Antonio Conte dan Pertaruhan Besarnya

Mengusung misi meraih kemenangan tetapi cuma bermain imbang kontra Shakhtar Donetsk (10/12) di Stadion Giuseppe Meazza memusnahkan mimpi Internazionale Milano buat melaju ke fase gugur Liga Champions musim ini. Pasalnya, koleksi poin mereka kalah dari penghuni Grup B lainnya dan mesti puas duduk sebagai juru kunci. Terlempar secara mengenaskan dari kejuaraan antarklub Eropa termegah itu bikin I Nerazzurri jadi bahan olok-olok di media sosial.

Gara-gara peristiwa itu pula, Antonio Conte sebagai pelatih mendapat sorotan tajam. Sang peramu strategi dianggap tak kapabel untuk melanggengkan ambisi Inter tampil elok di Benua Biru. Pasalnya, kegagalan kemarin membuat rapor I Nerazzurri tampak jeblok karena dalam tiga musim pamungkas tak pernah mampu meloloskan diri ke babak 16 besar Liga Champions.

Lebih jauh, curriculum vitae Conte sebagai pelatih juga kian memerah bila melihat halaman kiprah di Eropa. Baik saat melatih Juventus dan Chelsea dahulu maupun Inter sekarang, lelaki berusia 51 tahun tersebut selalu akrab dengan kegagalan di Liga Champions. Langkah terjauhnya adalah fase perempatfinal pada musim 2012/2013 silam.

Jeleknya penampilan Inter di Liga Champions bikin Interisti di manapun berada murka. Conte pun jadi sasaran utama kekesalan mereka. Sang pelatih dinilai tak punya karakter kuat yang dapat membangkitkan mentalitas tim secara keseluruhan. Pilihan strateginya juga dirasa monoton, gampang ditebak dan tak memiliki rencana cadangan andai rencana utama berhasil dipatahkan lawan.

Segala preseden buruk itu seolah tak sepadan dengan besaran gaji yang ia terima dari I Nerazzurri. Sejak menyepakati kontrak selama tiga musim per pertengahan 2019 lalu, Conte menerima upah 12 juta Euro atau 209 miliar Rupiah per musim. Jumlah itu sendiri merupakan angka tertinggi di Negeri Pizza. Namun bukannya membawa Milan Skriniar dan kawan-kawan tampil menggigit guna merengkuh titel, inkonsistensi penampilan malah jadi sesuatu yang akrab dengan Inter.

BACA JUGA:  Tahun Menakjubkan bagi Jens Petter Hauge

Musim lalu, Conte mengantar I Nerazzurri finis di peringkat dua Serie A, capaian terbaik mereka sejak musim 2010/2011, serta melenggang sampai babak final Liga Europa tetapi keok di tangan Sevilla. Berbekal rekor tersebut, optimisme pun menyeruak di dada manajemen maupun fans menyongsong musim kedua Conte melatih.

Sayangnya, hal tersebut justru dipatahkan oleh tingkah dan sikap keras kepala penggemar formasi 3-5-2 itu. Jangan heran kalau pada akhirnya ia dihujani kritik bertubi-tubi, baik oleh Interisti maupun media-media Italia. Walau demikian, memecat Conte bukan persoalan sepele buat manajemen Inter.

Mereka kudu berpikir dua kali sebelum melakukannya karena beban gaji sang pelatih terbilang tinggi. Apalagi saat ini Inter juga masih membayar gaji Luciano Spalletti, sebesar 4,5 juta Euro hingga musim panas 2021 mendatang, yang dipecat seiring kehadiran Conte sebagai pelatih anyar.

Kudu diakui, tekanan Interisti kepada manajemen untuk melengserkan Conte sesegera mungkin begitu besar. Namun Steven Zhang tak sepatutnya gegabah mengambil keputusan. Gaya kepemimpinan ala Massimo Moratti yang sangat gampang menggonta-ganti pelatih mesti ditinggalkan.

Inter di bawah komandonya kini harus lebih bijak dan penuh perhitungan sebab kesalahan membuat keputusan sama artinya dengan menggerus kondisi finansial klub. Zhang wajib ingat bahwa yang menanggung pesangon bagi para pelatih yang dipecat adalah klub, bukan fans.

Fokus di Kompetisi Lokal

Kegagalan lolos ke fase gugur Liga Champions memang memuakkan. Selain jadi bahan ledekan, Inter juga kehilangan sumber pemasukan yang luar biasa. Namun masih ada kompetisi lain yang tengah diikuti I Nerazzurri dan berpeluang untuk dimenangkan yaitu Serie A dan Piala Italia. Maka sudah seharusnya Conte memfokuskan perhatian timnya ke sepasang kejuaraan tersebut.

Menengok tabel klasemen sementara Serie A, Inter ada di jalur yang tepat guna meramaikan perebutan gelar. Hingga tulisan ini dibuat, mereka duduk manis di peringkat dua dengan koleksi 24 poin, cuma tertinggal 3 poin dari sang tetangga, AC Milan, yang menghuni peringkat satu. Mengingat liga baru menyelesaikan 11 giornata, maka peluang merebut posisi puncak masih terbuka lebar.

BACA JUGA:  Semua Waktu di Dunia untukmu, Sebastien Haller

I Nerazzurri seolah meyakinkan suporternya bahwa hal itu sanggup mereka lakukan setelah malam kemarin (13/12) berhasil melakukan comeback di Stadion Sardegna Arena, markas Cagliari. Tertinggal 1-0 sampai turun minum, anak asuh Conte mengamuk di babak kedua dan menggetarkan jala Gli Isolani sebanyak tiga kali lewat upaya Nicolo Barella, Danilo D’Ambrosio, dan Romelu Lukaku buat mengamankan poin sempurna sekaligus memperpanjang rekor tak terkalahkan di Serie A menjadi tujuh pertandingan.

Setidaknya sampai pengujung tahun 2020, ada Napoli, Spezia, dan Hellas Verona yang bakal dihadapi. Laga-laga itu (dan giornata Serie A berikutnya pasca-Tahun Baru) kudu disongsong Inter layaknya pertandingan final demi meraup hasil positif.

Sementara di ajang Piala Italia, Inter berada di fase 16 besar dan akan bersua Fiorentina pada babak tersebut. Meski laga melawan La Viola tak pernah mudah, kans Skriniar dan kolega untuk meraup hasil positif tetap ada supaya dapat menembus partai puncak. Syaratnya sederhana kendati tak selalu mudah, kalahkan semua lawan dan jangan mempersulit langkah sendiri.

Apalagi mereka mengantongi keuntungan berupa waktu pemulihan yang lebih lama dibanding tim-tim lain yang masih berkiprah di kejuaraan antarklub Eropa. Situasi ini kudu dimanfaatkan Conte secara maksimal.

Prestasi di ajang domestik menjadi pertaruhan besar Conte beserta gaji selangitnya itu pada musim ini. Berhasil, tentu masa baktinya di kota Milan dapat berlanjut untuk musim ketiga sesuai perjanjian awal. Nama baiknya sebagai pelatih dengan prestasi bagus pun bisa terselamatkan. Namun kegagalan, bakal mendorong manajemen I Nerazzurri, dengan atau tanpa tekanan fans, buat memikirkan hal lain tentang masa depan pria kelahiran Lecce tersebut.

Now or never, Conte.

Komentar