Kita semua tahu kalau Inggris hanya sekadar negara yang tak lebih dari kata potensial di dunia sepak bola. Inggris selalu menghadirkan pemain-pemain berbakat namun selalu gagal memenuhi ekspektasi para penggemarnya. Mereka sampai kini tak pernah mencicipi lagi sebuah gelar resmi sejak terakhir kali menjadi juara dunia pada tahun 1966.
Pada era 2000-an awal kita dibuat berdecak kagum dengan kehadiran David Beckham, Paul Scholes, Frank Lampard serta Steven Gerrard di barisan lini tengah The Three Lions. Ditambah pelapis sekelas Michael Carrick, Gareth Barry serta Owen Hargreaves. Kita pun lancang menyebut timnas Inggris saat itu adalah generasi emas.
Prestasi yang dialami timnas Inggris bisa jadi stagnasi yang sulit dipecahkan. Jika ingin berprestasi, mereka mesti memiliki pemain berkualitas di sektor tengah. Hal ini sudah dibuktikan oleh dua juara dunia sebelumnya: Spanyol dan Jerman.
Di tangan Vicente Del Bosque, Spanyol memperagakan tiki-taka lewat deretan gelandang cerdiknya demi meraih kesuksesan. Andres Iniesta, Xavi Hernandez, Sergio Busquets hanyalah bagian kecil dari banyaknya gelandang magis di skuad La Furia Roja saat itu.
Sementara Jerman menjadi juara dunia berkat pembinaan yang sukses. Hasil dari pembinaan mereka menghasilkan pemain yang berkualitas di setiap sektor. Lini tengah menjadi sektor yang kebanjiran talenta. Mesut Ozil, Bastian Schweinsteiger, Sami Khedira dan Toni Kroos melalui jalan panjang dalam karir sepak bolanya sebelum bertitel juara dunia bersama Der Panzer.
Hal berbeda kini tengah dijalani Inggris di mana era Gerrard dan kawan-kawan sudah usai tanpa memberikan satu gelar pun. Praktis kini hanya menyisakan Michael Carrick dan James Milner sebagai pemain senior di lini tengah. Sangat klise jika kita membicarakan maraknya pemain asing di Inggris sehingga talenta lokal terpinggirkan. Lihatlah kini barisan lini tengah di Inggris. Dari sekian nama yang ada, siapa yang kini layak menyandang status bintang?
Fabian Delph
Pemain Manchester City ini terbilang anak baru di timnas Inggris. Caps-nya belum menyentuh dua digit. Tapi Roy Hodgson memiliki keyakinan akan pemain yang dijuluki “Snake” oleh fans Aston Villa ini.
Selama karirnya di Aston Villa, Delph sukses merebut hati para fans. Ia menjadi kapten sekaligus motor serangan di bawah asuhan Tim Sherwood musim lalu. Sherwood bahkan mengakui jika Delph mengingatkannya kepada Paul Gascoigne, salah satu legenda Inggris, seperti yang dikutip dari Mirror.
“Some players you don’t mind playing against and then there’s others, like Paul Gascoigne, who can put you on your backside. He will face you up and want to make you look stupid. Fabian has the ability to do that, and while Gazza used to do it with tricks, he does it witch more pace and drive.”
Berlebihan? Mungkin saja iya kalau kita melihat dari statistik karir Delph sampai saat ini. Nirgelar.
Sejatinya Delph adalah pemain bertipe box to box midfielder namun bisa dimainkan di sisi sayap sewaktu dibutuhkan. Kemampuan dalam melakukan passing dan dribbling membawanya ke level tertinggi sepak bola Inggris. Melihat Roy Hodgson gemar memainkan formasi 4-2-3-1 jelas ada harapan bagi Delph untuk merebut satu tempat reguler. Delph dapat menjadi partner bagi Jordan Henderson atau Jonjo Shelvey sebagai double pivot.
Untuk bersinar di timnas Delph tak cukup membutuhkan modal klub asal. Paul Gascoigne akan merasa terhina karena pernah disamakan dengannya jika ia hanya sekadar numpang eksis di timnas.
Jordan Henderson
Berlabel penerus Gerrard di Liverpool memang menjadi beban yang berat bagi Henderson. Di timnas ia praktis tidak memiliki beban apa pun. Kepercayaan yang Hodgson berikan sudah terlihat dari jumlah caps yang ia mainkan bersama Inggris, 22 caps.
Namun Henderson memiliki syndrom tersendiri jika bermain di timnas. Ia jarang tampil impresif dan kehadirannya di lapangan tak ayal hanya sebagai pelengkap lini tengah. Padahal di Liverpool, statistik Henderson terbilang cukup apik. Ia juga rajin membuat gol, hal yang tak terjadi ketika membela timnas.
Rotasi formasi yang dilakukan Hodgson bisa menjadi sebabnya. Posisi Henderson bermain kadang tak menentu. Ia sering digeser ke sisi sayap jika skuat Inggris sedang tak memadai. Meskipun diberkahi kemampuan versatile, nyatanya itu cukup merugikan bagi perkembangan karirnya di timnas.
