AC Milan: Setan Merah yang Bangkit dari Keterpurukannya

Tatkala bicara tentang AC Milan selama satu dekade ke belakang, rasanya mudah bagi kita untuk bersepakat bahwa mereka tengah ada di periode semenjana.

Minim prestasi, tak lagi jadi langganan papan atas Serie A, sedikitnya pemain bintang berkualitas di skuad, hobi menggonta-ganti pelatih, kebijakan transfer yang bikin dahi berkernyit, persoalan finansial, dan hukuman Financial Fair Play (FFP) jadi sesuatu yang sangat akrab bagi Milanisti.

Wajar kalau banyak pendukung I Rossoneri yang geram dengan klubnya. Namun rasa cinta yang teramat besar membuat mereka bertahan dengan kesetiaan.

Dahulu, mendukung Milan dikarenakan trofi yang datang saban musim atau jejeran penggawa bintangnya. Kini dukungan untuk Milan dilakukan fans supaya tim kesayangannya segera bangkit.

Milanisti boleh menepuk dada sebab tim kesayangannya punya koleksi tujuh gelar Liga Champions. Namun di hati yang terdalam, mereka pasti kecewa sejadi-jadinya karena lebih dari setengah dekade terakhir, Milan tak pernah lagi mentas di ajang tersebut sehingga anthem Liga Champions tak pernah mereka dengar sekaligus dendangkan. Sialnya, anthem itu malah rajin terdengar di Stadion Etihad atau Stadion Gewiss Arena yang tak memiliki tradisi kuat di Liga Champions.

Milanisti juga sempat dibawa terbang ke langit manakala pengusaha asal Cina, Yonghong Li, melakukan akuisisi klub dari tangan Silvio Berlusconi. Di tengah krisis yang dialami I Rossoneri, Li datang dengan belasan pemain baru berbanderol mahal. Tanda pagar #WeAreSoRich pun mengemuka saat itu.

Diyakini, Milan akan bangkit dalam tempo cepat di tangan Li. Namun apes, harapan yang sempat melambung tinggi itu terbanting keras ke tanah. Li hanyalah pengusaha bodong yang tak punya uang.

Duit yang ia gunakan untuk mengakuisisi klub berasal dari utang. Ditambah dengan aksi jor-joran dalam membeli pemain baru, bikin situasi keuangan Milan semakin parah.

Alih-alih jadi kebanggaan, tanda pagar #WeAreSoRich yang keburu beken di media sosial bak senjata makan tuan bagi Milanisti. Mismanajemen yang dilakukan Li malah membuat Milan terjerembab dan tak kompetitif.

BACA JUGA:  Menghapus Keraguan di Bahu Paulo Fonseca

Jangankan memenangkan pertandingan, bisa meraih hasil seri saja sudah amat disyukuri. Rasanya, tak ada Milanisti yang tak misuh-misuh saat menyaksikan klub kesayangannya bermain saat itu. Mereka pun sering diledek oleh fans-fans rival.

Dalam tempo singkat, kepemilikan Milan juga berpindah tangan. Dari tangan Li ke tangan sang pemberi pinjaman, Elliott Management. Ada bermacam kekhawatiran yang menggelayuti benak Milanisti saat itu. Namun asa melihat I Rossoneri bakal membaik peruntungannya selalu hidup di dada.

Masuknya Ivan Gazidis, Paolo Maldini dan Paolo Scaroni ke dalam manajemen klub di bawah kontrol Elliott Management, rupanya membawa perubahan cukup signifikan. Wajah murung Milan mulai menghilang, berganti dengan rona gembira.

Saya sendiri heran, kaki Milan yang sebelumnya pincang, sekarang mulai nyaman digunakan berjalan. Bahkan, Milan sudah berupaya berlari dengan cukup kencang.

Gazidis, Maldini, dan Scaroni bukanlah penyihir dengan ilmu sundul langit, tetapi ketiganya justru membuat perubahan nyata dan cepat di tubuh klub. Ditambah lagi, ada Stefano Pioli yang tak kesulitan memaksimalkan kemampuan seisi skuad.

Transfer Zlatan Ibrahimovic, Simon Kjaer dan Alexis Saelemaekers adalah perjudian paling menarik dari pihak manajemen. Nama pertama menghadirkan aura kuat yang mengubah mentalitas. Dari yang sebelumnya lembek, kini tangguh dan mau bertarung sampai detik terakhir laga. Sementara nama kedua merupakan upgrade yang bagus untuk lini pertahanan sekaligus tandem sang kapten, Alessio Romagnoli. Sekarang, lini belakang I Rossoneri jadi lebih solid. Terakhir, Saelemakers memberi warna baru bagi lini tengah Milan sebab ia serbabisa, khususnya dalam menyisir area sayap.

Set play ala Pioli yang mulai dipahami pemain adalah hal yang patut disyukuri. Mereka yang sebelumnya main biasa-biasa saja seperti Hakan Calhanoglu dan Franck Kessie, sekarang makin bersinar. Pun dengan Ismael Bennacer, Theo Hernandez, Rafael Leao, dan Ante Rebic. Semuanya beraksi dengan nyaman dalam skema andalan Pioli. Lebih jauh, rekrutan anyar seperti Diogo Dalot dan Brahim Diaz juga tak kesulitan beradaptasi.

BACA JUGA:  Newcastle United Menyongsong Era Baru

Inkonsistensi yang sebelumnya jadi sahabat karib, kini pergi menjauh. Ia digantikan oleh konsistensi yang membuat Milan kini jadi satu-satunya tim yang tak pernah disentuh kekalahan dalam kurun 23 pertandingan, baik di kancah domestik maupun regional.

Hebatnya, korban keganasan Ibrahimovic dan kawan-kawan adalah tim yang selama ini disebut lebih baik dari mereka seperti AS Roma, Inter Milan, Juventus, dan Lazio.

Keadaan ini pun menghadirkan cocoklogi dari media. Saat menjadi raja Italia pada musim 1950/1951, 1954/1955, 1992/1993 dan 1995/1996, catatan yang diukir Milan sama persis dengan sekarang. Hal ini pun meletupkan asa bahwa di pengujung musim 2020/2021 mendatang, I Rossoneri bakal kembali menahbiskan diri sebagai yang terbaik di Negeri Spaghetti.

Banyak yang menganggap kalau Milan saat ini begitu Ibrahimovic-sentris. Namun ini tidak sepenuhnya tepat karena rataan poin yang mereka dapat tanpa sang megabintang, Milan mencatat enam kemenangan dan tiga kali seri dengan rerata 2,33 poin per laga. Ketika Ibrahimovic merumput, rataan tersebut meningkat jadi 2,55 poin per pertandingan. Seperti itulah data statistik yang dihimpun SportMediaset.

Musim 2020/2021 memang belum setengah jalan. Masih ada rute panjang yang kudu dilalui Milan guna meraih sesuatu. Potensi tersandung pasti ada, tetapi potensi untuk gacor terus juga terbuka lebar.

Satu yang pasti, capaian I Rossoneri sejauh ini tak boleh disepelekan. Semua itu muncul berkat perubahan yang memang terjadi di dalam tim. Maka Milanisti di manapun berada tak sepatutnya pesimis karena peluang buat sukses selalu tersedia. Semoga saja, semesta tetap mendukung Si Setan Merah bangkit dari keterpurukannya dan menghukum para pencela.

Komentar
Penggemar sepakbola yang dapat disapa via akun Twitter @arifnh29