Anda Lelah, Pep?

“I will be at Manchester for the next three seasons, maybe more, but I am arriving at the end of my coaching career, of this I am sure.” – Pep Guardiola

Memahami kalimat “I am arriving at the end of my coaching career” bisa memberi banyak sudut pandang bagi kita. Salah satunya, memaksa kita percaya bahwa pelatih botak jenius dari Catalan itu tengah mempertimbangkan untuk pensiun.

Ia masih 45 tahun. Usia yang kelewat muda mengingat Sir Alex Ferguson (SAF) pensiun di usia 72 tahun dan rival klasik SAF, Arsene Wenger, masih melatih di usianya yang menginjak kepala tujuh tahun ini. Pertanyaan yang sederhana pun mengemuka, ada apa dengan Pep Guardiola?

Enam bulan pertama pria Spanyol ini di Inggris, semua serba naik-turun. Manchester City mengawali musim dengan sempurna. Mengemas 10 kemenangan beruntun sebelum mesin perang Mauricio Pochettino dan anak-anak muda London Utara menghentikan laju kemenangan Pep dengan cara yang brilian.

Kekalahan dari Tottenham Hotspur adalah awal dari apa yang mungkin saya yakini dan jelas disadari betul oleh Pep, bahwa melatih sepakbola di Inggris tidak akan pernah mudah.

Dari transkrip wawancara Thierry Henry dan Pep di Skysports, kita akan tahu bahwa dari jauh hari, Xabi Alonso, eks anak asuh Pep di Bayern Munchen, sudah memberi wejangan yang esensial bagi Pep. Wejangan tersebut berkaitan dengan gaya melatih di Inggris dan segala problematikanya.

“Xabi told me that we must aware with second ball, but no, in EngIand, I adapt to prepare in third ball and even the fourth ball,” ujar Pep pada Henry. Tapi melatih di Inggris bukan perkara taktikal semata. Bukan perkara bola lebih banyak ada di udara atau dimainkan di atas rumput.

Britania adalah taman bermain bagi banyak gaya sepak bola. Dari Wengerball yang mengandalkan umpan pendek dan penguasaan bola, sampai gaya bermain rugby ala Tony Pulis dan long ball favorit Sam Allardyce. Semua mendapat tempat di Inggris asal memenuhi kriteria mutlak: Bermain menyerang dan mencetak banyak gol.

Publik akan mengapresiasi setiap tekel, tendangan ke gawang, dan gol yang terjadi. Semua. Asalkan kamu memberi mereka sepak bola yang menarik dan menyerang. Itu alasan sederhana kenapa (mungkin), suporter Chelsea begitu mudah berpaling cintanya dari Jose Mourinho ke Antonio Conte.

Ini berbeda di Spanyol. Tempat Pep tumbuh besar, mengembangkan karier sepak bolanya, menjadi bagian Dream Team Johan Cruyff di Barcelona, sampai kemudian mengawali karier manajerial yang menjadi dongeng indah di Catalan.

Di Spanyol, Barcelona bisa memenangi pertandingan dengan angka telak tapi tetap dicaci apabila mereka kalah penguasaan bola. Hasil tidak pernah menjadi ciri mutlak untuk mengapresiasi sebuah tim. Mereka membutuhkan gaya. Barcelona harus menang, tidak hanya dengan angka besar, tapi juga dengan cara megah dan menarik.

Itulah kenapa tiki-taka muncul kendati Pep lebih menyukai Juego de Posicion (JdP). Tiki-taka terlalu menyederhanakan sebuah proses, dari permutasi posisi, dipadu umpan pendek cepat ala rondo, yang dimainkan dengan intensitas tinggi dan diimbangi skema pressing yang tinggi pula.

Dengan ide ini, Pep dan Barcelona menguasai Eropa dan dunia. Gelar sextuple pun diraih dengan cara yang luar biasa cantik. Pep membuat para moralis percaya, menang dengan megah adalah mungkin, bukan hanya fantasi.

Dan, karakter Pep yang perfeksionis dan menyukai setiap detail kecil membantunya membentuk gaya bermain yang megah. Sayangnya, Inggris mementahkan semua keyakinan Pep sebagai pria perfeksionis.

Inggris memberi ketidakmungkinan yang menjadi mungkin bagi Pep. Bagaimana Sean Dyche dan Burnley, yang notabene tim promosi, mampu membuat sakit kepala seorang Pep Guardiola, sang maestro taktik sepak bola?

Sama seperti akhir karier fantastisnya di Barcelona setelah empat tahun, saya percaya, Pep kini mengalami lagi apa yang dulu ia sebut draining and need to fill up saat ditanya kenapa ia memutuskan mundur dari Barcelona. Bedanya, ia mengalami itu setelah empat tahun yang fantastis di Catalan, sedangkan di City, ia baru melatih enam bulan.

Tutup mata sejenak dan bayangkan sebentar, dalam enam bulan, seorang jenius sepak bola dari Spanyol bisa lelah dan frustasi. Coba bayangkan dengan membandingkan karier Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger yang sudah puluhan tahun melatih di Inggris.

Inggris adalah tempat ajaib. Britania tidak pernah mudah ditaklukkan, bahkan sejak zaman dahulu kala. Romawi butuh berganti tiga kaisar dan melewati perang puluhan tahun yang melelahkan guna menuntaskan ekspedisi penaklukan di Britania dan menghadapi bangsa Celts yang baru merasa menang perang, apabila sudah memenggal kepala musuhnya.

Britania adalah wilayah yang jauh lebih sulit ditaklukan dibanding Germania atau pesisir utara Afrika.

Kesimpulan yang saya ambil, sebenarnya sederhana saja. Pep hanya perlu berkendara beberapa jam ke London Utara sambil membawa sebotol anggur asli dari Bordeaux, menemui seorang pelatih kawakan dari Prancis, dan menanyakan beberapa tips supaya memiliki mental yang kuat agar mampu melatih di Manchester sampai tiga tahun mendatang.

Dan Monsieur tua itu hanya akan memberi Pep empat kata singkat: Mohon bersabar, ini ujian.

Komentar

This website uses cookies.