapangan tampak semenjana.

Deraan problem finansial memaksa Inter untuk melego Kovacic pada 2015. Biaya senilai 29 juta euro menjadi mahar yang dikeluarkan Madrid untuk mendapatkan tanda tangannya. Seperti yang kita ketahui bersama, di ibu kota Spanyol, kendati tak selalu jadi pilihan utama, Kovacic memanen banyak gelar. Masing-masing berupa sebiji titel La Liga dan Piala Super Spanyol, sepasang trofi Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub serta tiga buah Liga Champions.

Walau demikian, Kovacic tak sepenuhnya bahagia sebab jatah bermainnya selama membela panji Los Blancos amat terbatas. Kondisi itulah yang menggiringnya pada opsi dipinjamkan ke Chelsea.

Keputusan hengkang ke Stadion Stamford Bridge ternyata tepat. Di bawah arahan Maurizio Sarri musim lalu, Kovacic menjadi bagian integral tim. Presensinya di sektor tengah bersama dengan Ross Barkley, Jorginho, N’Golo Kante, dan Ruben Loftus-Cheek amat krusial.

Kovacic sendiri berlaga di lebih dari 40 partai sepanjang musim lalu dan menghadiahkan gelar Liga Europa kedua sepanjang sejarah untuk The Blues.

Namun berbeda dengan saya yang menempatkannya sebagai gelandang sayap kiri di game PES 2013 karena memiliki kecepatan dan akselerasi lari mengagumkan serta akurasi umpan yang brilian sehingga mudah menyayat lini pertahanan lawan, Sarri menurunkan Kovacic di posisi terbaiknya, gelandang tengah.

BACA JUGA:  Akhir Kisah Larry Bird

Masuknya Frank Lampard sebagai juru taktik anyar menggantikan Sarri jelang bergulirnya musim 2019/2020, tak menggoyahkan posisi Kovacic. The Blues bahkan bersedia mempermanenkannya via tebusan senilai 40 juta paun pada bursa transfer musim panas lalu.

Oleh sang legenda hidup, Kovacic dijadikan sebagai pengendali ritme permainan dari sektor tengah. Baik saat Chelsea turun dengan formasi 4-2-3-1 maupun 4-3-3.

Ditambah kemampuannya untuk lepas dari tekanan lawan saat membawa bola, Kovacic memang figur ideal yang dibutuhkan Chelsea buat mendistribusikan bola seraya menginisiasi serangan.

Berdasarkan statistik yang dihimpun dari WhoScored, Kovacic punya rataan 57.2 umpan per pertandingan dengan rasio umpan sukses mencapai 90.2 persen. Sebuah bukti kecil bahwa kehadirannya di lini tengah Chelsea begitu penting.

Banyak yang menganggap Kovacic adalah penerus ideal Modric yang makin uzur. Kendati begitu, ada segudang hal yang mesti ia tingkatkan untuk menyamai atau bahkan melampaui kapabilitas sang senior. Andai mampu melakukannya, label bocah ajaib yang pernah disematkan kepada Kovacic oleh publik Kroasia dan mantan pelatih di tim nasional U-17, Martin Novoselac, memang tepat.

Musim ini, Chelsea belum memperlihatkan performa brilian. Ciamik di satu laga tapi amburadul di laga selanjutnya bikin The Blues kesulitan bersaing meski hingga hari ini (10/1), mereka masih berdiri di peringkat empat klasemen sementara Liga Primer Inggris.

Selain pembenahan dari Lampard, klub yang berdiri tahun 1905 ini juga butuh aksi lebih impresif dari Kovacic beserta rekan setimnya guna mengamankan tempat di empat besar atau bahkan melaju jauh di fase gugur Liga Champions.

Lebih jauh, jika sanggup membawa The Blues merengkuh silverware, tentu kenangan game PES 2013 yang gemar saya mainkan dulu akan terasa semakin paripurna karena Kovacic melakukannya lagi di dunia nyata.

Komentar
Andi Ilham Badawi, penikmat sepak bola dari pinggiran. Sering berkicau di akun twitter @bedeweib