Apa yang Ditawarkan Conte kepada Manchester United?

Pasca-kalah telak 0-5 dari Liverpool pada Ahad (24/10) lalu, rumor pemecatan Ole Gunnar Solskjaer dengan cepat merebak dengan beberapa nama seperti Antonio Conte dan Zinedine Zidane mencuat sebagai suksesor.

Sebagian direksi Manchester United mulai ragu pada kemampuan Solskjaer buat mendatangkan prestasi yang sudah lama pergi dari Old Trafford.

Dilansir dari The Athletic, pemain-pemain The Red Devils menyukai pelatih berpaspor Norwegia itu secara personal.

Hanya saja, sebagian dari mereka merasa kurang mendapat arahan yang komprehensif perkara teknis permainan di lapangan.

Walau konon pelatih legendaris United sekaligus eks bos Solskjaer, Sir Alex Ferguson, sempat datang ke tempat latihan tim dan membela sosok berusia 48 tahun tersebut, isu pemecatannya terus berkelindan.

Media Inggris, Sky Sports, menyebut jika Conte dan Zidane merupakan nama ideal buat menggantikan Solskjaer.

Baik Conte dan Zidane sama-sama dikenal sebagai serial winner. Ada begitu banyak gelar yang menyempil dalam curriculum vitae keduanya.

Jika Conte punya spesialisasi memenangi kejuaraan domestik, level Zidane bahkan menembus ajang kontinental.

Conte telah memenangi liga top dengan tiga kesebelasan di dua negara yang berbeda. Serie A bersama Juventus dan Inter Milan serta Premier League bareng Chelsea.

Sedangkan Zidane, selain menjuarai La Liga bersama Real Madrid juga sanggup memenangi tiga trofi Liga Champions dengan mengalahkan pelatih-pelatih kaliber seperti Jurgen Klopp, Massimiliano Allegri, dan Diego Simeone di partai puncak.

Meski punya kedekatan dengan Cristiano Ronaldo yang pernah diasuhnya di Madrid, kabarnya Zidane tak terlalu berminat untuk membesut United. Apalagi di tengah musim.

Sebaliknya, dari sejumlah isu yang beredar, Conte siap menangani United bila manajemen The Red Devils serius mendekatinya.

Surat kabar kenamaan Italia, La Gazzetta dello Sport, bahkan menyebut kalau Conte siap membajak beberapa eks anak asuhnya di Inter seperti Nicolo Barella, Marcelo Brozovic, Matteo Darmian, Lautaro Martinez, dan Milan Skriniar.

Masih menurut The Athletic, direksi United kabarnya akan memberi kesempatan bagi Solskjaer untuk berbenah di tiga laga selanjutnya kontra Tottenham Hotspur, Atalanta, dan Manchester City.

Meski Solskjaer dikenal punya naluri survival yang cukup tinggi manakala posisinya terpojok, di atas kertas laga-laga itu berpotensi menyandung langkah Bruno Fernandes dan kawan-kawan.

Kendati begitu, membayangkan sosok lain duduk di bangku cadangan seraya memberi instruksi permainan kepada tim dengan status pelatih juga bukan sesuatu yang salah.

Melihat faktor itu, agaknya kita boleh saja berangan-angan Conte saat ini berada di pole position untuk menjadi suksesor Solskjaer.

Namun banyak juga yang bertanya-tanya, akankah Conte menjadi sosok yang tepat untuk mengangkat United dari stagnansi? Saya akan coba membedahnya dari aspek teknis dan non-teknis.

Sejak awal karir kepelatihannya di level top saat membesut Juventus pada musim 2011/2012 hingga mengantar Internazionale menjuarai Serie A musim lalu, Conte selalu menggunakan patron tiga bek dengan formasi turunan 3-5-2 atau 3-4-3 yang dijadikan pilihan, sesuai dengan materi pemain yang ada.

Tiga bek dan dua wingback yang mengapit lini tengah selalu menjadi pakem utama permanen di manapun Conte melatih.

Pembedanya adalah susunan pemain di sektor tengah dan depan. Saat di Juventus, Conte memainkan Claudio Marchisio dan Arturo Vidal buat mengapit sang jenderal permainan, Andrea Pirlo.

Bergeser ke depan, Conte mengandalkan …

Sementara di Chelsea, pelatih berambut gondrong itu memercayakan soliditas lini tengahnya pada dua gelandang berkaraker defensif yakni N’Golo Kante dan Nemanja Matic.

