Pada era digital seperti saat ini, ada banyak data yang bisa diakses di internet. Begitu pula untuk sepak bola. Setiap harinya selalu ada berita terbaru seputar olahraga sebelas lawan sebelas ini.
Jika dahulunya kita mengandalkan televisi untuk menyaksikan pertandingan dan informasi dari media cetak, maka kini kita bisa memperoleh banyak informasi hanya dengan membuka Twitter saja. Di sana kita bahkan bisa menemukan apa yang tidak kita peroleh di televisi dan media cetak sebelumnya.
Kita dengan mudah bisa menyaksikan tayangan ulang gol yang terjadi. Pun dengan informasi seputar gosip pesepak bola, mulai dari siapa pacar terbaru Cristiano Ronaldo, barang belanjaan Wayne Rooney ketika bersama istri ke supermarket, hingga gosip threesome (aktivitas seksual, red.) antara Anthony Martial, Timothy Fosu-Mensah dengan seorang model pun bisa kita ketahui.
Tidak berhenti di situ, media kini menyodorkan informasi dalam bentuk angka. Tidak hanya tentang berapa hasil pertandingan dan nomor punggung pemain, tapi hingga aksi pemain di lapangan saat ini sudah disajikan dalam angka. Deretan angka yang kemudian diyakini bisa untuk mengukur performa.
Statistik sepak bola sudah berkembang amat pesat. Baik dalam hal pengumpulan datanya hingga trivia yang didiseminasikan untuk menjadi konsumsi publik.
Walaupun baru booming sekitar lima tahun belakangan ini, usaha untuk mencatat angka-angka dalam sepak bola sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari. Adalah Thorold Charles Reep, sosok yang disebut sebagai salah satu pionir dalam pencatatan statistik sepak bola.
Namanya hadir di buku The Numbers Game: Why Everything You Know About Football is Wrong karya Chris Anderson dan David Sally. Reep sejatinya bukan orang bola. Dia adalah akuntan yang bekerja di Divisi Akuntan Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) dengan jabatan Wing Commander.
Dia mulai tertarik dengan sepak bola setelah bertemu dengan Charles Jones, kapten Arsenal, pada suatu hari di tahun 1933. Keduanya bertukar pikiran mengenai sayap.
Reep bercerita tentang pertempuran dan sayap pesawat militer. Bagaimana menyerang dengan pesawat militer dan memutari barikade musuh itu bisa berjalan efektif.
Charles berkisah mengenai sisi sayap dalam sepak bola. Daerah sayap yang di sepak bola Inggris dikenal sebagai area yang menjadi mula terciptanya gol. Jika Anda menggemari Liga Inggris sejak lama, maka sudah menjadi suatu hal yang wajar jika klub Inggris amat dominan melakukan serangan melalui sisi sayap.
Pada 18 Maret 1950, ada pertandingan Swindon melawan Bristol Rovers. Pertandingan inilah yang menjadi laga pertama yang statistiknya dicatat oleh Reep.
Selanjutnya adalah sejarah, Reep terus melakukan pekerjaan statistik hingga membuat kecenderungan mengenai berapa jumlah umpan untuk menjadi gol, mengapa penonton Inggris bersorak ketika timnya memperoleh sepak pojok, mengapa pemain Inggris suka mengirimkan umpan panjang, dan sekelumit pola lainnya dalam sepak bola.
Kecenderungan yang dicatat oleh Reep pun menjelaskan mengenai sistem bermain sepak bola ala Kick n Rush yang begitu mengandalkan umpan panjang yang mana memiliki akurasi rendah alias mudah dimentahkan. Hanya 8,5 persen pergerakan umpan yang bisa menghasilkan lebih dari 3 umpan sukses.
Umpan panjang mungkin dianggap tidak efektif, tapi tetap bisa menjadi senjata yang mematikan. Umpan panjang untuk mengawali serangan balik bisa begitu cepat mencapai lini belakang lawan. Bola yang diumpan bergulir lebih cepat daripada lari seorang pemain, jadi bola bisa sampai di jantung pertahanan lawan ketika pemain bertahan lawan masih berlari mundur.
