Klub sepak bola Indonesia kelimpungan ketika menteri dalam negeri (Mendagri) mengeluarkan Permendagri Nomor 22 tahun 2011 yang melarang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk klub sepak bola profesional. Klub pun akhirnya kehilangan sumber pendapatan utama mereka.
Di sisi lain, manajemen internal klub juga masih buruk. Belum benar-benar siap untuk mengelola klub secara profesional. Pencarian sponsor yang didengungkan berulang kali ketika Indonesia Super League (ISL) mulai menggelar musim perdananya 2008/2009 tak semudah membalikkan telapak tangan.
Sponsor tak kunjung datang. Kalau pun ada yang tertarik, jumlahnya tak signfikan dibandingkan dengan kebutuhan biaya untuk menjalankan klub. Gaji pemain yang mahal, biaya akomodasi yang tinggi, biaya penyelenggaraan pertandingan yang tak murah, dan berbagai kebutuhan harian benar-benar memberatkan kinerja manajemen. Alhasil, gaji pemain pun tak terbayar dan hutang sana-sini agar klub tetap bisa ikut kompetisi.
Pendapatan dari sektor tiket juga belum bisa jadi sandaran. Jika di Eropa pendapatan tiket bisa menjadi salah satu dari tiga sektor pendapatan utama klub (bersama dengan komersial dan hak siar televisi), di Indonesia masih jauh dari harapan. Ada berbagai permasalahan, mulai dari mental gratisan hingga petugas pertandingan yang tak profesional ikut andil dalam rendahnya pendapatan tiket.
Permasalahan seperti itu dialami oleh klub yang berlaga di kancah ISL maupun Divisi Utama, tentu juga terjadi di Liga Nusantara. Pun ketika kompetisi terbelah menjadi dua saat ada konflik di tubuh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) beberapa tahun silam. Padahal jika mau dimaksimalkan, pendapatan tiket bisa menghidupi klub. Setidaknya bisa membayar gaji atau biaya akomodasi pertandingan kandang maupun tandang.
No Ticket No Game
Angin perubahan kemudian berhembus. Bukan dari elit PSSI atau manajemen, tapi justru inisiatif dari suporter. Melihat kembali tahun 2012 ketika suporter Persatuan Sepak Bola Sleman (PSS) mulai mengkampanyekan pentingnya membeli tiket untuk membantu klub. Dukungan tak hanya dengan suara lantang di tribun, tapi juga membeli tiket resmi yang bisa membantu nafas hidup klub kesayangan.
Kampanye itu kemudian makin besar setelah pihak manajemen mulai membuka diri. Jersey pemain tak dihiasi sponsor kelas kakap melainkan kampanye No Ticket No Game. Makna sederhananya, jika tidak membeli tiket ya tidak ada pertandingan untuk disaksikan. Dengan membeli tiket berarti ikut menghidupi klub sehingga klub bisa eksis ikut kompetisi.
Setiap pertandingan pada Divisi Utama musim 2013 itu, panitia pelaksana (panpel) PSS bisa menghasilkan uang 300-400 juta rupiah. Setelah dipotong biaya pertandingan sekitar 50 juta rupiah maka masih ada 250-350 juta untuk kas klub. Uang yang cukup besar itu bisa untuk membayar gaji pemain juga biaya operasional lainnya.
Meski tetap tak bisa menutupi semua kebutuhan biaya klub dalam satu musim, pendapatan dari tiket bisa menjadi andalan utama. Setidaknya hampir separuh kebutuhan klub dalam semusim kompetisi bisa ditutup dengan pendapatan dari tiket pertandingan.
Tak sekadar kampanye
Bagaimanapun, kampanye saja tak pernah cukup. Kampanye yang dilakukan di kostum pemain, media sosial, maupun media promo lainnya tak pernah cukup tanpa dukungan kebijakan struktural. Manajemen klub tegas melakukan perbaikan dalam hal penyelenggaraan pertandingan.
Panpel tidak sekadar menjual tiket lalu ada petugas untuk mengecek keabsahan tiket. Tapi, juga menambah personel. Jika sebelumnya hanya ada petugas portir, maka ditambah checker. Tugasnya menghitung berapa penonton yang masuk. Sudah jadi rahasia umum jika oknum panpel ikut bermain dalam memasukkan penonton tanpa tiket. Jadi, kerja mereka pun perlu memperoleh pengawasan.
Setelah itu apakah tingkat kecolongan tiket bisa nihil? Tentu tidak. Tapi, bisa sangat diminimalkan. Jika sebelumnya berada di angkat lebih dari 10%, maka dengan perbaikan sistem bisa ditekan di bawah 5% per pertandingannya.
