Leicester City menjadi juara Liga Inggris 2015/2016 merupakan salah satu kisah paling heroik dalam sejarah sepak bola. Berikut pembahasan Fandom mengenai kesuksesan The Foxes.
Skuat
Dalam perjalanan sepanjang 2015/2016, Claudio Ranieri, manajer Leicester, terhitung sukses menampilkan tim yang sama. Ia selalu mampu memainkan pemain-pemain yang dibutuhkan.
Hal ini dimungkinkan, selain komposisi tersebut merupakan yang terkuat, minimnya gangguan cedera juga membantu the Tinkerman memainkan skuat yang identik. Dalam sebuah twit, Raymond Verheijen, ahli periodisasi sepak bola, melontarkan pernyataan menarik.
Leicester City. Periodisation at highest level. Recovery, less is more, fewest players used, fewest injuries.Always play with strongest team
— Raymond Verheijen (@raymondverheije) May 7, 2016
Lepas dari Leicester yang tidak terganggu kompetisi Eropa, periodisasi Ranieri diyakini berperan dalam meminimalisasi jumlah cedera.
Di jajaran pemain reguler, beberapa menjadi bintang bagi penonton. Pemain pertama adalah Jamie Vardy, no. 9 Leicester. Ia menunjukan betapa sistem Ranieri sangat pas dengannya. Memanfaatkan kecepatan Vardy, sang pelatih berhasil memainkan taktik yang tepat dengan cara, salah satunya, meletakan Vardy mengisi sisi sayap atau half-space dalam serangan balik. Dari situ, kemudian sang top skor tim bergerak diagonal menuju area tengah.
Ciri khas gol Vardy
Pemain lain adalah Riyad Mahrez. Gelar PFA player of the year menjadi cermin betapa kontribusi Mahrez sangat diakui di Inggris. Lepas dari Mahrez yang terkadang kurang terlibat dalam permainan bertahan Leicester, kemampuan dribbling-nya mampu membantu Leicester merusak pertahanan lawan. Manchester City menjadi salah satu korbannya.
Transisi bertahan yang buruk dimanfaatkan dengan maksimal oleh Mahrez
Pemain ketiga yang banyak diapresiasi adalah N’golo Kante. Sebagai no. 6, Kante dipasangkan dengan Danny Drinkwater.
Sedikit beda dengan Drinkwater, Kante lebih banyak mengokupansi area yang lebih dalam. Workrate-nya jempolan. Kontribusi bertahannya sangat patut mendapatkan pujian. Isidorus Rio, salah satu penulis Fandom, pernah bercerita tentang Kante yang bergulat dalam sunyi (entah kenapa ia memilih kata sunyi, bukannya senyap).
Secara umum, pemain-pemain lain yang tidak disebutkan di atas memiliki kontribusi masing-masing. Contohnya Shinji Okazaki.
Dibandingkan Vardy, Okazaki lebih banyak bergerak ke area no. 10 bahkan sampai ke 8 atau 6. Walau terkadang pergerakan pressing-nya, di sekitar sepertiga akhir, tidak terkoordinasi dengan lini di belakangnya, tetapi apa yang dilakukan Okazaki, di waktu tertentu, mampu menghambat fase membangun-serangan-dari-belakang lawan.
4-4-2 yang rapat!
Ranieri selalu berpatokan pada pola dasar 4-4-2. Mengamankan area tengah dan half-space menjadi fokus utama. Pola 4-4-2 konvensional yang memiliki kelemahan alami pada ruang vertikal antarlini, terdapat 3 lini utama dalam 4-4-2, dan ruang horizontal, mengalami beberapa penyesuaian.
Untuk mengatasi kelemahan vertikal, ia membentuk sebuah struktural blok yang jarak antarlini terjauh terjaga sekitar 25 meter. Dalam fase bertahan blok rendah, salah satu penyerang Leicester diinstruksikan turun jauh ke bawah, masuk ke lini tengah, untuk memberikan kesempatan gelandang tengah mengamankan ruang di depan bek.
Demi kebutuhan meminimalisasi ruang horizontal, terutama antara pemain tengah dan sayap, kedua gelandang sayap dan bek sayap merapat mengisi half-space.