Dia juga menyebutkan bahwa gol yang bermula dari sepak pojok hanya membutuhkan kurang dari 3 umpan. Inilah alasan, mengapa penonton di Inggris bertepuk tangan kalau timnya memperoleh sepak pojok. Karena itu tandanya mereka berpeluang besar mencetak gol.
Nama Reep mungkin terlalu asing bagi Anda atau kecenderungan yang dia sebutkan tak sesuai dengan filosofi sepak bola Anda. Tapi, namanya tetap penting dalam khazanah statistik sepak bola.
Jika nama Reep masih asing dalam perbincangan statistik sepak bola, bagaimana jika saya menyodorkan nama perusahaan penyedia statistik: Opta? Rasanya Anda akan langsung tahu.
Opta yang mulai hadir pada dekade 1990-an memang sekarang sangat familiar bagi penikmat sepak bola. Jika Anda menikmati sajian Squawka, Whoscored, hingga Statszone FourFourTwo maka tidak lain itu adalah data yang dihimpung oleh Opta. Begitu pula data yang digunakan oleh jaringan televisi yang menyiarkan pertandingan Liga Inggris.
Pada mulanya Opta tidak begitu dipercaya. Setelah bekerja sama dengan Premier League pada 1996, Opta kerap dikritik perihal, apakah angka dari Opta itu bisa benar-benar menjelaskan performa seorang pemain atau tim?
Walau demikian, seperti yang kita tahu, Opta terus berkembang dan telah beroperasi di Jerman, Italia, Spanyol, New York (Amerika Serikat), Sydney (Australia), hingga Montevideo (Uruguay). Tidak hanya sepak bola, olahraga lain seperti rugby pun kini dicatat oleh opta.
Pertandingan final Liga Champions 2010 antara Internazionale Milano melawan Bayern Munchen merupakan partai yang amat penting bagi Opta. Ada 2.842 aksi yang dicatat oleh Opta dan mulai dari situlah parameter yang dicatat oleh Opta meningkat. Kini, Opta rata-rata mencatat 1.800 aksi per pertandingan.
Perihal parameter ini memang kemudian beragam tergantung pada kebutuhan dan tentunya siapa penyedia datanya.
Bergeser ke dalam negeri, ada perbedaan parameter yang dihimpun oleh Labbola dengan tim statistik berbasis klub. Untuk Labbola, mereka bisa memiliki lebih dari 60 parameter dalam satu pertandingan.
Jumlah parameter itu berbeda dengan penyedia data mandiri seperti PSS Statistik dan Arema Statistik. Mungkin juga dengan yang dilakukan oleh klub lokal lainnya.
Tapi, ada satu kebijakan yang sama. Data yang diberikan kepada tim pelatih demi kebutuhan pengembangan tim berbeda dengan apa yang disajikan kepada fans. Bentuknya pun berbeda dan ini menjadi rahasia dapur masing-masing penyedia data.
Kembali lagi pada pertanyaan yang dihadapi oleh Reep dan Opta bahwa apakah data-data itu bisa memberi pengaruh bagi sepak bola ataukah hanya sekadar gimmick semata agar sepak bola terlihat lebih keren dan modern?
Data memang bisa digunakan untuk menjelaskan suatu kejadian. Tapi, sepak bola begitu kompleks.
Pertandingan sepak bola bukan sekadar berapa jumlah tendangan ke gawang, jumlah umpan sukses, dan lainnya. Perlu analisis yang jauh lebih mendalam dibanding hanya menyajikan data-data itu agar informasi yang berwujud angka bisa lebih kontekstual dengan sepak bola.
Untuk Indonesia, usaha semacam itu mulai dilakukan, tapi memang perlu dilakukan trial and error secara berkesinambungan sembari terus meningkatkan keilmuan hingga menemukan formula yang tepat agar data itu tak sekadar menjadi sekumpulan angka yang tak memiliki arti.
NB: Naskah ini dipresentasikan pada acara Jagongan Media Rakyat di Yogyakarta, Sabtu, 23 April 2016. Diunggah di fandom.id dengan perubahan seperlunya.