Barcelona berhasil memenangkan laga El Clásico dengan cara yang tidak biasa. Sebuah gol melalui sundulan pada situasi bola mati dan sebuah gol melalui skema umpan panjang, cukup menjelaskan alasannya. Bahkan penguasaan bola Barcelona hanya sebesar 52%. Sejak lahirnya tiki-taka, ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Real Madrid secara tidak langsung, perlahan, dipaksa bermain layaknya seperti Barcelona biasanya. Madrid harus berusaha keras dalam menembus disiplinnya barisan pertahanan Barcelona serta kesulitan dalam mengantisipasi serangan balik dan umpan-umpan panjang langsung ke depan yang diperagakan tuan rumah. Barcelona justru memainkan gaya bermain yang biasanya Madrid gunakan untuk menang.
Susunan pemain
Luis Enrique masih menggunakan formasi 4-3-3 khas Barcelona namun melakukan beberapa perubahan skuat dari laga El Clásico sebelumnya. Jordi Alba diturunkan sebagai bek kiri, dengan Jeremy Mathieu digeser ke tengah menggantikan Javier Mascherano yang harus kembali menjadi jangkar akibat Sergio Busquets yang sepertinya belum 100% fit. Ivan Rakitic di lini tengah menggantikan Xavi. Dan dengan Luis Suárez ditarik ke tengah, Lionel Messi kembali bermain di sisi kanan serangan – seperti di awal era Pep Guardiola.
Sementara Carlo Ancelotti tetap mengandalkan formasi yang sama seperti pertemuan sebelumnya. Perubahan skuat hanya terjadi pada James Rodríguez yang harus ‘bergantian cedera’ dengan Gareth Bale.
Transformasi Real Madrid
Sejak diasuh Ancelotti, Madrid selalu menggunakan 4-4-2 yang dapat bertransformasi dengan cepat menjadi 4-3-3, atau vice versa. Begitu pula dengan laga klasik kali ini.
Pada awal laga, Barcelona mencoba mengambil inisiatif permainan, namun kesulitan menembus solidnya blokade horizontal empat gelandang Los Galacticos. Tiga pemain tengah Barcelona sering kali kebingungan untuk mendistribusi bola ke barisan penyerang. Neymar dan Messi terdorong dan terjebak ke sisi lapangan, sedangkan Suárez yang sendirian di antara barisan pertahanan mencoba menciptakan ruang bagi rekan-rekannya. Kesulitan ini membuat Barcelona terpaksa sesekali mencoba melepaskan umpan-umpan panjang ataupun menerobos langsung, yang keduanya sangat berisiko untuk kehilangan bola.
Ketika Barcelona kehilangan bola, Madrid selalu berhasil memanfaatkan momentum untuk melakukan serangan balik. Duet gelandang tengah kreatif, Toni Kroos dan Luka Modrić menginisiasi transformasi cepat Madrid, yang diikuti pergerakan Bale dalam melakukan penetrasi ke depan di sisi kanan untuk membentuk tiga barisan penyerang, bersama Karim Benzema dan Cristiano Ronaldo. Bahkan sesekali Marcelo ikut menyisir di sisi kiri, yang diikuti pergerakan Ronaldo ke tengah. Posisi yang ditinggalkan Marcelo untuk melakukan manuver ke depan ini ditutup oleh Isco yang bermain lebih dalam untuk menekan ruang gerak Messi agar tidak bergerak ke tengah. Begitu pula yang dilakukan Modrić di sisi kanan terhadap Neymar.
Skema Madrid ini berjalan sangat efektif. Hingga menit ke 13, Madrid berhasil melepaskan empat tembakan – dengan sebuah sundulan dari Ronaldo yang membentur mistar gawang Claudio Bravo, berbanding hanya satu tembakan dari tuan rumah. Padahal, Barcelona memiliki penguasaan bola sebesar 62%.
Kontrol buruk Barcelona
Barcelona beruntung bisa unggul lebih dulu melalui situasi set-play. Sebuah situasi yang sangat jarang berhasil dimanfaatkan oleh Barça. Messi yang mengambil tendangan bebas hasil dari pelanggaran Pepe terhadap Suárez, dengan kaki kirinya, melepaskan umpan melengkung tepat di kepala Mathieu.
Tertinggal satu gol, Madrid semakin meningkatkan intensitas serangan. Lini tengah Madrid – khususnya Kroos dan Modrić memberikan pressing yang sangat intensif agar bola terus berada di setengah lapangan tuan rumah. Garis pertahanan Madrid pun ikut naik demi meminimalisir space di antara bek dan gelandang.
Pressing tinggi yang diperagakan Madrid tersebut membuat gelandang Barcelona sangat kesulitan untuk menguasai bola dan menginisiasi serangan. Jarak yang begitu lebar dengan barisan penyerang membuat Barcelona terpaksa melepaskan umpan-umpan panjang “tidak jelas” untuk mengalirkan bola depan.
Buruknya kontrol lini tengah Barcelona ini mungkin tidak terjadi jika ada Busquets. Mascherano berbeda dengan Busquets. Saat di-pressing, ia sering kali terlihat panik. Kontras dengan Busquets yang memiliki visi dan ketenangan dalam mengontrol bola dan mendikte permainan. Rakitic pun tidak jauh berbeda dengan Mascherano.
