Jose Mourinho melakukan perubahan terhadap skema intinya. Untuk pertama kalinya, Jesse Lingard dan Henrikh Mkhitaryan dimainkan sejak awal. Kedua pemain ini dimainkan di sisi sayap, membentuk trio gelandang serang bersama Wayne Rooney, yang seperti biasa, bermain di belakang Zlatan Ibrahimovic, no. 9 MU.
Di belakang 3 gelandang serang, Paul Pogba berpartner bersama Marouane Fellaini membentuk poros ganda di depan lini belakang yang terdiri dari Antonio Valencia dan Luke Shaw di sisi kanan-kiri menjepit duo bek tengah, Eric Bailly dan Daley Blind.
Pep sendiri memainkan bentuk dasar 4-3-3. Bacary Sagna dan Alexandr Kolarov menjepit duet John Stones dan Nicolás Otamendi di lini belakang. Di depan lini belakang, Fernandinho berperan sebagai no. 6 mendukung duo David Silva dan Kevin De Bruyne.
Di area sayap, Nolito dimainkan sebagai gelandang kiri dan Raheem Sterling di gelandang kanan. Di depan, Kelechi Iheanacho terpilih sebagai penyerang tunggal menggantikan Sergio Aguero yang berhalangan.
Dominasi City di babak pertama jelas sangat menarik perhatian. Pep bertandang ke Old Trafford yang menjadi salah satu laga tandang terberat tim asuhannya. Menghadapi Jose Mourinho, yang dikenal sebagai pakar permainan rapat, The Citizen sangat mampu menampilkan superioritas taktik.
Bagaimana Manchester Biru bisa menampilkan permainan dominan dan mengantarkan mereka unggul dengan dua gol merupakan fokus analisis kali ini. Silakan.
Fase pertama build-up Manchester City: Claudio Bravo
Mourinho memainkan pressing blok tinggi dengan sistem penjagaan yang berorientasi kepada pemain lawan. Di lini pertama pressing Manchester United kebanyakan mereka memainkan pola pressing 3 pemain depan. Kenapa? Sebab utamanya adalah orientasi kepada pemain lawan yang menyebabkan hal ini.
Contoh, saat City melakukan build-up dari lini belakang (fase pertama), Fernandinho turun sejajar dengan duo bek tengah, Stones serta Otamendi, untuk membentuk pola 3 bek. Dalam situasi seperti ini, Pogba/Rooney akan menempel Fernandinho, sementara Rooney/Lingard-Ibra berorientasi kepada kedua bek tengah.
Sistem penjagaan semacam ini mempersulit tim pemegang bola untuk berprogres. Di sinilah Bravo hadir dan memperlihatkan kenapa Pep membutuhkan tenaganya. Kemampuan olah bola Bravo merupakan keunggulan utamanya yang dibutuhkan Pep. Lihat diagram di bawah.
Bola berada di kaki Stones. Sebelum bek tengah bekas Everton tersebut mengoper kepada Bravo, situasi di lapangan adalah 3v3. Tidak ada kesempatan berprogres dengan nyaman bagi City. Bravo kemudian bergerak dari garis gawang menciptakan jalur umpan bagi Stones. Ketika kemudian Bravo menerima bola dari Stones, ada 2 hal yang terjadi.
Pertama, The Citizen mendapatkan superioritas kuantitatif (4v3). Hal kedua, ia membebaskan Fernandinho dari pressure Rooney, karena sang kapten United memilih melakukan pressure kepada Bravo. Hal positif lainnya, posisi Bravo terhadap Fernandinho berada dalam garis diagonal. Konfigurasi ini membuat posisi tubuh Fernandinho ketika menerima umpan tidak sepenuhnya membelakangi gawang lawan.
Dengan tidak sepenuhnya membelakangi gawang lawan, gelandang Brasil tersebut dapat memonitor area yang lebih ke depan. Dengan inisiatif Bravo, City dapat berprogres dengan menggunakan Fernandinho sebagai akses vertikal.
