Beberapa saat usai Alfred Riedl memastikan bahwa Irfan Bachdim mengalami cedera retak tulang fibula dan harus absen dua bulan, semua menjadi serba sulit bagi Indonesia.
Usai merantau di Liga Jepang bersama Consadole Sapporo, pemain kelahiran Amsterdam, Belanda ini adalah salah satu kepingan penting dari skuat Riedl. Data statistik juga berbicara demikian. Dari tiga laga persahabatan yang dilakoni, Bachdim mengoleksi tiga gol dan satu asis.
Kejadian ini patut disayangkan karena dua hal. Pertama, kronologi terjadinya cedera. Tekel Hansamu Yama Pranata kepada Bachdim adalah salah satu yang patut dikritisi.
Untuk sebuah sesi latihan hanya beberapa hari jelang turnamen, tekel Hansamu adalah bentuk pilihan yang buruk. Hansamu, sebagai pemain sepak bola profesional harusnya sadar, persiapan jelang turnamen bukan ajang untuk mengasah seberapa garang tekelmu.
Jelang Piala Dunia 2014, kala Inggris bersua Ekuador di satu laga latih tanding, saya ingat satu kejadian. Kartu merah yang diterima Antonio Valencia kala mencekik leher Raheem Sterling beberapa menit jelang akhir laga.
Terjangan terlambat Sterling ke kaki Valencia yang kemudian berujung kartu merah memantik emosi kapten Ekuador ini. Walau kaki Sterling tak mutlak mengenai Valencia, tindakan itu sudah cukup membuat bek Manchester United itu untuk naik pitam dan mencekik Sterling yang berujung pada kartu merah buat keduanya.
Seusai laga, Valencia menjelaskan bahwa emosinya tersulut karena kaki Sterling mengarah ke lututnya dan berpotensi membuatnya cedera jelang Piala Dunia.
Itu hanya contoh dari sebuah laga persahabatan jelang Piala Dunia. Dan bayangkan, bagaimana jadinya kala kamu menerima cedera serius beberapa hari jelang turnamen dari kawanmu sendiri saat sesi latihan? Hansamu harus tahu tindakannya sangat tidak tepat dan efeknya bisa membuat Riedl mengalami sakit kepala yang tak sebentar.
Kedua, fungsi Bachdim di skema Riedl. Bersanding dengan Boaz Solossa di posisi dua penyerang di depan, Bachdim adalah kepingan yang melengkapi kemampuan Boaz dalam mengancam pertahanan lawan.
Sebagai contoh, saat laga terakhir melawan Vietnam. Satu serangan balik cepat bisa diinisiasi oleh Bachdim dengan melewati satu pemain lawan sebelum mengirim umpan untuk Stefano Lillipaly yang bola muntah tendangannya dikonversi Boaz menjadi gol.
Itu hanya satu contoh peran penting Bachdim dalam skema Riedl. Dan kehilangan dirinya merupakan sesuatu yang sangat amat disesali tidak hanya oleh Riedl, tapi juga suporter tim nasional.
Bachdim sebagai suffaco
Ada dua istilah di sepak bola yang populer di kalangan jurnalis dan analis taktik, yaitu pausa dan suffaco. Pausa, yang kurang lebih mengacu pada kemampuan seorang pemain dalam mengatur tempo permainan dan aliran bola.
Contoh populer dari pausa bisa Anda temukan pada sosok Ricardo Bochini dan Juan Roman Riquelme. Lalu suffaco yang kurang lebih bermakna sebagai kemampuan dan peran bagi seorang pemain untuk mengganggu pemain belakang lawan.
Di Inggris, publik mengenal peran ini sebagai Defender Attacker. Anak Football Manager lebih familiar dengan istilah ini sebagai Deep-lying Forward atau Defensive Forward. Mereka yang bergentayangan di final third untuk memberikan tekanan pada pemain lawan, utamanya yang berposisi di lini belakang.
Di Italia, peran suffaco sering diterapkan dan yang paling populer salah satunya adalah apa yang dterapkan Walter Mazzari di Napoli. Mazzari, yang kini melatih Watford, memberikan peran suffaco pada Sang Slovakian punk, Marek Hamsik.
Satu pilihan dalam bingkai taktik yang luar biasanya mengangkat performa Hamsik dan menjadikannya salah satu suffaco terbaik di Italia.
Peran ini yang banyak dilihat sebagian orang tengah dilakoni Irfan Bachdim di timnas Indonesia saat ini. Dalam beberapa contoh, misal, laga melawan Malaysia. Ada dua hingga tiga kali Bachdim sukses merebut bola dari penguasaan pemain belakang Malaysia.