Performa bertahan Mascherano sebagai jangkar pada laga ini pun tidak seperti saat performa sensasionalnya di Piala Dunia 2014. Sepanjang laga, ia hanya berhasil melakukan satu dari lima kali percobaan tekel, tidak pernah menang dari dua kali duel udara dan tidak sekalipun melakukan sapuan, blok, intersep! Performa yang sangat buruk untuk seorang jangkar.
Serangan El Real
Satu-satunya gol yang diciptakan El Real berawal dari kecerdasan Benzema yang bergerak ke channel untuk menciptakan ruang di tengah barisan pertahanan Barcelona. Modrić yang melihat manuver pergerakan sang penyerang, dengan cermat melepaskan umpan vertikal langsung ke kotak penalti.
Dengan satu sentuhan, Benzema melepaskan umpan back heel indah ke Ronaldo yang bergerak ke ruang yang telah ia ciptakan. Mascherano keliru dalam menginterpretasi arah umpan Modrić, sehingga posisi yang ditinggalkannya menciptakan ‘lubang’ yang kemudian dieksploitasi oleh Ronaldo untuk mencetak gol. Dani Alves pun telat untuk menutup lubang yang diciptakan rekannya.
Tidak hanya sampai di situ, Madrid terus menggempur dengan memanfaatkan lemahnya lini tengah Barcelona. Madrid bahkan nyaris membalikkan keadaan, jika saja Bale berhasil memanfaatkan dua peluang. Satunya pada situasi tendangan pojok, di mana sepakannya melebar ke sisi kanan gawang Barcelona.
Dan yang satunya saat serangan balik cepat. Menyambut umpan Benzema, Bale yang melakukan sprint dari setengah lapangan berhasil melewati Jordi Alba namun berhasil dihadang dengan tekel keras dari Gerard Piqué. Pada laga ini, Piqué terlihat jatuh-bangun dalam menahan gempuran serangan Madrid. Ia tercatat berhasil melakukan seluruh percobaan tekel, yaitu sebanyak lima kali. Melakukan lima kali sapuan, dua kali blok dan enam kali intersep. Tanpa sekalipun melakukan pelanggaran.
Usai turun minum
Menyadari telah banyak membuang peluang di babak pertama, Madrid semakin mengancam dengan meningkatkan tempo permainan di awal babak kedua. Namun, Barcelona justru menjadi lebih terkendali setelah turun minum. Tanpa melakukan pergantian pemain – termasuk gelandang yang bisa mengatur ritme permainan, Barcelona tampil lebih percaya diri. Perlahan-lahan, mereka mencoba mengontrol bola dan membangun serangan.
Hingga akhirnya gol kemenangan tercipta melalui skema yang tak terduga. Dani Alves yang masih berada di setengah lapangan timnya, tiba-tiba melepaskan umpan panjang mematikan kepada Suárez yang telah memberikan ancang-ancang. Dengan dingin, ia mampu melakukan sentuhan pertama yang mengagumkan lalu berhasil mengkonversikannya menjadi gol. Sebuah gol yang terbentuk dari skema yang tidak biasa, bertentangan dengan filosofi sepak bola Barcelona.
Gol tersebut sangat mengejutkan Madrid. Mereka segera berusaha untuk bangkit dan menyerang, namun terlihat seperti mulai kehilangan konsentrasi, tidak terorganisir, seperti di babak pertama. Tuan rumah justru tampil lebih tenang, mengontrol tempo permainan, selama mungkin, hingga peluit akhir dibunyikan.
Messi-Suárez-Neymar
Si Putih yang mencoba memberikan pressing namun tidak terorganisir dengan baik malah menciptakan lubang. Pressing yang dilakukan Madrid hanya dilakukan satu-dua pemain saja, tanpa pergerakan satu unit secara kolektif. Blokade empat gelandang Madrid tidak lagi horizontal. Jaraknya pun terlalu jauh, baik dengan lini depan ataupun lini belakang.
Celah ini yang coba dimanfaatkan oleh lini depan Barcelona. Sejak berhasil kembali unggul, Barcelona justru semakin intensif memainkan umpan-umpan direct dan lebih berani mencoba menerobos masuk pertahanan Madrid. Suárez lebih banyak bergerak ke channel untuk mengfasilitasi Messi dan Neymar yang bergerak masuk ke tengah. Masuknya Xavi dan Busquets pada akhir-akhir pertandingan semakin mempermudah ‘MSN’ dalam bergerak langsung ke depan.
Perubahan taktik ini terbukti efektif. Di sisa sepertiga pertandingan, Barcelona berhasil menciptakan delapan peluang untuk mencetak gol, berbanding hanya enam sebelumnya. Seharusnya, dua-tiga gol bisa dilesakkan Barcelona, yang berhasil memanfaatkan demotivated-nya mental psikologis Madrid.
Luis Enrique telah mengubah gaya bermain sepak bola Barcelona. Dari obsesi Guardiola terhadap lini tengah akan umpan-umpan, penguasaan bola dan pergerakan yang fluid, menjadi berorientasi kepada lini depan dengan memberikan umpan-umpan langsung. Tentu perubahan ini berasalan, mengingat Messi-Suárez-Neymar memiliki talenta individu kelas dunia.
Meskipun tidak mempertontonkan pertarungan taktis sensasional seperti El Clásico 2010-2012 – era Guardiola dan José Mourinho, El Clásico kali ini menampilkan sesuatu yang baru di era sepak bola modern. Magic dari talenta individu kelas dunia.