Di lain kesempatan, adalah Silva atau Bruyne yang turun ke area no. 6 (area gelandang bertahan) menjadikan diri mereka sebagai akses vertikal, terutama, ketikaFernandinho tidak mendapatkan ruang umpan yang ideal. Pemain-pemain City begitu cair dalam melakukan permutasi yang sedikit-banyak mengganggu stabilitas posisional para pemain Manchester Merah.
Sebagai tambahan, untuk lebih jelasnya apa itu kiper tipe A (anticipation), bisa dibaca di sini.
Fase 2 serangan City: overload satu sisi untuk menghajar sisi lain
Maju ke fase kedua. Bila mendapatkan kesempatan progres “bersih”, pemain-pemain City tentu akan melakukan umpan vertikal ke area depan demi secepatnya mencapai kotak penalti lawan. Tetapi bila tidak, bek sayap menjadi alternatif progres bola.
Hal yang menarik di sini, sesuatu yang Pep juga sudah sering mempraktikannya di Bayern dan Barcelona, adalah overload (menempatkan sejumlah pemain ke area tertentu demi mendapatkan superioritas jumlah atau superioritas posisional) di satu sisi untuk kemudian memindahkan bola ke sisi atau area lain.
Taktik Semacam ini sangat mungkin merusak atau paling tidak menggoyahkan kompaksi (kerapatan) horizontal di dalam struktural blok lawan. Saat tim bertahan, dalam hal ini Red Devils, berfokus ke sisi kiri, kemudian tim menyerang melakukan perpindahan ke sisi seberang, biasanya, bila pergeseran horizontal yang dilakukan kurang berjalan stabil, akan ada ruang horizontal yang tercipta antara pemain sayap dengan pemain sisi tengah atau di antara pemain-pemain tengah sendiri.
Gol kedua menjadi contoh sempurna. Otamendi memindahkan bola dari sisi kiri ke sisi kanan kepada Bacary Sagna. Kemudian, bola diteruskan kepada Sterling. Perhatikan ketika Sterling bergerak masuk (inversi) ke half-space kanan dan menjelang dirinya memberikan umpan terobosan kepada Iheanacho, terlihat ruang horizontal yang cukup besar antara Fellaini dan Pogba.
Celah ini dimanfaatkan Sterling dan Iheanacho untuk melakukan penetrasi ke kotak 16 MU. Penetrasi kedanya memang gagal, tetapi kemudian, bola diambil alih oleh Kevin De Bruyne yang berujung pada gol kedua Manchester City.
Selain switch dari satu sayap ke sayap lain, pemain-pemain City juga mengkombinasikannya dengan perpindahan bola dari salah satu sayap ke area tengah. Biasanya, Bruyne atau Iheanacho yang menempatkan diri di celah antarlini pertahanan MU dan menjadi target umpan.
Dari skema semacam ini, City beberapa kali mendapatkan kesempatan menciptakan superioritas kualitatif. Momen di menit 29 salah satunya. Begitu Bruyne menerima umpan di zona 14, dengan segera terlihat situasi 3v3. Bruyne memberikan umpan kepada Sterling. Beruntung bagi MU, karena Daley Blind sukses menggagalkan fase penciptaan peluang. Ia sukses memotong umpan Sterling ke area berbahaya di kotak 16.
Peran bek tengah dalam progres serangan
Selain bek sayap, Pep juga menginstruksikan bek tengahnya untuk maju ke depan, hingga sepertiga akhir. Tidak ubahnya seperti libero di era klasik. Dunia sepak bola modern sempat mengenalnya dengan nama box to box central defender. Baik Otamendi maupun John Stones memerankan tugas ini dengan baik. Belum sedahsyat David Alaba, tetapi apa yang keduanya lakukan sangat membantu progres serangan.
Pergerakan bek tengah ini turut menggoyahkan kestabilan lini tengah United. Kenapa? Karena ketika bek tengah pembawa bola mendekati sepertiga awal MU, sering kali tanpa ada kawalan/gangguan berarti dari Rooney/Ibrahimovic.
Kebebasan semacam ini membuat bek tengah yang dimaksud mendapatkan banyak waktu dan ruang untuk memilih opsi terbaik. Pemain-pemain di lini tengah MU yang menyadari hal ini, mau tidak mau, harus melakukan pressure kepada si bek tengah, yang pada gilirannya, menyebabkan terbukanya celah horizontal.