Kesuksesan itu tentu saja terbantu dengan tidak sigapnya bek-bek Malaysia menghadapi tekanan yang diberikan Bachdim dan Boaz. Juga pemosisian Bachdim yang sedikit di bawah Boaz (tidak sejajar sebagai dua ujung tombak) yang membuat jalur umpan dari bek Malaysia ke pemain tengah sedikit kacau.
Satu contoh lagi, di laga pertama kontra Vietnam yang berakhir imbang 2-2. Catatan pelanggaran yang dibuat Bachdim di laga itu mencapai angka enam. Bahkan empat pelanggaran dia lakukan kepada pemain belakang lawan.
Sebagai perbandingan, rata-rata pelanggaran yang dilakukan penyerang-penyerang di Eropa hanya berkisar di angka 2-3 per pertandingan. Salah satu contoh peranan penting suffaco adalah memberi tekanan pada lawan sekaligus berpotensi meningkatkan rasio jumlah pelanggaran yang akan diraih si pemain.
Dan kenapa kehilangan Irfan Bachdim masih sangat pantas diratapi adalah fakta bahwa selain rajin melakukan peran terbaiknya sebagai suffaco, suami Jennifer Bachdim ini juga rajin mencetak gol. Catatan tiga golnya jelas menjadi bukti jelas bahwa ketidakhadirannya di skuat timnas saat ini adalah kerugian yang besar.
Normalnya, peran suffaco akan mengurangi catatan gol yang diraih si pemain yang mengemban tugas tersebut. Contohnya banyak, dan yang paling gampang, peran Shinji Okazaki bagi Leicester City musim lalu.
Di musim dongeng tersebut, pemain Jepang ini hanya mencetak 5 gol dari 36 pertandingan yang dilakoninya. Bandingkan dengan tandemnya, Jamie Vardy, yang sukses melesakkan 24 gol dengan jumlah pertandingan yang sama.
Dan penjelasan panjang di atas saya rasa cukup kenapa selain menyesalkan tekel ceroboh Hansamu, kita juga patut merindukan hilangnya Bachdim dari timnas.
Salah seorang suffaco terbaik untuk level timnas Indonesia yang sayangnya akan susah direplikasi perannya dengan baik oleh Lerby Eliandry, Ferdinand Sinaga, atau sang pengganti, Ferinando Pahabol.
Skema tanpa Bachdim
Alfred Riedl hampir tidak pernah turun dengan formasi baku selain 4-4-2. Entah beliau terinspirasi kisah surealis Claudio Ranieri musim lalu atau terpukau dengan tangguhnya 4-4-2 ala Diego Simeone. Yang jelas formasi itu hampir selalu dipakai Riedl selama uji coba.
Mengganti formasi baku dalam waktu singkat bukan perkara gampang. Pelatih harus menyesuaikannya dengan kualitas pemain yang ada. Dan pemain harus melakukan adaptasi skema dan posisi bermainlagi. Sedangkan laga perdana melawan Thailand hanya tinggal menghitung hari.
Besar kemungkinan Riedl akan tetap memakai opsi 4-4-2 dengan Lerby sebagai penyerang murni dan Boaz yang akan ditugaskankan untuk menjalankan peran Bachdim. Atau opsi kedua, mencoba memakai Ferdinand Sinaga.
Di masa jayanya kala mengantarkan Persib Bandung juara liga, Ferdinand adalah pemain yang memiliki kapabilitas apik untuk bermain sebagai penyerang modern. Ia bisa berlari menekan lawan. Punya kecepatan untuk serangan balik. Finishing-nya pun bagus walau kemampuannya selama di PSM Makassar sedikit menurun dibandingkan kala berseragam Persib.
Opsi ketiga, siapa lagi kalau bukan The Smiling Papua, Ferinando Pahabol. Akhir pekan lalu saat melawan Persib, impresi saya akan Pahabol sedikit meredup. Meladeni kuartet bek Persib, ia kewalahan dan tampak frustasi. Contohnya sederhana, Pahabol jarang sekali tersenyum di laga itu.
Pahabol punya teknik dan kecepatan khas pemain Papua yang bisa memberi dimensi berbeda jika ia disandingkan bersama Boaz di lini depan. Tapi sekali lagi, semua butuh skema. Dan skema baru tanpa Bachdim butuh waktu untuk adaptasi dan diaplikasikan dengan tepat guna.
Setelah semua ini, kita tinggal kembali ke tugas pokok seorang suporter. Selalu berada di belakang timnas apa pun kondisinya.