Tak terasa, pandemi Covid-19 sudah berlangsung setahun di Indonesia. Kehadirannya membuat banyak pihak kalang kabut lantaran berbagai aktivitas tak bisa dilakukan secara bebas atau bahkan langsung dihentikan. Salah satunya tentu saja kompetisi sepakbola nasional di bawah naungan PSSI.
Baru berjalan beberapa pekan, kompetisi Liga 1 musim 2020 terpaksa disetop. Mulanya ingin dilanjutkan kembali, tetapi akhirnya federasi (PSSI) menyerah dan memastikan bahwa Liga 1 2020 tak dapat dilangsungkan lagi.
Adanya pandemi, ketiadaan kompetisi, bikin kepala para pesepakbola pusing tujuh keliling. Ini bukan perkara mereka tak bisa beraksi di lapangan semata, melainkan juga tanggung jawab untuk membuat asap di dapur tetap mengepul.
Pandemi bikin pesepakbola Indonesia keluar dari zona nyamannya. Ada yang beternak lele, ada yang berbisnis tanaman, ada pula yang membuka kios kecil-kecilan. Semuanya bermuara pada satu hal, mendapatkan rezeki guna menyambung hidup.
Miris memang, tetapi mungkin semuanya sudah diperhitungkan secara matang. Kompetisi yang berjalan tentu bisa menimbulan dampak tersendiri, utamanya dalam penyebaran Covid-19. Terlebih, penanganan Covid-19 di Indonesia jauh dari kata meyakinkan.
Jika menilisik perbedaan dengan kompetisi luar, kesannya tidak apple-to-apple. Kompetisi yang sudah mendunia dan sanggup menerapkan protokol kesehatan ketat dengan kompetisi nasional yang selalu punya variasi masalah setiap tahunnya.
Sejumlah liga di luar seperti Bundesliga, La Liga, Premier League, Serie A, dan bahkan Thai League masih dilanjutkan dan diselesaikan. Namun, federasi yang menaungi kompetisi-kompetisi itu menjalankan aturan yang sangat ketat. Termasuk menggelar seluruh laga tanpa penonton.
Bisakah PSSI, pihak klub, para pemain, dan tentunya suporter menjalankan seluruh regulasi berbasis kesehatan yang ada? Ini pun belum membahas soal perizinan kepada pihak Kepolisian yang biasanya alot.
Terbaru, PSSI akan melaksanakan laga uji coba yang melibatkan tim nasional. Pemegang hak siar sudah melakukan promosi di media sosial. Pun dengan kubu PSSI sendiri.
Ajaibnya, ketika tim yang akan berlaga sudah datang ke stadion, pertandingan gagal terlaksana. Konon, diakibatkan izin yang belum turun dari Kepolisian.
Sempat memunculkan euforia karena setelah setahun lamanya, penggila sepakbola dapat menyaksikan lagi pertandingan dari kancah nasional. Namun di ujung kisah, publik dibuat kecewa dan geleng-geleng kepala dengan polah PSSI sendiri.
Ini adalah gambaran yang perlu diperbaiki federasi. Jika berani mempromosikan laga, artinya segala persiapannya sudah tuntas. Tak lagi ada kendala teknis maupun non-teknis, kecuali di luar kuasa manusia.
Mesti diakui, salah satu kultur paling nyata dalam sepakbola nasional adalah hal-hal konyol yang acap dilakukan PSSI sebagai induk organisasi. Organisasi yang katanya diisi orang-orang profesional, tetapi realitanya justru amatiran.
Keadaan tersebut bikin publik meradang. Sebetulnya apa yang dilakukan PSSI selama ini? Bukankah mereka sering mengadakan rapat konsolidasi? Bukankah mereka acap berjanji bahwa agenda yang disusun akan dilaksanakan?
Kalau benar demikian, tentu kasus-kasus komikal takkan pernah terjadi. Wajar bila kemudian penggila sepakbola nasional merasa bahwa federasi adalah pembual terhebat.
Jika aksi Srimulat atau Warkop DKI selalu bikin tergelak puas. Aksi-aksi PSSI justru bikin kita tersenyum kecut sembari menahan mual.
Preseden buruk di atas bikin hype terhadap turnamen pra-musim, Piala Menpora 2021, yang segera diselenggarakan meredup. Ya, publik akan lebih berhati-hati menanggapi pernyataan pihak PSSI mengenai kompetisi sepakbola nasional.
Sampai hari ini pun, kejelasan waktu penyelenggaraan ajang tersebut masih simpang siur. Fans hanya bisa menunggu langkah-langkah yang dilakukan PSSI.
Bila akhirnya terlaksana tetapi penuh dengan kesan apa adanya, bolehlah kita meyakini bahwa federasi sepakbola di negeri ini memang tak kompeten dalam mengelola sepakbola.