Di beberapa situasi, kondisi ini menjadi makin buruk bagi MU ketika, dengan timing yang tepat, Iheanacho atau siapa pun yang berada di pos 9 (pos penyerang) bergerak turun ke area 10 yang memancing pergerakan salah satu bek MU untuk mengikutinya.
Terpancingnya pemain belakang MU dalam situasi ini membuat celah di lini belakang pun ikut terbuka. Beberapa kali pemain-pemain City melepaskan umpan terobosan ke celah antara bek tengah dan bek sayap melalui skema serupa.
Catatan buat The Special One, ia harus memperbaiki backward-pressing (gerak press dari pemain di area atas ke area lebih bawah) pemain-pemain depannya. Karena “ketiadaan” backward pressing sangat berpotensi memberikan kesempatan bagi no. 6 atau bek-bek lawan untuk berkreasi di separuh pertahanan MU dan menyebabkan banyak kekacauan di area krusial.
Menunda progres demi memancing pressure lawan
Satu fitur lain, yang juga selalu ada dalam Juego de Posicion (JdP) Pep, adalah memancing pressure lawan. Taktik ini digunakan oleh Pep demi merusak bentuk lawan yang tadinya kompak di blok rendah. Pemain-pemain City tidak ragu untuk praktikan hal ini, bahkan, ketika bola sudah berada di sepertiga akhir dekat dengan kotak penalti.
Bila akses “bersih” tidak ditemukan, dari sepertiga akhir pemain-pemain City akan melakukan umpan balik hingga ke sepertiga awal dan kembali melibatkan Bravo demi menciptakan situasi menang jumlah 4v3. Fernandinho, Stones, Otamendi, dan bek sayap sisi bola menghadapi trio Rooney, Ibra, dan salah satu dari Miki atau Lingard.
Dengan mengundang para pemain MU untuk melakukan pressing blok tinggi, tentu akan ada celah baru (dan lebih besar) yang tercipta ketimbang mereka memaksakan diri mensirkulasi bola di saat tim asuhan Mounrinho tersebut sudah berada dalam blok rendah dengan level kompaksi tinggi.
Walaupun ide di balik taktik ini sangat baik, tetapi kekurangan masih terobservasi. Terutama ketika, beberapa kali, Fernandinho yang menjadi free-player gagal melakukan progres karena ia memutuskan melakukan umpan ke belakang atau umpan lateral.
Faktor-faktor di atas menjadi alasan kenapa City terlihat nyaman dalam bermain, lepas dari blunder yang dilakukan Bravo, dengan dominasi yang masif. Babak pertama menjadi milik mereka. Ditambah lagi Henrikh Mkhitaryan dan, utamanya, Jesse Lingard yang tidak optimal, dominasi City menjadi semakin mengkhawatirkan pendukung MU.
Babak kedua
Mourinho melakukan perubahan. Lingard dan Miki ditarik keluar, digantikan oleh Ander Herrera dan Markus Rashford. Perubahan ini mendorong Pogba ke pos 10. Kehadiran Rashford ditambah kekuatan fisik dan teknik individual Pogba, serangan serta pressing MU sedikit demi sedikit mengurangi dominannya City.
Pep kemudian melakukan beberapa perubahan. Fernando masuk menggantikan Iheanacho. Pemain Brasil ini bermain di gelandang tengah, demi mengurangi kekuatan MU di sisi tengah. Kemudian, Pep memasukan Leroy Sane menggantikan posisi Sterling.
Semakin agresifnya United menyerang, membuat City mendapatkan beberapa kesempatan serangan balik. Agresivitas MU membantu City mendapatkan banyak situasi menang jumlah 3v2 atau 3v1 yang membuat mereka mampu melakukan perpindahan dan serangan balik cepat. Beberapa di antaranya terlihat menjanjikan, tetapi sayangnya, gagal dimaksimalkan menjadi gol.
Kesimpulan
Seperti yang tertulis di dalam pratinjau sebelumnya, siapa yang mencetak gol lebih banyaklah yang menjadi pemenangnya. Malaikat juga tahu, kok.