Di depan, Diego Costa dan Alvaro Morata dihimpit oleh duo pemain berkarakter eksplosif, entah itu Eden Hazard, Willian, atau Pedro Rodriguez.

Kala menukangi Inter, Conte menggunakan Christian Eriksen sebagai otak permainan dengan sokongan Barella dan Brozovic.

Di depan, lelaki 52 tahun itu menyandarkan produktivitas tim pada duet Romelu Lukaku dan Lautaro Martinez.

Berkaca dari tuturan di atas, Conte menunjukkan apabila ia merupakan sosok yang adaptif dengan sistem permainan direct dengan memanfaatkan kecepatan sepasang wingback atau serangan balik lewat satu-dua sentuhan yang diperoleh dari tingginya intensitas pressing untuk merebut bola dari penguasaan lawan.

Conte selalu menuntut timnya untuk punya kecepatan, kebugaran fisik, etos kerja, keserbabisaan, dan kesadaran taktikal yang tinggi.

Mantan bek Chelsea, Gary Cahill, membeberkan jika metode latihan yang diterapkan Conte jadi yang tersulit untuk diikuti sepanjang kariernya.

Identik dengan sepakbola Italia tak membatasi ruang eksplorasi Conte. Ia bukan hanya mengedepankan aspek defensif, melainkan juga andal dalam dimensi ofensif.

Juventus, di bawah arahan Conte, mampu menorehkan rekor sukses mencetak gol dalam 43 laga beruntun di Serie A pada kurun waktu Februari 2013 hingga Maret 2014.

BACA JUGA:  PSSI: Federasi Sepakbola atau Sarang Politisi?

Ketajaman itu juga ia tunjukkan di Inggris. Chelsea asuhan Conte mampu membuat 85 gol saat menjuarai Premier League musim 2016/2017.

Eks allenatore Bari ini juga sukses membantu Lukaku buat mematahkan rekor Ronaldo Nazario da Lima sebagai pemain Inter tercepat yang mencetak 50 gol.

Catatan-catatan itu pun menyingkirkan keraguan jika Conte kelewat defensif dan tak cocok bagi United, utamanya kultur sepakbola Inggris.

Bagaimana jika filosofi tersebut diimplementasikan di Old Trafford?
Aspek yang paling menjadi sorotan adalah performa lini belakang The Red Devils yang baru satu kali mencatatkan nirbobol dan sudah 15 kali kebobolan dari 9 pertandingan liga.

Hanya tim sekelas Watford (17), Newcastle United (20), dan Norwich City (23), yang kemasukan gol lebih banyak dibanding Bruno dan kolega.

Padahal, nama-nama seperti Raphael Varane, Harry Maguire, dan Victor Lindelof, ada di lini pertahanan untuk meluangkan kontribusinya.

Kualitas individu pemain ditengarai bukanlah sumber masalah yang mendera pertahanan United, melainkan tidak adanya struktur defensif yang jelas dan konkret.

Dengan skema tiga bek, dan bisa bermetamorfosis menjadi lima bek dalam situasi bertahan, tentu akan memberikan perlindungan alami pada lini pertahanan.

Musim lalu, Inter menduduki peringkat kedua sebagai tim yang menghadapi tembakan ke gawang dengan angka paling sedikit. Fakta tersebut menunjukkan ketangguhan lini belakang racikan Conte.

Tak hanya itu, pressing United yang amburadul saat menghadapi Liverpool juga disorot banyak pihak, termasuk pandit Sky yang juga mantan kapten United, Gary Neville.

Dalam proses gol pertama Liverpool, terlihat jelas pertahanan United yang begitu gampang ditembus oleh rival abadinya.

Untuk membantu Ronaldo, Mason Greenwood yang bermain di sisi kanan sering kali ikut melakukan pressing pada bek sentral kiri Liverpool, Virgil van Dijk.

Imbasnya, Aaron Wan-Bissaka harus naik jauh untuk membayang-bayangi bek kiri Liverpool, Andrew Robertson, yang seharusnya masuk teritori Greenwood.

Mengantisipasi Wan-Bissaka yang maju jauh ke depan, Lindelof bermain melebar ke sisi kanan. Akibatnya, jarak antara Lindelof dan Maguire menjadi cukup lebar.

Diogo Jota yang berhadapan dengan Lindelof, kemudian memberikan bola ke Roberto Firmino. Secara naluriah, Maguire pun membayangi Firmino.

