Aroma Amerika di Venezia

Empoli, Salernitana, dan Venezia menjadi tiga kesebelasan promosi yang mewarnai Serie A musim 2021/2022. Dari ketiganya, Venezia adalah kubu yang paling mencuri atensi saya.

Kita harus kembali ke pengujung era 1990-an untuk melihat kapan terakhir kali I Lagunari mentas di Serie A dan saat itu masih bernama AC Venezia 1907 (sekarang sudah bernama Venezia FC).

Presensi Alvaro Recoba yang dipinjamkan Inter Milan bikin Venezia cukup menarik diperhatikan kala itu. Datang di bulan Januari, Recoba sukses mengubah peruntungan klub.

Duetnya bersama Filippo Maniero memudahkan pekerjaan Walter Novellino sebagai pelatih untuk membawa I Lagunari sintas dengan finis di papan tengah (peringkat sebelas).

Itu merupakan capaian terbaik kesebelasan berstatus promosi. Cagliari, Perugia, dan Salernitana cuma finis di peringkat 13, 14, dan 15.

Nahasnya, keberhasilan di musim 1998/1999 gagal dilanjutkan pada musim berikutnya. Keputusan mengganti Novellino dengan Luciano Spalletti dan ketidakmampuan memperpanjang masa peminjaman Recoba disebut-sebut sebagai faktor utama merosotnya performa tim.

Pada musim 1999/2000, Venezia harus menerima nasib terdegradasi ke Serie B lantaran mengakhiri kompetisi di posisi 16.

Investor Venezia

Bicara tentang Venezia, rasanya sulit untuk tidak membahas para investor klub. Satu nama yang pasti disebut adalah Maurizio Zamparini, pebisnis yang menjadi pemilik klub dalam kurun 1986-2002.

Zamparini memulai proyek ambisius dengan mengakuisisi klub rival, AC Mestre, yg kemudian dimerger dengan Venezia untuk menyatukan rivalitas di region Veneto.

Tanggal 26 Juni 1987 diingat fans sebagai hari bersatunya warna hitam-hijau (Venezia) dengan jingga (Mestre), yang melekat dengan I Lagurani hingga kini.

Zamparini akhirnya pergi meninggalkan Venezia ke Palermo di tahun 2002, membawa sebagian skuad tim dan staf kala itu.

Penyebabnya tak lain adalah kondisi deadlock terkait kontroversi proposal stadion anyar untuk menggantikan Stadion Pierluigi Penzo, markas ikonik tim yang berdiri di atas air dan kondisinya semakin menua.

Ditinggal Zamparini bikin keuangan Venezia terus memburuk. Dibarengi dengan terdegradasinya tim ini dari Serie B, kesulitan finansial itu bikin nasib klub ada di ujung tanduk.

Kebangkrutan akhirnya dirasakan pada 2005 sehingga tim bertransformasi menjadi Societa Sportiva Calcio (SSC) Venezia melalui ketentuan finansial FIGC dan mesti berkompetisi di Serie C2.

BACA JUGA:  Lazio Harus Tetap Menegakkan Kepala

Malangnya, SSC Venezia kembali dinyatakan bangkrut di akhir musim 2008/2009. Usaha penyelamatan klub oleh dewan kota berhasil memunculkan kembali tim ini dengan nama Football Club Unione Venezia dan berkompetisi di Serie D.

Unione Venezia selanjutnya mampu juara dan menapak hingga Lega Pro Prima Divisione (Serie C) pada musim 2012/2013 sampai akhirnya dinyatakan bangkrut untuk ketiga kalinya di akhir musim 2014/2015.

Setelah itu, muncul nama Joseph (Joe) Tacopina, seorang pengacara keturunan Italia dari Amerika Serikat yang menggawangi kumpulan investor sebagai presiden klub dengan nama baru yakni Venezia FC.

Rezim Tacopina berhasil membawa tim naik dari Serie D ke Serie C. Musim 2016/2017 direkrutlah Filippo Inzaghi sebagai pelatih.

Kedatangan Inzaghi nampaknya berjodoh dengan peningkatan prestasi I Lagurani. Mereka sukses mengamankan tiket promosi ke Serie B dan menjuarai Coppa Italia Serie C pada musim perdana Inzaghi melatih.