Pada usianya yang kini menginjak 25 tahun adalah waktu yang tepat bagi Henderson menunjukkan kapabilitasnya di timnas. Euro 2016 adalah pembuktian terdekat baginya. Pemain yang menjadi cover FIFA 16 di Inggris ini harus sadar jika ia bukan titisan Steven Gerrard.
Jonjo Shelvey
Namanya baru mulai diperbincangkan akhir-akhir ini. Padahal Shelvey sudah muncul ke permukaan beberapa musim lalu kala membela panji The Reds. Namun aksi Shelvey pada awal musim ini akhirnya meluluhkan hati Roy Hodgson untuk memanggilnya kembali ke timnas kontra San Marino dan Swiss.
Kejeniusan Shelvey dalam melakukan key passes dan long shots menjadi sesuatu yang menarik untuk disaksikan. Ia pun mulai diberi peran baru sebagai deep lying playmaker oleh Garry Monk di musim ini. Peran yang sukses ia emban dalam empat laga awal Premier League.
Di timnas Inggris ia menjadi variasi baru di lini tengah. Hodgson dapat menempatkannya sebagai salah satu dari double pivot atau mengikuti apa yang dilakukan oleh Monk.
Dalam laga terbaru kontra Swiss, Shelvey bermain cukup gemilang. Shelvey sukses menjadi penyeimbang lini tengah bersama James Milner sampai di menit ke-57. Whoscored mencatat tingkat akurasi umpan Shelvey mencapai 89%. Ia juga aktif membantu pertahanan dengan melepaskan dua tackle sepanjang pertandingan.
Namun Shelvey mesti banyak belajar kepada seniornya di timnas seperti James Milner dan Michael Carrick. Yang ia butuhkan saat ini hanya jam bermain yang banyak baik di timnas maupun Swansea. Sungguh menarik apa untuk disimak bagaimana kiprah Shelvey bersama Inggris di masa depan.
Jack Wilshere
Berbicara nama yang satu ini selalu mengingatkan kita kepada dua hal: cedera dan rokok. Karir Wilshere memang seperti ombak. Pasang surut. Di timnas ia juga bermain angin-anginan. Bahkan perannya kerap tertutupi pemain yang lainnya.
Kita tahu bagaimana kualitas mantan pemain Bolton Wanderers ini. Ia memiliki skill yang bagus untuk ukuran pemain Inggris. Musuh terbesar Wilshere adalah dirinya sendiri. Hal-hal bodoh yang ia lakukan seperti merokok dan mengejek Spurs saat perayaan juara Piala FA hampir menghambat karirnya.
Pujian unik sempat dilontarkan Hodgson untuk Wilshere kepada Express bulan Juni lalu. Baginya, ia memiliki visi bermain yang sama seperti Paul Scholes.
“Paul was a goalscorer from midfield and he was a long passer, the same way Gerrard was. Jack has a unique game. He has the ability to receice balls on the turn, to twist and turn past players in the same movement, his vision in that respect he could probably be compared to Paul.”
Hal yang agak sulit untuk dimengerti bagaimana keduanya memiliki tipikal bermain yang berbeda. Menyamakannya dengan Scholes akan menodai pujian Zinedine Zidane yang menganggap Scholes sebagai gelandang terbaik di dunia.
Kini Wilshere sedang dalam tahap pemulihan cederanya dan absen saat Inggris bersua San Marino serta Swiss. Tapi selalu ada keinginan melihat ia bersinar di timnas karena Wilshere jelas memiliki potensi yang besar. Hal yang perlu dilakukan Wilshere untuk dapat bersinar di Inggris jelas hanya satu: konsistensi.
Saat kontra Swiss, Rabu (9/9) dinihari WIB praktis hanya Shelvey yang bermain hampir 90 menit. Sementara Delph meskipun memulai pertandingan sebagai starter, mesti ditarik keluar akibat cedera. Henderson dan Wilshere bahkan tak masuk skuat lantaran dalam tahap pemulihan.
Melihat kemungkinan yang ada, komposisi lini tengah Inggris saat Euro tahun depan tak akan jauh berbeda dari yang sekarang. Lalu, di antara Henderson, Wilshere, Delph dan Shelvey siapa yang pantas menyandang status bintang meneruskan pendahulunya? Jangan hitung James Milner dan Michael Carrick. Karirnya di timnas sepertinya tak akan lama lagi.
Memang tak mudah untuk bermain sebagai penghuni lini tengah di timnas Inggris. Semacam ada kutukan bermain jelek yang sudah ada sejak turun temurun. Para pendahulu yang dianggap bintang pun harus pensiun tanpa kilauan prestasi yang bisa dibanggakan.
Kembali ke soal prestasi lagi, jika Gerrard, Lampard, Scholes dan Beckham tak dapat memberikan satu pun gelar bagi Inggris apa yang bisa diharapkan dari nama-nama di atas?
Tenang saja, God Save the Queen.