Setelah Maguire mendekat kepada dirinya, Firmino segera menyodorkan bola kepada Mo Salah di sisi kanan. Luke Shaw yang harus mengawal Naby Keita, tak bisa menghentikan Salah.

Menurut data StatsBomb, United begitu lemah dalam melakukan pressing di lini depan. Dari seluruh pressing yang dilakukan United, lini depan mereka hanya melakukan 23,7 persennya.

Bandingkan dengan Liverpool yang lini depannya melakukan 29,5 persen dari seluruh pressing yang dilakukan tim.

Untuk mengompensasi hal tersebut yang disebabkan oleh faktor umur Ronaldo, lini tengah United sering kali kalang kabut.

Hal ini terbukti dari angka persentase pressing mereka yang sangat tinggi di lini tengah, mencapai 48,4 persen, atau hampir setengah dari seluruh pressing yang dilakukan juara Eropa tiga kali tersebut.

Buruknya koordinasi pressing di lini depan membuat serangan lawan begitu mudah menembus lini kedua tim asuhan Solskjaer.

Akibatnya, lini tengah mereka menjadi sangat sibuk. Padahal, tak ada gelandang dengan tipikal petarung di lini sentral mereka.

Sebenarnya kalau urusan work rate, United selama diasuh Solskjaer tak begitu buruk, hanya saja kurang dalam segi efisiensi.

Musim lalu, sebelum kedatangan Ronaldo, United membukukan catatan 133,59 pressing per 90 menit.

Catatan ini bahkan mengungguli Inter musim lalu yang menorehkan 127,57 pressing per 90 menit.

Akan tetapi, angka pressing sukses yang dicapai United dan Inter hampir serupa.

United mencatatkan 35,96 pressing sukses per 90 menit, sedangkan Inter tercatat melakukan 35,12 pressing sukses per menit.

Statistik tersebut menandakan jika Inter melakukan pressing dengan kohesif dan lebih terkoordinasi, sehingga tenaga pemain tidak terbuang sia-sia.

Tak hanya itu, format tiga bek yang diterapkan secara reguler juga bakal membuat bek-bek teknis Lindelof dan Maguire lebih leluasa untuk naik ke posisi yang lebih tinggi guna memaksimalkan keunggulan mereka dalam mengorganisasi serangan.

Pasalnya, area bertahan masih bisa di-kaver oleh dua bek lain (dalam formasi tiga bek) yang menjaga kedalaman.

Dengan skema tersebut, Conte mampu mengeluarkan performa terbaik dari David Luiz dan Leonardo Bonucci, bek-bek yang juga dikenal punya kegemaran untuk berlama-lama dengan bola, namun tak begitu bagus dalam duel satu lawan satu.

Bukan tidak mungkin Lindelof dan Maguire bisa mendapatkan pengakuan yang pantas akan kemampuan mereka jika bermain dalam skema ini.

BACA JUGA:  The Right Man on the Right Place, at the Right Time

Selanjutnya, posisi wingback. Biasanya, Conte punya preferensi untuk mengedepankan pemain berkarakter menyerang untuk dijadikan bek sayap dalam timnya, seperti Achraf Hakimi atau Stephan Lichsteiner.

Malahan, beberapa di antaranya merupakan pemain yang sebelumnya bermain sebagai gelandang sayap, seperti Ashley Young, Victor Moses, dan Antonio Candreva.

Di sisi kiri, Shaw dan Alex Telles punya atribut menyerang yang cukup bagus. Permasalahannya, di sisi kanan, Wan-Bissaka masih belum mampu menunjukkan kapabilitas yang mumpuni ketika membangun serangan.

Agaknya, hal tersebut bakal mencegahnya untuk ditugasi sebagai wingback andai Conte jadi membesut United.

Solusinya, Conte bisa memainkan Diogo Dalot yang berkarakter lebih menyerang. Atau jika mau lebih ekstrem, ia bisa saja menempatkan Jadon Sancho, Marcus Rashford, atau Jesse Lingard sebagai wingback.

Untuk Wan-Bissaka, ada kemungkinan ia bernasib sama seperti Cesar Azpilicueta yang dimutasi menjadi bek tengah. Berbekal kemampuan bertahan satu lawan satu yang ciamik, Wan-Bissaka tak akan kesulitan untuk menjalankan peran tersebut.

