Final Copa Amerika edisi ke-44 ini menawarkan pertunjukan yang sangat menarik. Sejak awal turnamen, Chile dan Argentina sama-sama menjadi favorit untuk menjuarai turnamen ini. Argentina dengan pemain-pemain bintangnya, sementara Chile dengan karakter taktiknya yang sangat kuat ditambah status sebagai tuan rumah.
Susunan pemain
Jorge Sampaoli menggunakan skema yang tidak berubah sepanjang turnamen ini digelar, yakni 4-1-2-1-2 atau 4-4-2 diamond di area sentral. Claudio Bravo mengisi pos penjaga gawang di belakang lini pertahanan yang berisikan Fransisco Silva–yang menggantikan Franco Jara–dan Gary Medel yang diapit oleh Mauricio Isla dan Jean Beausejour. Pos gelandang bertahan ditempati oleh Marcelo Diaz, yang merupakan poros dari permainan Chile. Penempatan posisinya yang baik saat fase bertahan, menyerang, maupun transisi, menjadi kunci dari kestabilan Chile dalam melakukan sejumlah transposisi struktural. Di depannya terdapat Arturo Vidal dan Charles Aranguiz serta Jorge Valdivia yang bermain di pos no. 10, sedangkan Alexis Sanchez dan Eduardo Vargas berduet di lini depan.
Di kubu Argentina, Gerardo Martino masih menggunakan skema 4-3-3/4-1-4-1 yang sama. Sergio Romero mengisi pos penjaga gawang di belakang lini pertahanan yang berisikan duet Martin Demichelis dan Nicolas Otamendi yang diapit oleh Marcos Rojo dan Pablo Zabaleta. Pos gelandang bertahan ditempati oleh Javier Mascherano yang bermain di belakang Lucas Biglia dan Javier Pastore. Trio lini depan Argentina diisi oleh Lionel Messi, Angel Di Maria, dan Sergio Aguero–yang berperan sebagai no .9. Pada pertengahan babak pertama, Di Maria harus digantikan dengan Ezequiel Lavezzi karena mengalami masalah di hamstring-nya.
Ruang antarlini
Ketika menguasai bola, Chile melakukan transposisi struktural dari 4-1-2-1-2 menjadi 3-4-1-2. Diaz akan turun lebih dalam di antara Medel dan Silva yang melebar. Kedua fullback mereka naik hingga sejajar dengan Vidal dan Aranguiz untuk memberikan opsi di lini tengah khususnya di area sayap. Sementara itu, Alexis dan Vargas bergerak di antara bek tengah dan fullback Argentina. Vidal dan Aranguiz akan bergantian mengisi zona yang ditinggalkan Diaz untuk menghubungkan lini belakang dengan lini tengah.
Struktur ini memberikan kestabilan yang sangat baik pada saat Chile melakukan build-up dari lini belakang di mana mereka berada pada situasi 3vs1. Sekalipun Aguero mengorientasikan dirinya terhadap Diaz yang menjadi poros sirkulasi bola Chile, Medel ataupun Silva dapat membawa bola ke depan untuk mencari opsi yang lebih baik. Pergerakan keduanya akan memancing pemain-pemain Argentina untuk keluar dari blok struktural mereka sehingga menciptakan ruang bagi pemain-pemain Chile. Hal ini juga diperkuat dengan pressing resistance mereka yang cukup tinggi untuk ukuran pemain belakang.
Transposisi struktural Chile inilah yang membuat pressing Argentina tidak dapat berjalan dengan efektif. Chile dapat mencipatkan overload di sejumlah sisi lapangan dengan mudah. Sekalipun Argentina menerapkan pressing dengan orientasi penjagaan terhadap pemain-pemain Chile, Medel dan Silva tetap dapat membawa bola ke depan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Pada pertandingan ini, Argentina kesulitan untuk melakukan transposisi ke dua penyerang dalam skema 4-4-2 untuk melakukan pressing. Hal ini menyebabkan sirkulasi bola Chile pada fase build-up sangat baik. Jika Argentina memaksakan diri untuk melakukan transposisi ke skema 4-4-2 ketika melakukan pressing, maka Valdivia dapat menerima bola dengan bebas di ruang antarlini.