Kalau Anda familiar dengan 4-4-2 milik Diego “Cholo” Simeone, misalnya, tentu saja, pengaturan semacam ini sudah menjadi pemandangan jamak. Adalah wajar bila dikatakan Ranieri mengadaptasi 4-4-2 Simeone dan Arrigo Sacchi yang berakar dari catennacio.
Di Twitter, akun @jeremyhurdle sempat memasang gambar lapangan latihan Simeone yang terdiri dari 6 koridor vertikal. Perhatikan bagaimana Cholo mengatur sisi sayap (1 dan 6) menjadi area terlebar ditambah 4 koridor vertikal (2, 3, 4, dan 5) di tengah.
Cara bermain Leicester mencerminkan adaptasi 6 koridor vertikal Simeone dan 4-4-2 ala Sacchi. Bisa jadi, Ranieri tidak membagi area depan kotak penalti (zona 5) menjadi 4 koridor. Bisa jadi, Ranieri hanya membaginya menjadi 3 zona, yaitu 1 area tengah yang didampingi oleh 2 half-space di kiri-kanannya. Entahlah.
Tetapi, pada dasarnya, baik Ranieri maupun Simeone dan Sacchi bertahan dengan prinsip yang sama. Yaitu, menjaga zona 5 dengan sedikit memberikan ruang bagi lawan di sayap. Ini menjadi langkah pertama dalam mengamankan area tengah. Saat area tengah sudah terkontrol, strategi bertahan berlanjut ke tahap kedua, yaitu menjebak (pressing-trap) lawan di sayap.
Pressing blok menengah dan rendah
Leicester melakukan pressing menggunakan blok menengah dan rendah. Sangat kuat terlihat, pergerakan (pergeseran) horizontal formasi yang berorientasi pada letak bola. Ketika lawan berkesempatan membentuk formasi membangun serangan yang direncanakan, Leicester bertahan dalam sebuah barikade yang mengisi 3 koridor vertikal terdekat (dari bola) sebagai bentuk awal.
Pada gelombang pertama pressing, kedua penyerang bersikap seperti apa yang dibahasakan Sacchi sebagai false/resting-press; seakan-akan membiarkan pemain lawan tertentu menguasai bola. Padahal, sesungguhnya, si pemegang bola sedang diarahkan agar mengumpan ke area yang kurang berbahaya (sayap).
Dalam infografik selanjutnya bisa Anda lihat Vardy dan Okazaki membiarkan bek tengah menguasai bola. Orientasi keduanya adalah pada no. 6. Dengan menutup akses ke tengah, kepada no. 6 lawan, pemegang bola mau tidak mau mengumpan ke sayap sebagai usaha progresi.
Pressing blok menengah Leicester
Keputusan Ranieri mengokupansi 3 koridor vertikal terdekat berada pada tempat yang tepat. Mayoritas tim yang dihadapinya tidak memainkan perpindahan bola dari satu sayap ke sayap lain sebagai strategi utama.
Sehingga ketika para pemain Leicester “menjepit” lawan di sayap kanan, misalnya, mereka tidak perlu terlalu khawatir tim lawan mampu melakukan perpindahan ke sisi kiri dalam struktur yang terencana. Pep Guardiola merupakan contoh yang memainkan skema perpindahan sayap ke sayap yang dimaksud.
Salah satu sebab tidak banyak yang menggunakan strategi ini karena, pada dasarnya, ketika sebuah tim “dijepit” di sayap, merupakan hal yang sulit untuk memindahkan permainan ke sayap seberangnya. Kesulitan yang paling mendasar adalah kemungkinan akurasi yang rendah bila memaksakan perpindahan bola melewati lintasan yang jauh dari sebuah ruang yang sesak tanpa permainan posisional dan eksekutor yang tepat.
“Dari sini kita ketahui satu hal, Ranieri memainkan sebuah sistem yang sesuai dengan kelemahan klub-klub di Liga Inggris. Ini menjadi kunci pertama kesuksesan Leicester.”