Di lini tengah, sudah hampir pasti Bruno Fernandes bakal mengisi posisi pemain nomor 10 seperti halnya Eriksen di Inter musim lalu.

Di belakangnya, pemain-pemain seperti Fred, Scott McTominay, dan Matic bakal menawarkan perlindungan dari sisi dalam lapangan.

Bergeser ke lini depan, saya menduga Conte akan lebih senang memainkan Greenwood, Rashford, atau Edinson Cavani, ketimbang sang megabintang yang baru saja pulang, Ronaldo.

Ronaldo dikhawatirkan tidak mampu memenuhi tuntutan Conte untuk melakukan pressing secara intens, sebuah instruksi yang dengan senang hati akan dilakoni oleh pesaingnya di lini serang.

Singkatnya, United akan mengalami transformasi taktikal yang cukup menohok apabila terjadi pengambilalihan posisi pelatih.

United terbiasa tampil dengan skema yang fluid di bawah instruksi Solskjaer, akan dipaksa untuk beradaptasi dengan struktur rigid khas Conte.

Tak hanya itu, ruang bagi pemain menyerang berkarakter eksplosif pun menjadi terbatas. Pemain seperti Sancho akan kesulitan mendapatkan tempat di skema milik pria asal Italia tersebut, kecuali lelaki kelahiran Lecce itu menerapkan formasi 3-4-3 seperti yang dilakukannya di Chelsea buat memaksimalkan kemampuan Hazard.

Namun keberadaan Bruno yang berposisi sebagai nomor sepuluh tulen menjadi penghalang terlaksananya wacana tersebut.

Paling-paling, Sancho harus bisa beradaptasi untuk bermain sebagai wingback atau melatih penyelesaian akhirnya supaya lebih tajam dan bisa bersaing di lini depan, yang tentu saja tidak mudah.

Selain tantangan yang bersifat teknis, karakteristik kepelatihan dan kepribadian Conte juga menjadi perhatian banyak pihak.

Wataknya yang keras dan penuntut bisa jadi mengacaukan situasi internal United seperti halnya yang pernah terjadi pada akhir masa kepelatihan Jose Mourinho.

Walau tidak semenyebalkan Mourinho, tetap saja Conte bukan sosok nice guy.
Tak hanya itu, Conte juga punya reputasi ogah berlama-lama untuk melatih satu tim yang sama.

Tercatat, pria bertinggi badan 178 sentimeter itu tak pernah melatih satu tim dengan durasi lebih dari lima tahun.

Hal ini tentu bertentangan dengan preferensi direksi United yang menginginkan adanya stabilitas yang berkelanjutan seperti yang pernah terjadi di rezim manajerial Ferguson dulu.

Buat urusan pengembangan pemain muda, Conte memang tidak punya rekam jejak yang begitu mencolok. Namun, ia adalah sosok yang memberi kesempatan kepada Paul Pogba di Juventus saat usianya belum genap 20 tahun untuk berkiprah di utama dan mengawali jalan kisahnya sebagai pemain bintang saat ini.

Pada musim lalu, Conte juga tercatat memainkan striker muda, Andrea Pinamonti dalam 10 kali kesempatan, dan juga memberi kepercayaan pada Alessandro Bastoni yang baru berusia 22 tahun untuk mengawal lini belakang La Beneamata.

Setidaknya, riwayat tersebut menjadi bukti jika ia tidak anti dengan nilai yang dianut The Red Devils yang sedang gencar-gencarnya kembali untuk mengorbitkan produk akademi.

Jangan lupakan juga kemampuan Conte untuk meningkatkan level klub yang dilatihnya. Juventus yang berada di posisi 7 klasemen Serie A 2010/2011 langsung dibawanya meraih Scudetto secara berturut-turut sejak 2011 hingga 2014.

Saat mewarisi Chelsea peninggalan Mourinho dan Guus Hiddink yang hanya finis di peringkat kesepuluh, ia bisa membawa The Blues juara Premier League di musim debutnya.

Ketika menukangi Inter, Conte mengangkat level La Beneamata yang tadinya ingin rutin finis di empat besar klasemen menjadi kandidat juara dalam dua musim beruntun.

Melihat faktor-faktor tersebut, rasanya Conte adalah sosok yang dibutuhkan oleh United pada saat ini.

Meski presensinya juga membawa risiko, tetapi Conte memang lebih berpengalaman soal raihan prestasi dibanding Solskjaer.

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06