Bagaimana cara mendapatkan sebuah akhir yang indah? Tak ada yang benar-benar mengerti jawaban ini.
Akan selalu ada ketidakrelaan untuk mengakhiri sesuatu yang seakan sesuai rencana dan perpisahan bisa saja pahit sangat terasa. Dalam hidup, kita mengenal konsep yang keras yang mampu mengakhiri segalanya yang disebut maut.
Namun permasalahannya, akhir dalam hidup kita tak selalu harus diakhiri dengan maut. Mengakhiri suatu hal yang sudah tak pantas lagi, namun masih kita cintai, adalah perkara yang sulit dan dilematis.
Saya berbicara tentang Miroslav Klose. Seorang pemain yang membuat saya jatuh cinta dengan sepak bola Jerman ketika seluruh lingkaran sosial saya berbicara tentang Ronaldo dan sepak bola indah ala Brasil.
Selebrasi salto khasnya, mengantarkan saya mengikuti dirinya ke berbagai klub, dari Werder Bremen, Bayern Munchen, hingga menjadikan saya seorang Laziale dadakan dan menyablon kaos Lazio dengan nameset Klose sebagai bukti cinta.
Seorang yang saya rasa mirip dengan Rocky Balboa di dunia nyata – seorang petarung sejati yang selalu diragukan semua orang.
Klose bukanlah pemain yang akan memukau mata dengan nutmeg atau trik lainnya. Ia adalah poacher tradisional terakhir di generasi kita, begitu kata Michael Cox.
Ia, mirip dengan Filippo Inzaghi, seorang yang mampu tiba-tiba menipu tim lawan apabila tim lawan lengah dan meremehkan tubuhnya yang ringkih itu. Ia bisa mencetak gol dari sundulan, sepakan, dan sangat tenang menempatkan diri.
Sementara kini, poacher generasi kini akan lebih cepat, seperti Thomas Mueller, ataupun memiliki postur lebih besar, seperti Mario Gomez, daripada dirinya.
Ia menyadarkan kita bahwa sepak bola tak melulu harus indah. Terkadang, kebahagiaan dapat sesederhana seperti apa yang dilakukan dengan kesederhanaan gol-gol dari Klose.
Dan atas itulah, mengapa ia pada akhirnya mampu mengungguli Ronaldo dan kemampuannya yang luar biasa dengan 16 gol di Piala Dunia. Satu perbedaan tipis yang membedakan antara kesederhanaan dan kegilaan akan aksi memukau pencinta sepak bola.
Sayangnya, gaya permainannya inilah yang membuat dirinya hanya mencetak 12 gol dalam 60 laga pada masa kepelatihan Louis van Gaal sebelum hijrah ke Lazio. Ia dipaksa menjadi pemain yang mobile, dan sebagaimana yang dilansir TheScore, ia merasa tak lagi bebas sebagai seorang striker.
Alasan yang membuat kariernya tak begitu manis di Jerman dan harus hijrah ke Lazio dalam status bebas transfer. Beruntung, di sinilah ia menemukan dirinya kembali. Bermain 83 laga dengan mencetak 35 gol, catatan yang lebih baik daripada semasa di Bayern.
Ia, sebagaimana saya singgung di awal, adalah seorang petarung. Ia rela duduk di bangku cadangan dan membuktikan Uli Hoenes, Presiden FC Bayern, salah karena telah meragukan pilihan Joachim Loew yang tetap membawa dirinya ke Piala Dunia.
Ia mencetak gol dalam pesta pora 7-1 atas Brasil dengan sangat sederhana dan menjadi salah satu figur kedigdayaan Jerman di dunia saat itu dan kini. Ataupun kini, ia masih linglung apakah ia ingin pensiun atau tidak.
Ia, sebagaimana yang saya ketahui dari Goal, masih mempertimbangkan opsi untuk bermain di Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat. Dan hal ini membuat saya membayangkan dirinya mirip dengan Rocky Balboa, yang pada akhirnya tetap ingin bertarung sekali saja untuk memuaskan batinnya.
Usianya jelas sudah tak muda. Namun berbicara tentang ego adalah hal yang sulit. Anda takkan bisa menasihati orang yang penuh dengan rasa ego dan penasaran mengenai hal yang belum ia rasakan seutuhnya.
Ia masih ingin bermain sepak bola hingga usia 40. Dan MLS akan menyajikan sebuah petualangan untuk mengakhiri karier Miroslav Josef Klose.
Atau jika kemudian keputusan untuk pensiun itu datang lebih cepat daripada seharusnya, saya rasa ia mampu mengakhiri kariernya seperti dua bait dalam lagu Putih – Efek Rumah Kaca, yang saya putar saat menulis ini.
“Oh, kini aku usai sudah
Oh, kini aku lengkap sudah.”