Di sini peran Valdivia sangat menarik. Dirinya selalu bergerak ke ruang yang jauh dari bola. Hal ini dilakukannya dengan dua tujuan utama. Pertama, untuk menempatkan dirinya di ruang yang bebas, menjauh dari Mascherano yang bergerak ke sisi yang dekat dengan bola. Akses bola terhadap dirinya bisa didapatkan melalui jalur umpan diagonal. Kedua, dirinya juga dapat memancing Mascherano untuk untuk menjaganya sehingga Mascherano akan menjauh dari sisi yang dekat dengan bola, dengan demikian ruang bagi rekannya akan terbuka.
Idealnya, tanpa adanya transposisi ini seharusnya membuat Argentina lebih solid dan memiliki kompaksi yang sangat baik karena ada pemain yang menjaga ruang antarlini. Namun, yang terjadi justru Mascherano harus menderita karena buruknya kompaksi vertikal timnya. Munculnya gap yang sangat besar antara lini tengah dan lini belakang membuat Mascherano harus meng-cover ruang antarlini yang sangat luas, bahkan dalam beberapa kesempatan dirinya berada dalam situasi 1vs3.
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa lini belakang Argentina tidak bertahan lebih tinggi untuk menutup ruang antarlini ini?
Alexis dan Vargas menjadi pemeran antagonis bagi lini pertahanan Argentina. Seperti dijelaskan sebelumnya, keduanya bergerak di antara bek tengah dan fullback Argentina. Hasilnya, kedua pemain ini dapat mengikat empat pemain bertahan Argentina sekaligus agar tetap berada pada posisinya. Keempat bek Argentina ini terikat karena Alexis dan Vargas memiliki kecepatan yang sangat baik, sehingga mereka harus berhati-hati agar tidak menciptakan channel yang dapat dieksploitasi oleh keduanya. Hal inilah yang membuat gap antara lini tengah dan lini belakang Argentina sangat besar.
Secara umum, transposisi yang dilakukan oleh Chile dapat digambarkan seperti diagram di bawah ini.
Pada diagram tersebut terlihat Chile dapat menciptakan overload di berbagai sisi lapangan sehingga meskipun di area sentral terdapat kesetimbangan jumlah (2vs2), adanya ruang antarlini yang sangat luas ini membuat pemain-pemain Chile dapat bergerak dengan leluasa.
Transisi
Jika sebelumnya penulis telah membahas kegunaan transposisi struktural Chile pada saat mereka menguasai bola, bagaimana dengan ketika mereka tidak menguasai bola?
Adanya overload tentu saja dapat memunculkan kompaksi lokal yang sangat berguna untuk melakukan counterpressing. Adanya kompaksi lokal ini akan memudahkan untuk mendapatkan akses terhadap bola karena adanya pemain ekstra dapat membatasi opsi yang dimiliki pemain yang baru saja merebut bola.
Nama yang paling krusial dalam menciptakan kestabilan saat fase trasnsisi bertahan ini adalah Diaz. Jika sebelumnya disebutkan bahwa dirinya menjadi sumber kestabilan Chile dalam menghadapi pressing Argentina, ketika fase transisi dirinya juga menjadi aktor utama. Ketika bola hilang dan Chile harus melakukan counterpressing, maka penting bagi kedua fullback mereka untuk tidak terburu-buru kembali ke lini pertahanan. Jika keduanya terburu-buru kembali ke lini pertahanan, maka kompaksi lokal yang semula terbentuk akan mengalami kelonggaran. Keberadaan Diaz di lini belakang inilah yang membuat kedua fullback mereka dapat tidak terburu-buru untuk segera kembali ke posisinya. Dirinya memberikan kestabilan terutama untuk mengantisipasi umpan-umpan direct.
