Sepakbola selalu berhasil menciptakan drama-drama berkesan yang bisa dikenang bagi para saksi matanya. Paling mutakhir, ada drama yang dibuat Tim Nasional Indonesia pada gelaran Piala AFF 2020.
Indonesia menyegel satu tiket ke final Piala AFF usai mengalahkan Singapura di babak semifinal. Skuad Garuda berhasil mencukur The Lions dengan agregat 5-3.
Bagi yang tidak menonton dua laga semifinal, rasanya skor tersebut bak memperlihatkan dominasi Irfan Jaya dan kawan-kawan.
Akan tetapi, kenyataannya tidak begitu. Ada begitu banyak peluh yang menetes dari tubuh penggawa Indonesia buat melakukannya.
Pada babak final, Indonesia bertemu seteru lawas, Thailand. Latar belakang pertandingan ini sebetulnya cukup menarik karena kampiun terbanyak Piala AFF (lima gelar), Thailand, bersua tim spesialis runner up (lima kali), Indonesia.
Thailand sendiri tiga kali mengandaskan impian Indonesia meraih titel Piala AFF. Maka pertemuan mereka di edisi 2020 ini merupakan yang keempat kalinya.
Ketika ditanya soal peluang membalaskan dendam tiga memori kelam itu pada gelaran kali ini, rasa-rasanya, kok, peluang skuad Garuda kecil sekali. Walaupun saya yakin peluang itu masih ada.
Hal tersebut sama seperti Singapura yang selalu punya peluang ke partai final kendati sempat bermain dengan sembilan orang.
Thailand adalah raksasa sepakbola di kawasan Asia Tenggara. Tim dengan koleksi Piala AFF terbanyak barulah satu bukti.
Bukti lainnya tersaji dengan keberadaan Negeri Gajah Putih yang duduk di peringkat 115 federasi sepakbola dunia (FIFA) per 23 Desember 2022. Mereka adalah tim Asia Tenggara terbaik kedua setelah Vietnam yang nangkring di peringkat 98.
Skuadnya pun mewah dan berpengalaman. Ada nama Teerasil Dangda, Chanatip Songkrasin, Theerathon Bunmathan, Thanawat Suengchitthawon, dan sederet pemain lainnya.
Jika masih belum terlalu kenal, cari saja nama-nama di atas di mesin pencari. Ada banyak artikel berserak di internet yang menjelaskan betapa apiknya mereka.
Indonesia sendiri masih tertahan di peringkat 164 FIFA. Skuad Garuda ada di bawah Singapura dan Malaysia yang mereka hempaskan.
Myanmar yang tidak lolos dari fase grup bahkan peringkatnya masih lebih baik daripada Indonesia.
Bicara soal skuad, pemain yang dibawa Shin Tae-Yong ke Singapura terbilang muda. Rata-ratanya 23,8 tahun!
Ada beberapa nama yang sekarang bermain untuk klub luar negeri. Seperti Egy Maulana Vikri di Slovakia, Witan Sulaeman di Polandia, Asnawi Mangkualam di Korea Selatan, Syahrian Abimanyu di Malaysia, serta Elkan Baggott di Inggris.
Namun jam terbang mereka merumput di sepakbola luar negeri jelas masih kurang. Pelibatan individu di tim mereka masing-masing pun masih kurang. Ini membuat pengalaman bertanding di laga-laga penting dan besar juga masih kurang.
Maka jangan heran kalau masyarakat Indonesia dibuat kesulitan menentukan ekspektasi yang tepat terhadap kesebelasan yang dipegang Shin Tae-yong.
Kala momen duel itu tiba semalam (29/12), Indonesia dibuat luluh lantak oleh Thailand. Rasanya, semalam skuad Garuda diajari cara bermain sepakbola yang benar oleh pasukan Gajah Putih.
Bagaimana memaksimalkan ruang. Bagaimana memanfaatkan penguasaan bola. Bagaimana mengkreasikan peluang serta mencetak gol, dilakukan Thailand dengan begitu paripurna.
Oleh karenanya, final Piala AFF 2020 kali ini lebih pantas dilihat masyarakat Indonesia sebagai momen perbaikan tim dan kualitas individu.
Dari segi permainan, performa Timnas naik turun. Ada kalanya sektor penyerangan terlihat gahar, terkadang pula melempem. Ada kalanya sektor pertahanan kokoh, terkadang pula rapuh.
Beda halnya dengan Thailand yang terbukti tampil konsisten selama gelaran AFF 2020. Skuat asuhan Alexandre Polking itu tidak pernah kalah dan hanya sekali kebobolan!
Catatan itu sendiri kian mengilap dengan keberhasilan Thailand menggulung Indonesia via skor 4-0 pada final leg pertama.
Indonesia gagal meladeni permainan Thailand pada final leg pertama. Kemungkinan kalah lagi di final leg kedua pun terbuka lebar. Namun jangan jadikan itu standar penilaian.
Jangan anggap kegagalan tersebut sebagai ketidakmampuan Shin Tae-Yong melatih. Jangan pula anggap Indonesia setelah sekian tahun hanya jalan di tempat. Lebih jauh, jangan sampai menuding atau menyalahkan pemain tertentu.
Hal yang diharapkan dari kegagalan adalah perkembangan yang bisa mereka tunjukkan di partai final. Lalu diikuti dengan perkembangan pasca-final.
Segi permainan dan kualitas individu wajib meningkat, sekaligus mencari kekurangan yang bisa segera diperbaiki.
Lalu mari bicara soal peluang terkecil. Entah mukjizat apa yang diperoleh, Indonesia berhasil menjungkalkan Thailand pada final leg kedua dan merengkuh trofi AFF pertamanya. Namun sekali lagi, jangan jadikan ini standar penilaian.
Jangan anggap bahwa keberhasilan itu sebagai bukti bahwa skuad saat ini merupakan yang terbaik. Jangan anggap pula, Timnas bakal mengulangi kesuksesannya di edisi-edisi Piala AFF selanjutnya dengan modal satu trofi itu.
Timnas Indonesia memang perlu mengukuhkan diri jadi yang terbaik di Asia Tenggara, tetapi seharusnya mimpi dan targetnya ada pada level yang lebih besar.
Bisa berbicara di Asia, atau bahkan di level dunia, misalnya. Maka, Indonesia harus bisa lebih baik dari yang dianggap terbaik saat ini.
Dan kita semua tahu serta mengingingkan, skuad Garuda bisa berbicara banyak tak hanya di level Asia Tenggara tetapi juga Asia dan dunia seperti yang Vietnam dan Thailand telah lakukan.
Skuad saat ini masih sangat muda. Masih bisa untuk dua edisi Piala AFF selanjutnya. Itu belum ditambah dengan regenerasi pemain sepakbola lain.
Maka lagi-lagi, kualitas dan kapasitas Timnas dan calon pemain Timnas harus lebih baik supaya predikat yang terbaik di Asia Tenggara tidak sekadar mampir.
Gelar juara tentu diharapkan masyarakat. Namun kalau belum kesampaian, mereka pasti berharap ada perubahan dan perkembangan nyata dari Indonesia sehingga sukses pada masa depan.