Chelsea kembali memainkan pola 3 bek tengah. Menghadapi Tottenham Hotspur, 3 bek Chelsea yang dibangun dalam sebuah rangkaian pendulum 5 pemain belakang sangat berperan dalam menetralkan sirkulasi bola Hotspur. Pendulum 5 bek memudahkan manajemen pressing dalam blok rendah Chelsea.
Pendulum 5 bek Chelsea
Dari gelombang awal cara bertahannya, Chelsea membentuk pertahanan dengan pola dasar 3 bek tengah. Kedua bek sayap berdiri lebih ke depan di kedua koridor pada masing-masing tepi lapangan.
Dua gelandang tengah berjaga di area koridor tengah, dan dua penyerang sayap mengambil posisi melebar (di half-space) sedikit di atas duo gelandang tengah tadi.
Cara bertahan ini berbeda dengan FC Rostov, misalnya, yang tengah pekan kemarin sukses mengalahkan Bayern Munchen dengan skor 3-2.
Dalam bentuk awal pertahanannya, yang juga memainkan 3 bek tengah, Rostov fokus pada pola 5 bek yang ditopang oleh 3 gelandang tengah. Sementara Chelsea, seperti yang disebutkan di atas, memulai pertahanan dari bentuk 3 bek tengah.
Pilihan Antonio Conte, pelatih Chelsea, menandakan ia ingin para pemainnya mempertahankan intensitas pressing di lini kedua (lini tengah). Lewat mendorong kedua bek sayap ke atas, Chelsea sedang menyediakan akses pressing ke lini tengah sejak awal.
Cara bermain Rostov menandakan tim Rusia tersebut lebih memilih fokus habis-habisan ke blok rendah, sekaligus mengurangi ruang gerak Bayern di kedua sisi sayap. Dua bentuk dari 3 bek tengah bermain dengan manajemen berbeda, yang memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing.
Kembali ke derby London. Ketika kemudian tim tamu berprogresi dan mencoba mengembangkan serangan melalui sisi sayap, pola 3 bek tengah bertransposisi ke bentuk 5 bek. Tetapi, dalam praktiknya, rantai 5 bek ini tidak selalu kaku diterapkan sebagai 5 bek dalam satu rantai.
Mengapa? Karena, ketika tuan rumah bertahan terhadap serangan sayap Tottenham Hotspur, pola bertahan ke-5 bek mereka lebih seperti pendulum. Contoh, bek sayap sisi bola akan langsung bergerak naik untuk menempatkan pressure kepada gelandang sayap tim lawan.
Sementara itu, 3 bek tengah dan bek sayap sisi jauh dari bola merapat ke tengah untuk menciptakan perlindungan yang optimal terhadap celah horizontal yang mungkin ada. Keempat bek lainnya tidak serta merta bergerak dengan orientasi penuh kepada bola (full ball-oriented).
Bek sayap sisi jauh Chelsea lebih memilih merapat kepada ketiga bek tengah ketimbang memfokuskan orientasinya ke area sayap jauh. Orientasi bertahan bek sayap sisi jauh ini yang membuat lini terakhir Chelsea berbentuk rantai 5 dengan efek (seperti) pendulum.
Efek (seperti) pendulum ini membuat lini terakhir Chelsea menyisakan 4 pemain di area paling belakang dengan membiarkan bek sayap sisi bola bertindak sebagai presser utama di sayap.
Faktor lain yang membuat bek sayap sisi jauh Chelsea lebih memilih berfokus ke area tengah adalah karena Conte memainkan orientasi pressing-nya dengan berpatokan kepada pemain lawan namun tetap mempertahankan akses untuk menjaga space (ruang) individu.
Dalam Bahasa Inggris, istilah varian pertahanan semacam ini dapat disebut sebagai space-oriented man-coverage.
Contoh Marcos Alonso, bek sayap kiri Chelsea. Saat Tottenham Hotspur menyerang melalui sayap kiri, Christian Eriksen, akan bergerak jauh ke tengah, mendekat ke area di mana bola dimainkan.
Karena posisi Alonso adalah bek sayap kiri, otomatis pemain yang dihadapinya adalah Eriksen. Alonso akan terus mempertahankan akses pressing-nya kepada Eriksen, sampai pemain Denmark tersebut menjauh dari ruang (space) yang wajib dilindungi. Tugas menjaga Eriksen beralih kepada pemain lain.
Dengan pergerakan menyerang Eriksen berorientasi pada posisi bola, sering terlihat Eriksen bergerak jauh dari kanan ke tengah demi membantu menciptakan spacing ideal dalam sirkulasi bola Tottenham.
Dan, pressing Alonso, dalam blok rendah Chelsea berorientasi kepada pergerakan Eriksen, yang pada giliannya memengaruhi pengambilan mantan pemain Fiorentina itu dalam struktur blok pertahanan.