Tetapi ada saatnya Ranieri menyadari lawan sangat mungkin memainkan perpindahan bola sayap ke sayap, memanfaatkan bentuk bertahannya yang menyempit. Saat itu ia akan sedikit mengubah struktur posisional. Caranya, menggeser pemain-pemain terjauh (dari bola) untuk lebih dekat dengan area yang berada di half-space atau sayap jauh. Dalam situasi ini, formasi bertahan Leicester mengisi 3+1 zona vertikal bukan hanya 3 ruang, seperti yang tersebut di atas.
Dengan cara-cara ini-lah Leicester mampu “menutup” ruang berbahaya horizontal.
Bagaimana dengan usaha menjaga ruang vertikal? Selain menjaga struktur blok untuk berjarak ±25 meter antara 2 lini terjauh, Ranieri menginstruksikan penyerang untuk turun ke bawah bila diperlukan. Bisa dilakukan bersamaan, bisa pula hanya salah satunya.
Pergerakan no. 9 ini yang mengubah bentuk bermain Leicester. Ketika kedua no. 6 + sayap terdekat melakukan overload ke sisi bola di mana berada, saat itu area tengah sedang tidak terlindung dengan maksimal. Satu dari Vardy atau Okazaki akan masuk ke lini dan mengubah bentuk menjadi 4-5-1.
Faktor lain yang mempengaruhi pergerakan turun penyerang Leicester adalah orientasi mereka kepada gelandang tengah lawan. Saat gelandang yang dijaga bergerak mendekati sepertiga awal, Vardy/Okazaki mengikutinya memastikan kompaksi di lini tengah tetap terjaga.
Ranieri mengharuskan half-space dan tengah tetap terjaga tanpa melupakan pentingnya pressure di area sayap. Ranieri juga ingin posisi bek sayap untuk tetap dekat dengan bek tengah. Tujuan utamanya jelas, untuk menjaga kompaksi horizontal.
Saat Jeffrey Schulpp, bek kiri, bergerak melebar mengikuti Erik Lamela, Andy King, gelandang tengah, turun ke bawah untuk menggantikan posisi Schulpp di pos bek kiri. Dengan menjaga kompaksi, bek seperti Robert Huth terhindarkan dari keharusan menutup area yang besar yang dapat mengekspos kelambanannya.
Poin lain adalah pentingnya keterlibatan penyerang dalam menjaga kompaksi. Contohnya adalah ketika kemudian serangan Tottenham Hotspurs bergeser ke tengah, Okazaki turun hingga ke pos no. 6. Bersama Drinkwater, ia memblok Mousa Dembélé.
Penempatan posisi demi menjaga bentuk menjadi salah satu syarat penting. Ini kenapa, sering terlihat Okazaki mengisi sayap kanan saat Mahrez berperan sebagai no. 9 atau Vardy yang bermain sebagai bek kiri ketika Christian Fuchs, bek kiri, sedang berada jauh di depan. Ini semua dilakukan secara situasional dengan tujuan menjaga bentuk bertahan. Kedisiplinan semacam inilah yang menjadi kunci sukses taktik Leicester.
Jebak di sayap!
Mengarahkan lawan bergerak ke sisi lapangan memiliki keuntungan strategis, dikarenakan keterbatasan opsi di sayap menyebabkan jebakan pressing lebih logis untuk dimainkan.
Dalam jebakan yang dimainkannya, Ranieri melibatkan kedua no. 9 sebagai gelombang pertama pressing. Sementara para gelandang bersiap sebagai gelombang kedua.
Lini tengah The Foxes mengokupansi half-space sembari menunggu bola diumpankan ke bek sayap lawan. Ketika bola bergerak ke bek sayap lawan, gelandang sayap terdekat melakukan pressure kepada penerima umpan sementara gelandang tengah terdekat bergerak horizontal dengan berorientasi kepada gelandang tengah lawan dan posisi gelandang sayap terdekat.
Jebakan pressing menghadapi Sunderland. Karena kekurangan opsi, Billy Jones dipaksa membuang bola.
Jebakan pressing bukan hanya perkara merebut bola. Tetapi juga ditujukan untuk menghambat serangan. Leicester memiliki pergeseran formasi yang rapi yang mampu menggagalkan progresi lawan.
Vardy dan Okazaki berorientasi pada ruang (space), sementara no. 7, 11, dan kedua no. 6 berorientasi kepada pemain (man) dan posisi rekan. Pergeseran formasi yang rapi dari sayap ke sayap menghentikan progresi West Ham United.
