Cinta yang Rumit

Gelaran Piala AFF 2020 telah memasuki babak final. Sebagai pihak yang amat cinta kepada Tim Nasional Indonesia, masyarakat tentu berharap Piala AFF edisi kali ini dapat digondol pasukan Garuda.

Rasanya, lima kali lolos ke babak final turnamen sepakbola antarnegara paling akbar se-Asia Tenggara dan selalu berujung kekalahan mesti diakhiri segera.

Jujur, optimisme itu masih ada. Timnas Indonesia yang saat ini dinahkodai oleh Shin Tae-yong memberikan harapan.

Menjadi pemuncak klasemen di babak penyisihan dengan 3 kali menang dan 1 kali seri plus bikin 13 gol dan cuma kebobolan 4 gol menjadi rapor sekaligus garansi buat Timnas Indonesia melenggang ke babak semifinal.

Lawan yang mereka hadapi pada babak tersebut adalah tuan rumah Singapura. Duel alot pada leg pertama dan kedua pun tak terelakkan.

Beruntung, Rachmat Irianto dan kawan-kawan sukses membenamkan The Lions dengan agregat 5-3 usai bermain imbang 1-1 di leg pertama dan menang 4-2 pada leg kedua.

Pencapaian apik itulah yang kemudian mengantar Timnas Indonesia lolos ke final Piala AFF buat keenam kalinya sepanjang sejarah.

Lawan yang menunggu adalah musuh bebuyutan di kawasan Asia Tenggara sekaligus negara dengan trofi Piala AFF terbanyak, Thailand.

Rabu (29/12), momen yang ditunggu-tunggu khalayak akhirnya tiba. Final leg pertama antara Indonesia melawan Thailand siap digelar di Stadion Nasional Singapura.

Banyak yang meyakini bahwa ini adalah momen tepat bagi pasukan Garuda untuk menyudahi paceklik prestasinya dengan menggondol Piala AFF buat kali pertama.

Rasanya membosankan sekali tiap melihat Timnas Indonesia tampil paripurna di penyisihan grup sampai semifinal lalu lesu seketika pada babak final.

Thailand yang dimotori Chanathip Songkrasin hingga Teerathom Bunmathan jelas bukan lawan sepele. Terlebih, performa mereka sepanjang fase grup dan semifinal begitu eksepsional.

BACA JUGA:  Kekalahan yang Tak Perlu Diratapi

Walau demikian, kekuatan Negeri Gajah Putih tak bikin asa suporter layu. Mereka yakin bahwa anak asuh Shin Tae-yong bisa memberikan perlawanan berarti.

Toh, skuad Garuda dihuni nama-nama seperti Nadeo Argawinata, Fachrudin Aryanto, Pratama Arhan, Rian, Witan Sulaeman, Ricky Kambuaya, sampai Egy Maulana Vikri.

Laga 90 menit di Stadion Nasional Singapura berakhir saat wasit Alhunfush Shukri Hussain meniup peluit panjang.

Thailand bersuka ria ketika Indonesia meratapi nasibnya. Ya, Thailand mampu mencukur Indonesia dengan skor telak 4-0.

Mungkin, partai final leg I, layak menjadi bahan analisis pelatih Timnas Indonesia tentang apa yang masih menjadi kelemahan skuad Garuda.

Thailand sendiri bermain spartan, rapi, dan sangat terukur pada laga tersebut. Alhasil, mereka mampu memporak-porandakan Indonesia. Negeri Gajah Putih benar-benar ada di level berbeda.

Banyak yang menganggap Thailand sedang mementaskan pertunjukan akbar seraya mengajari Indonesia cara bermain sepakbola yang benar.

Saya sendiri merasa kecewa, jengah, dan dongkol melihat kekalahan yang begitu telak. Level permainan Thailand seolah jauh sekali di atas level permainan Indonesia.

Ini baru di level Asia Tenggara. Bagaimana dengan level Asia atau dunia? Sembari istighfar saya menyadari betapa kecilnya Timnas yang saya banggakan.

Kekalahan mencolok itu bikin peluang Indonesia untuk bergabung dengan empat kesebelasan lain sebagai negara yang menjuarai Piala AFF mengecil dengan sendirinya.

Pengalaman menyaksikan perjalanan Timnas Indonesia di final Piala AFF 2010 tentu masih membekas di ingatan saya.

Alih-alih tampil cemerlang dan berhasil membawa pulang trofi, mereka justru bertekuk lutut di hadapan Malaysia yang pada fase grup sukses ditumbangkan via kedudukan 5-1.

Final Piala AFF 2016 juga masih membekas di ingatan saya. Kemenangan 2-1 pada leg pertama tak berarti apa-apa sebab di leg kedua, Thailand bangkit dan menekuk Indonesia lewat skor 2-0.

BACA JUGA:  Apakah Dominasi Penguasaan Bola Justru Sulit Menghasilkan Kemenangan?

Peluang Indonesia buat bangkit di leg kedua masih terbuka. Namun siapapun tentu realistis melihat hasil pertemuan pertama. Indonesia harus menjaga gawangnya tak kebobolan seraya bikin lima gol untuk menahbiskan diri menjadi juara.

Meski peluangnya tipis, tetapi rasa cinta kepada Timnas tak membuat saya kapok. Ya, sepakbola memang piawai menghadirkan cerita yang penuh warna.

Entah sudah dikecewakan beberapa kali di laga final sehingga berjanji kepada diri sendiri, tidak akan berharap terlalu besar pada Timnas Indonesia.

Akan tetapi, pola main bagus di penyisihan grup dan tampil gahar di semifinal selalu menimbulkan euforia. Akibatnya, keinginan tak berharap kepada Indonesia selalu batal.

Kisah cinta terhadap Indonesia senantiasa rumit. Namun seperti itulah adanya. Seburuk apapun penampilan Timnas Indonesia, cinta bagi mereka akan selalu menggelegak.

Komentar
Penggemar Juventus dan Persela. Bisa disapa di akun Twitter @hrygtma