Permasalahan Argentina dengan bola
Meskipun berisikan pemain-pemain bintang, bukan berarti Argentina dapat dengan mudah mendominasi jalannya pertandingan. Ketidakmampuan Argentina dalam melakukan build-up dengan baik menjadi sumbernya. Trio Demichelis, Otamendi, dan Mascherano bukanlah pemain yang memiliki pressing resistance yang baik sehingga mudah bagi Chile untuk melakukan pressing. Selain itu, Sergio Romero juga tidak dapat banyak membantu untuk menstabilkan sirkulasi bola Argentina.
Selain buruknya kemampuan lini belakang Argentina dalam melakukan build-up, mereka juga tidak memiliki pemain yang mampu mengintegrasikan pergerakan Messi. Ketika Messi mencoba bergerak ke area sentral, tidak ada pemain yang bergerak ke area kanan untuk menyeimbangkan konsumsi ruang seperti yang dilakukan Ivan Rakitic di Barcelona. Biglia lebih banyak berada di area sentral sehingga menjadikan area ini terlalu padat. Alih-alih terjadi overload, hal ini justru menyebabkan sulitnya bergerak di area sentral. Pastore sebenarnya dapat menjadi pemain yang mengintegrasikan pergerakan Messi ini, namun dirinya lebih banyak bermain di halfspace kiri.
Perubahan pada babak kedua
Tata Martino melakukan sedikit perubahan di awal babak kedua. Untuk mengatasi build-up Chile, mereka melakukan pressing dengan tiga pemain. Sementara itu, di area sentral dilakukan penjagaan terhadap pemain Chile. Fullback di sisi yang dekat dengan bola akan memosisikan diri mereka lebih agresif untuk mendapatkan akses ke fullback Chile. Dengan cara ini, mereka sukses memaksa Chile menggunakan bola-bola direct.
Perubahan lainnya yang dilakukan oleh Martino adalah adanya transposisi dari skema 4-3-3/4-1-4-1 ke 4-2-3-1. Pastore lebih banyak bergerak di zona no. 10 dengan tujuan agar ia menjadi pemain yang dapat mengintegrasi pergerakan Messi ke area sentral. Namun hal ini tidak terlalu banyak berpengaruh karena Pastore memiliki tendensi untuk bergerak ke halfspace kiri. Transposisi ini sedikit banyak dipengaruhi oleh perubahan orientasi mereka ketika melakukan pressing.
Pada menit ke-74, kedua pelatih melakukan pergantian pemain. Gonzalo Higuain menggantikan Aguero sementara Matias Fernandez menggantikan Valdivia. Kemudian, pada menit ke-80 Martino kembali melakukan pergantian dengan memasukkan Ever Banega menggantikan Pastore. Pergantian ini sebenarnya cukup mengejutkan karena Pastore merupakan satu-satunya pemain yang dapat mengintegrasikan pergerakan Messi ke area sentral, sedangkan Banega justru lebih banyak bergerak di area sentral.
Masuknya Banega ini memang membuat koneksi antara lini belakang dengan lini tengah Argentina lebih baik. Mungkin seharusnya Biglia-lah yang digantikan oleh Banega, alih-alih Pastore. Perubahan ini membuat lini tengah menjadi lebih padat karena Messi kali ini “menetap” di area sentral sehingga sulit bagi kedua tim untuk melakukan progresi. Skor kacamata bertahan hingga berakhirnya babak kedua. Sementara itu pada babak tambahan, kombinasi energi yang terkuras dan kepadatan di area sentral membuat kedua tim sulit untuk melakukan progresi. Kedua tim harus melanjutkan pertandingan hingga babak adu penalti yang akhirnya dimenangi oleh Chile.
Kesimpulan
Chile seharusnya dapat unggul terlebih dahulu dan bahkan tidak perlu bertanding hingga babak adu penalti jika mereka mampu memanfaatkan superioritas yang mereka dapatkan di ruang antarlini pada babak pertama. Sementara itu, Argentina nampaknya masih belum tahu bagaimana caranya untuk membuat sang superstar bersinar ketika mengenakan kostum biru langit-putih. Kekalahan Argentina ini juga menunjukkan pentingnya komunikasi tim yang berasal dari taktik. Skuat bertabur bintang bukanlah jaminan bahwa suatu tim akan bermain dengan baik.