Di lini tengah (lini kedua), Pedro Rodriguez dan Eden Hazard akan segera masuk ke lini kedua dengan berpatokan pada posisi bola dalam bentuk sirkulasi Tottenham. Kekuatan dan kestabilan pergeseran horizontal blok Chelsea ikut dipengaruhi oleh sikap bertahan kedua penyerang sayapnya.
Bagaimana bisa? Begini. Pengambilan posisi bertahan kedua penyerang sayap, dengan masuk ke lini gelandang, memudahkan manajemen pressing Chelsea. Karena, dengan keduanya masuk ke lini kedua dan merapat ke half-space serta area tengah, salah satu gelandang tengah “sebenarnya” bisa kapan pun melakukan onward-pressing (pressing yang mengarah ke arah gawang lawan).
Dengan kehadiran serta kedekatan jarak yang diciptakan oleh Hazard dan Pedro, akses bertahan Chelsea sangat terjaga. Ini memungkinkan N’Golo Kante untuk bergerak naik demi melakukan press kepada pos #8 Tottenham, misalnya.
Dengan Kante bergerak ke atas dan poros Hazard-Pedro berjaga di lini tengah, compactness horizontal Chelsea terjaga, sehingga, Nemanja Matic bisa menyesuaikan posisinya.
Bila diperlukan, Matic bisa segera turun ke pos #6 Chelsea demi memperkuat compactness vertikal sekaligus menjaga pemain dari tim tamu yang berusaha mengeksploitasi celah di depan bek Chelsea.
Juga, dengan pergerakan kedua penyerang sayap yang merapat (jauh) ke tengah, berulang-kali Chelsea menang jumlah dan membantu mereka memenangi perebutan bola. Gol kedua Chelsea berawal dari suksesnya Chelsea memanfaatkan situasi semacam ini.
Pedro, Matic, dan Kante menciptakan barikade di zona 5 serta membuat ketiganya mendapatkan superioritas jumlah terhadap Mousa Dembele dan Victor Wanyama (3v2). Saat terjadi bola liar, dengan segera Kante mampu memotongnya.
Bola jatuh ke sisi kiri, kepada Hazard. Oleh pemain Belgia tersebut, serangan Chelsea diprogres dengan segera sampai akhirnya membuahkan gol Victor Moses.
Pressing yang dilakukan Tottenham Hotspur
Seperti yang selalu dilakukan Tottenham, dalam bentuk awal bertahannya, mereka selalu memainkan pressing blok tinggi. Menghadapi pola staggering Chelsea memang sedikit merepotkan Tottenham.
Dalam build-up dari belakang, Chelsea menggunakan 3 bek tengah yang dua diantaranya menyebar jauh ke kedua sayap. Merespons hal ini, Tottenham menggunakan 3 pemain dalam lini pertama pressing mereka. Harry Kane, Son Heung-Min, dan Dele Alli mengisi lini pertama.
Di lini kedua, Eriksen menjaga Matic serta fokus kepada Alonso dibantu Kyle Walker. Dembele mengawasi Moses. Dalam fase ini, sesekali pressing Tottenham tidak menemukan koordinasi dengan ritme dan harmonisasi yang sama.
Beberapa kali, Kante mendapatkan ruang untuk menerima sodoran bola dari lini pertama. Konsentrasi Wanyama sering terpecah antara “mengambil” Kante atau melindungi celeh vertikal di depan bek.
Di babak kedua, isu yang sama masih terlihat. Bahkan, lepas dari babak pertama, Chelsea seperti mendapatkan alternatif lain dalam skema progresinya. Yaitu, melalui kedua bek sayap. contoh di awal babak kedua. Chelsea “menggeser” sirkulasi build-up ke sisi kiri. Lalu, dari sisi kiri, mereka melakukan perpindahan cepat ke kanan.
Dalam perpindahan-perpindahan semacam ini, Tottenham kesulitan mempertahankan akses pressing mereka. Memang, di area tengah, tim asuhan Mauricio Pochettino ini dapat menjaga compactness dan meniadakan jalur umpan diagonal.
Namun, saat Chelsea berhasil memindahkan permainan ke tepi sebelah kanan, baru terlihat betapa besar ruang yang tersisa di sana. Cesar Azpilicueta dan Moses dengan mudah menerima sodoran bola dari rekan-rekannya. Kane, Alli, Eriksen, Son, Dembele, dan Wanyama terfokus ke sisi kiri Chelsea, menyebabkan Moses dan Azpilicueta bebas mendapatkan ruang.
Pada dasarnya, memberikan ruang di sayap merupakan strategi ideal untuk menghambat progresi lawan ke area tengah. Tetapi, bila tidak diikuti pergeseran horizontal yang memadai dan didukung oleh akses pressing yang tepat, lawan akan mendapatkan (terlalu) banyak ruang untuk berkreasi.