Di kalangan suporter sendiri, mereka ikut aktif dalam usaha untuk menyadarkan pentingnya membeli tiket resmi. Ada tiket palsu yang dijual oleh calo. Meski dijual lebih murah pun, kesadaran dari suporter tetap memilih membeli di loket resmi. Lebih yakin uangnya masuk untuk klub. Mereka juga bisa memberi sanksi sosial kepada mereka dengan sengaja masuk tanpa membeli tiket.
Pengalaman Solo
Berjalan sekitar 50 km ke arah timur, tepatnya di Kota Solo, pengalaman serupa juga terjadi. Tentu dengan karakteristiknya sendiri. Ketika manajemen masih belum membenahi proses penjualan tiket dan transparansi, maka suporter aktif melakukan penghitungan sendiri.
Pasoepati melakukan penghitungan sendiri, berapa suporter yang masuk dengan tiket di tribun mereka. Dari situ kemudian mereka bisa tahu jumlah penonton yang berada di tribun yang ditempati Pasoepati dan berapa uang yang dihasilkan. Hal ini perlahan mendorong panpel untuk melakukan hal serupa.
Akhirnya, kini setiap selesai pertandingan, panpel merilis pendapatan yang diperoleh dari tiket pertandingan. Ini sudah mulai dilakukan sejak Divisi Utama musim 2014. Misalnya, laga di stadion Manahan, antara Persis Solo melawan PSIR Rembang pada 13 Agustus 2014, panpel meraup pendapatan kotor sebesar Rp 252.535.000 rupiah seperti yang dikutip dari sambernyawa.com.
Transparansi seperti ini bagus untuk memupuk loyalitas suporter. Mereka tahu bahwa uang mereka memang benar-benar digunakan untuk membiayai klub. Juga memupuk kepercayaan pada manajemen. Meski itu tak berarti percaya 100 persen pada manajemen. Karena kritik dan prasangka tetap penting untuk menjalankan fungsi kontrol agar klub bisa bertransformasi menjadi klub yang sepenuhnya profesional.
Masih banyak pekerjaan rumah
Bagaimanapun masih banyak pekerjaan rumah untuk manajemen dan suporter dalam mendorong profesionalisme di klub. Masih ada banyak hal yang perlu perbaikan. Apa yang dilakukan di sektor tiket baru sebatas langkah awal.
Manajemen masih perlu bekerja keras untuk terus mengeksplorasi sektor yang kiranya bisa menghasilkan pendapatan. Klub-klub sejauh ini masih kesulitan untuk menggandeng sponsor, baik yang di tingkat lokal maupun nasional.
Persib Bandung atau klub baru, Bali United, bisa menjadi contoh bagaimana manajemen bisa merangkul sponsor dalam jumlah besar. Membina hubungan dengan calon sponsor, lalu menyiapkan kerangka bisnis yang baik jelas penting agar sponsor tertarik untuk diajak bergabung.
Tanpa pola bisnis yang profesional, perusahaan jelas enggan merapat karena beranggapan hanya memberikan uang tanpa memperoleh imbal balik yang baik untuk brand.
Lalu sisi merchandise. Souvenir resmi klub bisa menjadi barang koleksi yang ingin dimiliki oleh pendukung. Tapi, sudah berapa banyak klub yang memiliki toko resmi? Rasanya belum banyak. Padahal ini bisa menghasilkan pendapatan secara langsung serta memupuk loyalitas pendukung terhadap klub kebanggaan. Jika brand klub bisa berkembang, cinderamata juga bisa menjadi oleh-oleh bagi para pelancong yang mampir ke kota klub berada.
Semua itu butuh kerja keras dari semua pihak yang terlibat. Untuk awalan jelas bukan pekerjaan mudah. Persib bisa menjadi seperti sekarang dengan dukungan sponsor melimpah juga bukan pekerjaan semalam. Mereka pun terus bekerja untuk memelihara hubungan baik dengan pihak sponsor agar tak lari dari Maung Bandung –julukan Persib— dan bisa meningkatkan nilai sponsorship kepada klub.
Kesadaran membeli tiket pertandingan sudah meningkat. Tapi, jangan hanya berharap hanya dari sektor ini. Apalagi menjadikan suporter sebagai “sapi perahan” dengan menaikkan harga tiket semena-mena tanpa pertimbangan yang masak atau menggelar pertandingan uji tanding abal-abal semata mengejar pendapatan tiket.
Masih ada jalan panjang yang perlu ditempuh untuk menjadikan klub di tanah air sepenuhnya profesional dan jadi mandiri. Namun, jalan menuju ke sana sudah diretas. Jika semua pihak punya mimpi yang sama dan tak ingin menang sendiri, sepak bola sebagai industri rasanya tak sekadar mimpi lagi.
NB: Naskah ini pernah dimuat di Majalah Pabelan, Lembaga Pers Mahasiswa Pabelan Universitas Muhammadiyah Surakarta, edisi November 2015. Diterbitkan versi daringnya agar jangkauan pembacanya lebih luas.