Buah Transisi Mulus Real Madrid

Musim 2018/2019 bisa jadi salah satu periode paling kelam yang pernah dirasakan Real Madrid. Si Putih dari ibu kota Spanyol cuma nangkring di posisi tiga klasemen akhir, jadi semifinalis Copa del Rey, rontok di fase 16 besar Liga Champions, dan kalah di final Piala Super Eropa. Praktis, satu-satunya titel yang mampu Los Merengues raih di musim kemarin adalah Piala Dunia Antarklub.

Kehilangan sang megabintang, Cristiano Ronaldo, yang sepakat bergabung dengan Juventus serta pengunduran diri Zinedine Zidane dari bangku pelatih disinyalir sebagai awal keruntuhan rival bebuyutan Barcelona ini. Melihat apa yang terjadi, asumsi tersebut bisa dibenarkan.

Julen Lopetegui yang didapuk sebagai pengganti Zidane gagal membuat Karim Benzema dan kawan-kawan tampil eksepsional sehingga dipecat pada 29 Oktober 2018. Ia kemudian digantikan oleh Santiago Solari. Sebetulnya Solari diangkat sebagai caretaker saja, tapi aturan di La Liga Spanyol yang melarang sebuah klub ditangani caretaker lebih dari dua pekan bikin manajemen Madrid meresmikannya sebagai pelatih anyar per 13 November 2018 meski akhirnya ditendang juga pada 11 Maret 2019.

Pencarian nakhoda baru Los Merengues akhirnya selesai setelah Zidane setuju untuk kembali menangani Madrid di sisa musim 2018/2019 dan berlanjut sampai musim panas 2022. Kendati demikian, lelaki Prancis itu ogah dibebani target apapun karena situasi di tubuh klub memang sudah kacau sedari awal. Zidane hanya membantu klub untuk finis di empat besar supaya tetap berkompetisi di ajang Liga Champions pada musim selanjutnya.

Menyongsong musim baru, Madrid tak mau main-main dengan nasib. Mereka melakukan pembenahan sekaligus peremajaan skuad demi meraup kesuksesan. Eden Hazard diboyong dengan biaya 100 juta Euro dari Chelsea. Sementara banderol Luka Jovic, Ferland Mendy, Eder Militao, dan Rodrygo tak ada yang di bawah 40 juta Euro.

Nama-nama di atas coba dikombinasikan Zidane dengan aktor-aktor lawas yang sudah lebih dahulu menghuni Stadion Santiago Bernabeu seperti Benzema, Dani Carvajal, Toni Kroos, Luka Modric, dan Sergio Ramos.

Apesnya, tak semua rencana Zidane berjalan mulus. Hazard yang digadang-gadang bisa menjadi bintang andalan baru justru acap terkena masalah kebugaran. Entah karena cedera atau kelebihan berat badan. Di sisi lain, Jovic sulit mendapat kepercayaan penuh dari sang pelatih. Beruntung, tenaga Mendy dan Rodrygo masih cukup berguna untuk sistem rotasi milik Zidane yang terus menepikan salah satu bintangnya, Gareth Bale.

BACA JUGA:  Nike Kehilangan Messi, Berpaling ke Adidas

Berbagai penyesuaian yang mesti dibuat Zidane bikin usaha Los Merengues memperbaiki performa tak langsung berjalan mulus. Beberapa kali mereka digoyang inkonsistensi penampilan. Bagus di satu laga, tapi ambyar di partai yang lain.

Saat rontok di perempatfinal Copa del Rey dan hanya finis sebagai runner up Grup A fase grup Liga Champions, ada banyak suara sumbang yang menyatakan kalau Benzema dan kolega akan kembali menjalani periode suram musim ini.

Akan tetapi, bukan Madrid dan Zidane namanya jika gampang menyerah dengan keadaan. Pelan tapi pasti, konsistensi permainan dan soliditas dari klub yang berdiri tahun 1902 ini menguat. Pasca-jeda akibat pandemi Corona, mereka tancap gas dan begitu sulit ditahan.

