Apa yang Salah dengan Sepak Bola Kita?

“… Evan Dimas adalah pemain yang sangat berbakat, tetapi dia tak cukup bertenaga,” ujar Alfred Riedl ketika menanggapi pertanyaan dari TEMPO, mengapa Evan Dimas lebih sering duduk di bangku cadangan.

Banyak rekan penulis juga mempertanyakan demikian. Evan Dimas, seperti juga yang dipercayai TEMPO, adalah pemain muda paling berbakat kita. Tapi, dia jarang mendapatkan tempat di tim inti. Stefano Lilipaly dan Bayu Pradana lebih diberi kepercayaan dengan dilapis Dedi Kusnandar dan Manahati Lestusen.

Evan tetaplah pemain yang istimewa sejak dia memberi kita harapan mengenai sepak bola Indonesia yang bisa berprestasi di kancah internasional bersama timnas U-19. Dia juga sempat ke Spanyol, meski tak ada kelanjutan apa pun. Dia tetap jadi pilihan utama di klubnya saat ini, Bhayangkara FC.

Apa yang dimaksud oleh Riedl dengan tidak cukup bertenaga adalah faktor fisik Evan. Dia memang tidak tinggi dan tak mungkin tumbuh lebih tinggi, tapi massa otot dalam tubuhnya bisa dipacu untuk lebih besar. Agar fisiknya kuat dan bisa menunjang skill olah bolanya yang aduhai.

Tapi, persoalan yang dialami oleh Evan ini hampir dialami oleh seluruh pemain muda kita. Tak adanya kepedulian pada nutrisi menjadi faktor utama mengapa fisik pemain kita terlihat sangat buruk ketika berlaga di pertandingan internasional.

Sudah banyak cerita tentang klub yang tak mampu menyediakan catering makanan yang cocok untuk pesepak bola. Pun ketika pemain sudah memperoleh asupan yang tepat, seringkali mereka tak disiplin.

Dejan Antonic dulu pernah mewanti-wanti pemainnya untuk tak makan nasi padang atau makanan berminyak dan pedas lainnya. Indra Sjafri di timnas U-19 dulu juga menerapkan kebijakan ketat soal makanan. Tapi, pemain rata-rata kemudian abai setelah tak ada aturan yang mengikat mereka.

Nutrisi inilah salah satu masalah penting di sepak bola kita. Argumentasi tersebut diperkuat pula oleh Miftakhul FS, narasumber Hyperbola semalam (27/12), yang menyebut bahwa kita belum serius untuk membenahi nutrisi pemain kita.

Latihan yang baik dan keras perlu didukung dengan asupan gizi yang memadai. Ini bisa memacu perkembangan massa otot pemain, meminimalkan terjadinya cedera, dan tentunya sangat berpengaruh pada kebugaran serta kondisi fisik pemain.

Hal-hal seperti ini seringkali dianggap remeh, tapi sebenarnya memegang peranan penting. Seperti halnya pembinaan pemain muda di Indonesia.

Bukan tidak ada pembinaan pemain muda, tapi ketiadaan kurikulum pembinaan nasional serta keberadaannya tidak dianggap sebagai salah satu fokus utamalah yang menyebabkan pembinaan pemain muda kita jalan di tempat.

Pembinaan pemain muda tak diperhatikan seperti halnya federasi memperhatikan berlangsungnya kompetisi. Salah satunya tak ada uang banyak di grassroot football. Tak ada massa yang berjubel di pertandingan anak usia dini atau tak banyak yang peduli ketika anak-anak itu sedang berlatih.

Kedua hal yang telah disebut ini bisa menjadi pintu analisis awal bahwa sepak bola kita sangat erat dengan politik. Karena tak banyak massa yang berminat pada pembinaan usia muda, maka tak ada aktor politik yang bersedia menggelontorkan uangnya di pembinaan.

Para aktor politik ini lebih suka langsung mengurusi klub “profesional” agar bisa menggerakkan massa untuk menunjang kepentingan politiknya. Jika mereka peduli pada pembinaan pemain, rata-rata hanya menyentuh sisi luarnya, tidak terlalu aktif ke dalam untuk benar-benar mengurusinya secara betul.

Apabila PSSI yang baru saat ini ingin betul-betul bekerja untuk membangun sepak bola dan tak dianggap sebagai orang yang hanya ingin mencari kepentingan politik, mudah saja kita akan menilainya apakah PSSI serius dengan pembinaan pemain muda.

Apakah mereka akan serius menerapkan regulasi dan assesment pada klub yang ikut serta kompetisi? Tentunya aturan tak hanya menyentuh aspek legal, tapi hingga persoalan mendasar terkait akademi milik klub hingga nutrisi yang semestinya disediakan klub bagi para pemainnya.

Kalau keduanya tak dilakukan dengan serius, itu berarti sepak bola kita tak kemana-mana. Tetap hanya sebagai alat politik semata.

 

NB: Terima kasih untuk Miftakhul FS dan Fajar Junaedi yang telah bersedia hadir di Hyperbola. Tentu juga terima kasih untuk seluruh peserta yang datang. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam menyelenggarakan acara maupun mendiseminasikan gagasannya di media sosial, yang seringkali luput menyajikan detil karena keterbatasan teknis.

 

Komentar

This website uses cookies.