Di bawah asuhan Inzaghi pada musim 2017/2018, klub dengan warna kebesaran hijau-hitam-oranye ini sanggup menembus lima besar klasemen akhir dan berhak melaju ke babak playoff promosi Serie A.

Sial buat anak asuh Inzaghi, upaya mereka naik divisi digagalkan Palermo pada fase semifinal. Inzaghi kemudian pergi dari Stadion Pierluigi Penzo guna menerima pinangan Bologna.

Di lini masa Venezia selanjutnya, nama Palermo kembali muncul tetapi kali ini lebih manis.

Musim 2018/2019 seharusnya I Lagurani terdegradasi ke Serie C setelah kalah playout melalui drama adu penalti dari Salernitana. Namun FIGC menghukum Palermo karena masalah finansial sehingga kekosongan tempat di Serie B kembali diisi oleh Venezia.

Menjelang musim 2019/2020, posisi Joe Tacopina digeser oleh Duncan Niederauer, mantan Chief Executive Officer (CEO) New York Stock Exchange. Pergantian ini kembali meneruskan pengaruh Negeri Paman Sam di Kota Air.

Setelah satu musim bertahan di papan tengah Serie B, restrukturisasi dilakukan dengan menggamit Mattia Collauto sebagai direktur olahraga dan Paolo Poggi sebagai direktur teknik.

Tak cukup sampai di situ, mereka juga mengontrak Paolo Zanetti sebagai pelatih. Kehadiran tiga sosok ini membawa angin perubahan.

BACA JUGA:  Sebelas Wonderkid Serie A 2015/2016

Musim lalu, Venezia finis di peringkat kelima Serie B dan berhak atas tiket ke babak playoff promosi. Kali ini, Venezia berhasil melewati ChievoVerona, Lecce, dan selanjutnya bertemu Cittadella di final.

Pada laga kedua di babak pamungkas itu, fans di luar Stadion Pierluigi Penzo dibuat cemas karena sejak menit 26 mereka tertinggal satu gol.

Ditambah lagi, mereka kehilangan Pasquale Mazzocchi dan Mattia Aramu di dua kesempatan berbeda sehingga memaksa Venezia bermain dengan 9 orang.

Kelegaan yang ditunggu akhirnya datang di menit 93 ketika gol Riccardo Boccalon menyamakan kedudukan menjadi 1-1 dan memastikan keunggulan agregat Venezia (2-1) serta memastikan tiket terakhir promosi dalam genggaman.

Hari itu serta hari-hari selanjutnya, jalan-jalan sempit dan kanal-kanal di Kota Air kembali dipenuhi riuh fans yang merayakan kembalinya klub kesayangan mereka ke level elit sepakbola Italia, Serie A.

Sekembalinya ke Serie A, klub berbenah. Skuad inti yang menjadi andalan Zanetti musim lalu tak banyak diubah.

Luca Lezzerini dan Niki Maenpaa masih jadi andalan di bawah mistar. Sementara lini pertahanan dibentengi oleh Marco Modolo, Cristian Molinaro, Michael Svoboda, dan penggawa pinjaman, Mattia Caldara.

Lalu sektor tengah ditempati oleh talenta muda asal AS, Gianluca Busio, bersama Daan Heymans serta Aramu. Di sektor penyerangan, Zanetti akan bertumpu kepada Dennis Johnsen, Thomas Henry, Francesco Di Mariano sampai Francesco Forte.

Pekatnya aroma AS di Kota Air, selain keberadaan Busio juga diperlihatkan oleh presensi Tanner Tessmann dan Jack de Vries. Keduanya bisa saja menjadi pilar anyar tim bareng Busio.

Peran investor asal AS sejak 6 tahun ke belakang memang tidak bisa dilepaskan dari kembalinya mereka ke Serie A. Apalagi mereka juga menambah aroma kuat Negeri Paman Sam dengan merekrut beberapa penggawa muda dari sana.

Akankah legiun AS tersebut, bersama para penggawa lawas serta senior, bisa membuat I Lagunari tampil luar biasa di Serie A 2021/2022 seraya mematenkan kans bertahan?

In bocca al lupo, Venezia!

Komentar