Titik lemah pertahanan
Koordinasi antara lini pertama pressing dengan lini di belakangnya menjadi salah satu isu. Saat hal ini terjadi, terlihat jarak yang vertikal besar dalam formasi Leicester.
Dalam kesempatan lain, bentuk pressing 2 penyerang Leicester yang seharusnya menutup akses kepada no. 6 lawan pun kurang maksimal. Saat menghadapi Red Devils, di Old Trafford, kejadian seperti ini beberapa kali teridentifikasi.
Carrick mendapatkan ruang terlalu besar baik di sepertiga akhir, sepertiga tengah maupun sepertiga awal. Bukan itu saja, lini pertama pressing Leicester beberapa kali memberikan ruang bagi bek MU untuk bergerak bebas ke atas.
Masih dari sistem pressing, salah satu area lemah dalam struktur pressing Leicester adalah sisi kanan. Pada sisi di mana Mahrez berada. Seperti yang disebutkan di awal tulisan, Mahrez tidak selalu berkontribusi maksimal dalam fase awal bertahan Leicester.
Tetapi ini merupakan konsekuensi skema serangan Ranieri. Mahrez sering tampil sebagai penyerang bayangan. Ia maju dari sayap kanan ke tengah bahkan ke half-space kiri. Akibatnya, saat transisi bertahan, Mahrez menempuh jarak yang jauh untuk kembali ke posisinya.
Faktor lain adalah agresivitas Mahrez sendiri. Terkadang Mahrez menempatkan diri sejajar dengan dua penyerang, sehingga The Foxes memainkan pressing 3 pemain depan asimetris. Ketika kemudian lawan berhasil mengarahkan bola ke sisi kanan pertahanan, perlindungan di depan bek kanan menjadi minim.
Gol Anthony Martial menjadi contoh. Dalam sebuah transisi positif MU, Leicester menempatkan 7 pemain di sekitar kotak 16. Ketika Jesse Lingaard mengarahkan bola ke sisi kanan, Simpson yang berfokus ke tengah kotak 16 tidak mampu menghalangi Martial yang bebas seorang diri.
Serang balik secepatnya!
Dari cara bertahan, teridentifikasi rencana awal serangan (balik) Leicester. Dalam struktur pertahanan, Vardy menjadi pemain terdepan. Leicester Ranieri bermain dengan tujuan segera menjangkau kotak penalti dan Vardy merupakan target utama. Untuk memberikan ruang gerak bagi Vardy, The Tinkerman menginstruksikannya untuk juga bergerak dari half-space atau sayap.
Sedikit di belakang Vardy berdiri Okazaki yang, dalam pressing Leicester, berperan sebagai defensive-striker. Peran ini memungkinkannya untuk muncul belakangan dalam fase eksekusi peluang.
Diawali dari perebutan bola kedua, Okazaki mengawal Reece Oxford, no. 6 West Ham. Albrighton yang menguasai bola segera mengarahkannya kepada Vardy di half-space kiri. Perhatikan Okazaki yang bergerak naik dan mencetak gol.
Dalam situasi lebih statis, Leicester memainkan taktik penetrasi berbeda. Contoh, ketika bola berada di sayap dan kedua penyerang mengisi area tengah serta half-space terdekat. Di sayap, selain si pemegang bola akan ada satu pemain yang bertugas meregangkan kompaksi horizontal lawan dengan harapan jalur umpan diagonal makin terbuka.
Contoh lain.
Ranieri sering membuka ruang serang memanfaatkan gerak lateral ke sisi sayap terdekat dengan tujuan membuka celah antara bek sayap dan bek tengah terdekat (dari bola). Ruang di antara 2 bek inilah yang menjadi sasaran umpan dari pemegang bola yang berada di sayap.
Selain mengarahkan bola langsung kepada Vardy (atau Mahrez), taktik lain yang digunakan Ranieri adalah meng-overload satu sisi sayap-menggunakan bek sayap, Mahrez, Okazaki, dan Vardy-untuk bergerak lateral ke satu sisi sayap agar kemudian Mahrez atau bek sayap dapat memindahkan bola ke sisi sayap seberang kepada gelandang sayap lain, Albrighton contohnya. Biasanya Leicester hanya melakukan 3-4 umpan jarak pendek atau menengah sebelum bola dipindahkan ke sisi lain.