Chelsea betul-betul mampu memanfaatkan kehadiran kedua bek sayapnya kali ini, terutama, di babak kedua.
Melihat apa yang telah dijelaskan di atas, ada sedikit gambaran bahwa Chelsea dengan mudah melewati pressing Tottenham. Padahal tidak. Apalagi di babak pertama.
Berkali-kali Chelsea kehilangan ruang berprogresi ketika berhadapan dengan pressing blok tinggi tim tamu. Berkali-kali pula, mereka memainkan bola-bola panjang ke bek sayap atau kepada Eden Hazard yang dengan mudah ditangani oleh Tottenham.
Chelsea sering kalah jumlah di sayap. Contoh, Thibaut Courtois yang kehilangan opsi umpan “bersih” segera melepaskan umpan melambung jarak jauh ke Alonso. Lantaran umpan yang dilakukannya tidak terencana, Walker dan Eriksen dengan mudah menjepit Alonso.
Terkadang, Tottenham menggunakan bantuan pemain #8-nya yang bergerak melebar, ke sisi bola diarahkan, untuk melakukan overload si penerima umpan.
Tottenham lebih sering memenangi bola kedua hasil umpan jauh lini pertama Chelsea. Ini menjadi salah satu faktor dominannya persentase penguasaan bola Tottenham di babak pertama.
Chelsea banyak memakai kdua bek sayap yang bergerak melebar dikombinasi dengan penyerang sayap yang menyempit ke tengah untuk mendapatkan akses progresi. Dan, seperti yang dijelaskan di atas, secara umum, progresi bersih Chelsea ke sepertiga akhir terhitung minim.
Sampai 30 menit babak pertama, terlihat dalam progresi Chelsea, bola banyak diarahkan ke kiri. Terutama, ketika akses “bersih” di sepertiga awal tidak mereka dapatkan. Sasaran utamanya adalah Hazard.
Chelsea mengandalkan umpan jauh dari Courtois atau bek kepada Diego Costa atau Alonso, yang bergerak vertikal, menggunakan kemampuan duel udara kedua pemain tersebut untuk melakukan flick-on ke Hazard.
Skema ini terkadang berjalan “kurang bersih”, dikarenakan, pertama, bola langsung diarahkan ke Hazard yang lemah dalam duel udara. Kedua seperti yang juga disebutkan di atas, saat bola diarahkan ke koridor sayap, dukungan dari Costa atau lini tengah terhitung tidak ada.
Saat Tottenham terlihat di atas angin, Chelsea sukses memanfaatkan kegagalan gegenpressing Tottenham akibat struktur posisional dan antisipasi bertahan yang lemah, ketika Dembele kehilangan bola di zona 5 Chelsea. Kegagalan gegenpressing ini memberikan kesempatan berprogres, yang berakhir dengan gol Pedro.
Build-up dan sirkulasi bola Totenham menghadapi pressing Chelsea
Tottenham menggunakan 2 bek tengah ditambah 1 gelandang #6 untuk melakukan build-up. Kedua bek sayap Tottenham bergerak jauh ke depan mengikat 2 penyerang sayap Chelsea, yang menyebabkan hanya tersisa Diego Costa dalam lini petama pressing mereka. Tottenham dapat dengan mudah melewati pressing ini.
Penyebab lain Tottenham dapat dengan mudah melakukan progresi adalah banyaknya opsi umpan diagonal yang mereka dapatkan.
Di babak pertama, Chelsea kesulitan melindungi akses diagonal Tottenham. Ditambah kemampuan tim tamu bermain di celah vertikal masing-masing ruang antarlini Chelsea, membuat dominasi Tottenham dalam penguasaan bola, di babak pertama, sangat terasa.
Gol Tottenham sendiri diperoleh melalui cara yang cantik. Sesaat sebelum menerima umpan dari Kevin Wimmer, Dembele melakukan shoulder-check untuk memeriksa posisi rekan-rekannya. Ia mengidentifikasi Alli yang berada di belakang garis pressing lini tengah Chelsea.
Ketika kemudian ia mendapatkan bola, Dembele merusak persepsi Kante dengan cara menahan diri tidak segera menggiring bola. Pemain yang memiliki kemampuan menahan bola untuk melihat situasi dan memprovakasi lawan disebut La Pausa.
Teknik yang diperagakan Dembele berhasil. Kante “terjebak” dan meninggalkan posnya untuk menekan gelandang asal Belgia tersebut. Ketika Kante berlari mendekat, dengan cerdik, Dembele melepaskan umpan pendek sederhana yang ditujukan kepada Alli.