Dari sepuluh laga yang dilakoni di pentas La Liga Spanyol, Madrid menyapu bersih kemenangan. Ditambah hasil-hasil kurang optimal yang sempat dipetik Barcelona dalam periode serupa, perjuangan anak asuh Zidane buat memuncaki klasemen terbayar sejak jornada ke-30. Mereka lantas menciptakan jarak dengan Los Cules sehingga tak mudah dikudeta.

Walau demikian, banyak pihak yang nyinyir dengan keberhasilan Los Merengues berdiri tegak di posisi teratas guna membidik gelar liga pertamanya sejak musim 2016/2017 lalu. Orang-orang itu merasa bahwa hasil-hasil positif yang dituai Benzema dan kawan-kawan juga diakibatkan bantuan wasit yang begitu murah hati menghadiahkan penalti.

Mengacu pada data Transfermarkt, Madrid beroleh lima tendangan penalti di lima laga dari total sepuluh pertandingan pamungkasnya. Hebatnya, semua berhasil dieksekusi secara sempurna. Termasuk saat jumpa Getafe dan Athletic Bilbao di mana Madrid menang berkat keunggulan tipis 1-0 saja.

Tudingan adanya bias dari para pengadil lapangan mengemuka dan bahkan meramaikan jagad media sosial. Namun siapa yang peduli? Bagi Madrid, itu tak lebih dari rengekan pihak yang tak suka dengan kesuksesan mereka. Jangan bersikap hipokrit sebab perilaku bias dari para wasit juga pernah menghadirkan benefit bagi tim-tim lainnya. Mengapa ribut hanya saat Madrid yang mendapatkannya?

Di luar kontroversi tersebut, kesuksesan Madrid mengunci gelar La Liga Spanyol musim 2019/2020 merupakan buah dari kejelian Zidane melakukan proses transisi di tubuh klub. Ketergantungan kepada sosok-sosok pilar nan senior jelas masih terlihat, tetapi penggawa lainnya, khususnya yang berusia muda, juga tak mengecewakan sang pelatih kala diberi kesempatan merumput. Ia pun mampu mengubah para pesakitan jadi sosok yang dapat memberi kontribusi nyata untuk klub.

BACA JUGA:  Memperbincangkan Penambahan Jumlah Peserta Piala Dunia 2026

Ketiadaan Ronaldo dan dipinggirkannya Bale pelan-pelan bisa disubstitusi oleh presensi Rodrygo serta Vinicius Junior. Sementara Benzema dan Thibaut Courtois kini jadi mesin gol paripurna serta kiper yang gawangnya sulit dibobol. Saat Casemiro, Kroos, dan Modric berhalangan, ada Marco Asensio, Isco, dan Federico Valverde yang siap menggantikan. Pun dengan Mendy yang memaksa Marcelo jadi akrab dengan bangku cadangan.

Alhasil, Madrid punya kerangka tim yang lebih lengkap dan Zidane bisa memaksimalkannya dalam berbagai situasi. Kapan timnya harus tampil ofensif dan mengandalkan pressing tinggi, kapan anak asuhnya bermain defensif seraya bertumpu pada serangan balik cepat.

Los Merengues, utamanya Zidane, sadar betul bahwa untuk kembali berprestasi mereka wajib berproses. Dengan amat telaten, pria berumur 48 tahun itu menunaikannya lewat beraneka cara. Antara lain memperkuat sekaligus menjaga kondisi fisik supaya kompetitif di tengah jadwal pertandingan yang padat, menerapkan taktik yang fleksibel, berani mempercayai pemain-pemain muda yang nantinya jadi pilar utama tim di masa depan serta cermat dalam melakukan rotasi.

Pada akhirnya, Madrid memang kubu yang paling siap menahbiskan dirinya sebagai raja di tanah Spanyol. Sempat tertatih, faktanya mereka tetap sanggup melewati perjalanan berliku dan penuh kerikil untuk finis pertama dalam lomba memperebutkan gelar liga.

Trofi juara sudah diangkat dan sampanye telah disemprotkan. Madrid beserta suporternya akan merayakan keberhasilan ini dengan perasaan gembira. Mereka takkan peduli dengan para pencaci berikut klaim-klaim sepihaknya perihal capaian Benzema dan kawan-kawan sepanjang musim ini.

Selamat, dan silakan berpesta Madrid. Haters gonna hate.

Komentar