Skema selanjutnya dapat ditebak, dari Albrighton bola akan diarahkan ke kotak penalti mengarah pada Vardy atau Okazaki yang bergerak dari sayap jauh ke mulut gawang.
Possession football
Bila berkesempatan membangun serangan dari belakang, Ranieri tidak mengutamakan penguasaan bola yang mana serangan diprogresi secara bertahap memanfaatkan umpan pendek dalam permainan posisional terstruktur. Sang allenatore memahami para pemainnya tidak memiliki kapasitas sebaik itu. Karenanya, ia memilih bermain langsung ke depan.
Mayoritas bola dari gawang diarahkan kepada Vardy. Mahrez atau Albrighton, bergantung di sisi mana bola diarahkan, dan Okazaki bergerak ke depan berjaga-jaga bila Vardy sukses melakukan flick-on. Ketiga gelandang lain bergerak dengan orientasi pada letak bola dengan mengisi 3 koridor vertikal terdekat.
Dengan cara menyerang seperti ini, Leicester (tentu) banyak kehilangan penguasaan bola. Tetapi bukan masalah. Karena, toh, Ranieri mempersiapkan timnya untuk berfokus pada fase bertahan pasif menunggu lawan datang dan menyerang balik secepat mungkin. Bukan untuk menguasai bola sebanyak mungkin.
Walaupun tidak berbasis pada penguasaan bola tetap saja ada saatnya mereka memainkan bola dari belakang, tetapi itu pun dilakukan dengan pendekatan direct bukan possession.
Lini belakang tetap merapat di sekitar half-space dan tengah. Karena bola berada di kiri, gelandang kiri (LM) turun ke bawah. Posisi kedua gelandang tengah berada di antara lini belakang dan lini serang. Gelandang kanan (RM, Mahrez) memiliki tugas berbeda dengan gelandang kiri. Mahrez lebih banyak bergerak hingga ke tengah dan half-space berdekatan dengan area kerja penyerang.
Garis “dot” adalah indikasi umpan. Garis “solid” dan “dash” adalah indikasi gerak. “Dash” mengindikasikan pergerakan yang akan dilakukan oleh RM dan kedua CF bila LM melepaskan umpan langsung kepada CF terdepan. Pergerakan CF bawah dan RM ditujukan untuk memecah kompaksi horizontal agar ruang gerak bagi CF terdepan semakin besar. Dengan CF bawah bergerak melebar tentu minimal ada 1 pemain lawan yang terpancing mengikuti pergerakannya, begitu juga dengan pergerakan RM.
Ketika bola berhasil diprogresi ke depan, kedua bek sayap tidak serta merta bergerak naik seperti yang kerap diperlihatkan oleh bek sayap Real Madrid atau Borussia Dortmund, contohnya. Bek sayap Leicester bergerak naik hanya pada waktu-waktu tertentu. Sering kali kita temui, Vardy, Okazaki, atau kedua gelandang sayap Leicester-lah yang memastikan okupansi di kedua sisi lapangan di sepertiga akhir.
Keuntungan memainkan bek sayap dengan cara seperti ini, transisi bertahan Leicester lebih terjaga kestabilannya. Ditambah kehadiran satu gelandang tengah yang berposisi dekat dengan bek, tidak banyak ruang kosong terbuka ketika lawan melakukan serangan balik.
Bagaimana dengan peran gelandang tengah sendiri? Kante, seperti yang tersebut pada awal tulisan, lebih banyak bergerak di area yang lebih dalam ketimbang Drinkwater. Kante lebih dekat dengan lini belakang. Drinkwater, walaupun tidak terlalu banyak bergerak masuk ke kotak 16 lawan, ia bermain lebih ke depan. Karenanya, kita sering melihat Drinkwater bolak-balik dari atas ke bawah.
Itulah profil taktik Leicester City musim 2015/2016. Sudah cukup menjelaskan mengapa mereka mampu menjadi juara Liga Inggris bukan?