Lantaran Kante meninggalkan posnya, Alli mendapatkan ruang vertikal untuk menggiring bola mendekati kotak penalti. Pergerakan Alli ini memancing David Luiz untuk naik meninggalkan pos bek tengah. Hasilnya, Eriksen tidak terjaga di area berbahaya Chelsea. Dengan sedikit kontrol, Eriksen melepaskan tembakan akurat yang tak mampu digapai Courtois. Proses yang cantik!
Dembele in the process of Spurs’ goal (against Chelsea): shoulder-check, provoke press, and manipulate perception. pic.twitter.com/SZmnSSgwd7
— Ryan Tank (@ryantank100) November 27, 2016
Gol Tottenham ke gawang Chelsea
Chelsea membaik di babak kedua, Tottenham kehilangan intensitas
Di awal babak kedua tidak banyak perbaikan yang diperlihatkan oleh Chelsea. Mereka masih kerap kesulitan menemukan akses progresi “bersih” ketika menghadapi pressing blok tinggi Tottenham.
Selain spacing yang tidak optimal, juga disebabkan oleh beberapa keputusan individual. Seperti, membawa bola ke sisi lapangan padahal ada yang lebih aman ke tengah dan lain sebagainya.
Namun, perlahan, Chelsea mampu menemukan ritme yang pas. Opsi umpan diagonal mendatar semakin banyak, level compactness dalam pressing Tottenham berkurang, dan intensitas pergerakan serta umpan dalam build-up yang semakin melemah.
Tottenham kerap kehilangan bola dalam pressing blok tinggi. Karena compactness yang kurang terjaga, jalur umpan diagonal bagi Chelsea pun ikut bertambah. Tottenham semakin terlihat kesulitan menghadapi pola 3-4 build-up Chelsea. Maksud pola 3-4, adalah 3 bek tengah, 2 gelandang tengah, dan 2 bek sayap.
Chelsea sendiri mencetak gol keduanya justru ketika kondisi kedua tim masih relatif sama seperti di babak pertama, ketika Tottanham masih lebih menguasai ball-possession dan The Blues yang belum kunjung menemukan cara melewati pressing tim tamu.
Dalam gol ini, kita bisa melihat betapa besar peran #9 dalam skema serang Chelsa. Diego Costa sering ditemukan begerak ke half-space atau sayap demi membuka celah horizontal. Penyerang Spanyol ini juga menjadi konektor progresi dari area bawah ke atas. Conte sering mendayagunakan kehadirannya dalam mendapatkan akses progresi.
Walaupun di babak pertama banyak terlihat problem skematik ketika Chelsea mencoba berprogres melalui Costa, tetapi, pada akhirnya, peran striker bengal dalam gol Moses dan beberapa peluang lainnya tidak bisa dipinggirkan.
Setelah berbalik unggul, blok rendah pertahanan Chelsea semakin menemukan angin. Tim tuan rumah mampu menutup celah vertikal dan menjaga compactness horizontal dengan sangat baik.
Sistem yang diterapkan Conte dengan memainkan dua penyerang sayap jauh ke tengah untuk ikut melindungi zona 5 membuat Kante atau Matic bisa bergantian berkonsentrasi ke celah vertikal di depan lini terakhir.
Seperti yang disebutkan di atas, hal ini ikut membantu manajemen pressing Chelsea. Dengan jarak horizontal dan vertikal terjaga dalam struktur Chelsea, kedua half-back (bek tengah samping), bisa kapan pun menempatkan pressure ke area di depan lini terakhir.
Jarak yang terjaga, membuat bek sayap terdekat dan center-half (bek tengah dalam sistem 3 bek) mendapatkan akses memadai untuk memberikan cover terhadap pergerakan si half-back tadi.
Pergantian pemain
Pochettino memasukan Harry Winks untuk menggantikan Son yang tidak maksimal. Masuknya Winks membuat Dembele didorong lebih ke atas, ke pos #10 dan Alli digeser ke sayap kiri.
Perubahan ini logis karena sejak awal Dembele memperlihatkan kemampuan individu yang mumpuni dalam menghadapi ketatnya barikade lini tengah Chelsea. Ditambah pressure-resistance Dembele yang tinggi, Pochettino berharap ia mampu mengacaukan area #6 Chelsea.
Hanya saja, pada praktiknya, perubahan ini pun tidak menemukan efek maksimal. Karena, pertama, Chelsea mampu menjaga compactness vertikal. Sehingga, menghambat segala efek yang bisa ditimbulkan tim tamu di sekitar zona 5 pertahanan.
Di sisi lain, saat mencoba masuk dari sayap, Tottenham tidak memperlihatkan struktur dengan overload mencukupi dan konsisten.
Tanpa overload memadai, serangan Tottenham banyak terhenti atau berlanjut secara horizontal. Tanpa overload memadai, skema serang Tottenham terlihat kesulitan untuk masuk ke tengah melalui half-space dikarenkan ketiadaan opsi diagonal.